Komparatif.ID, Banda Aceh—Guru Besar USK (Universitas Syiah Kuala) Prof. Dr. Ir.Samsul Rizal,M.Eng.,IPU, Minggu (22/9/2024) menilai KIP Aceh tidak serius mengelola demokrasi di Aceh. Keputusan Bustami Hamzah-Fadhil Rahmi sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, merupakan bukti bila KIP Aceh main-main dalam bekerja.
Guru Besar USK tersebut yang kini menjadi Rektor Universitas Batam, Samsul Rizal menyebutkan, Bustami Hamzah sudah datang ke Rapat Paripurna Penandatanganan Pernyataan Bersedia Menjalankan Butir-Butir MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Serta Peraturan Pelaksanaannya Oleh Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, yang digelar Kamis (12/9/2024).
Baca: KIP Aceh Nyatakan Bustami Hamzah-Fadhil Rahmi Tidak Memenuhi Syarat
“Tapi saat itu, dengan dalih tidak ada wakil, Bustami Hamzah tidak diperkenankan melakukan penandatanganan. Padahal saat itu memang tidak ada wakil, karena baru beberapa hari Tu Sop meninggal dunia,” kata Guru Besar USK tersebut.
Kemudian, rencana digelarnya rapat paripurna yang sama setelah Bustami Hamzah mendapatkan pendamping baru, juga tidak dilaksanakan karena rapat Badan Musyawarah (Banmus) Rabu malam (18/9/2023), dibatalkan disebabkan tidak memenuhi kuorum.
Samsul Rizal mengatakan jikalau KIP mempunyai komitmen tinggi terhadap wujudnya iklim demokrasi yang sehat, maka tidak perlu terjadinya hal seperti ini. Bila KIP serius memperjuangkan kesetaraan dan keadilan di dalam demokrasi, peristiwa Bustami Hamzah-Fadhil Rahmi tidak memenuhi syarat, tidak akan terjadi.
Ilmuan asal Idi, Aceh Timur, tersebut mengatakan seharusnya KIP tidak membuat birokrasi yang seharusnya sepele menyebabkan gugurnya pencalonan. KIP dan semua pihak di Aceh harus lebih arif, jikalau memang niat semua calon untuk membangun Aceh.
“Bagaimana kita dapat memilih pemimpin yang berkualitas dan punya komitmen tinggi terhadap Aceh, jikalau sejak proses penjaringannya saja dipenuhi tindakan-tindakan yang tidak etis. Jikalau serius punya niat membangun Aceh, kita semua harus lebih arif,” sebutnya.
Guru Besar USK tersebut menyarankan, form komitmen akan menjalankan MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintah Aceh, cukup diberikan oleh Wali Nanggroe, karena Lembaga Wali Nanggroe merupakan institusi yang lahir dari hasil MoU Helsinki.
Ini merupakan bukti Bahwa kip Acèh tidak profesional dan jika perlu di periksa secara intensif utk bertanggung jawab atas kekonyolan mengelola tugas kip Acèh.