Komparatif.ID, Banda Aceh— Sejarah mencatat, pada 26 Desember 2004, gelombang tsunami yang melanda pesisir utara Banda Aceh telah mengubah wajah kota dan kehidupan masyarakatnya selamanya.
Peristiwa memilukan ini bukan hanya meninggalkan kenangan pahit, tetapi juga menyisakan jejak berupa monumen yang menjadi pengingat akan kekuatan alam yang tak tertandingi.
Salah satu monumen paling mencolok adalah PLTD Apung, sebuah kapal yang kini berfungsi sebagai museum dan destinasi wisata edukasi yang menawan.
Kapal PLTD Apung berlokasi di Desa Punge, Blang Cut, Banda Aceh, dan memiliki panjang 63 meter serta bobot 2.600 ton. Sebelum tsunami terjadi, kapal ini merupakan sumber tenaga listrik bagi wilayah Ulee Lheue.
Namun, saat bencana alam melanda, kapal ini terseret oleh gelombang setinggi 9 meter hingga 5 kilometer ke dalam pemukiman warga, mendekati Museum Tsunami. Dari 11 awak yang berada di atas kapal saat itu, hanya satu yang berhasil selamat.
Sejak saat itu, PLTD Apung menjadi simbol kegigihan masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana. Pemerintah Aceh kemudian mengalihkan fungsi kapal ini menjadi museum untuk mengenang tragedi tersebut.
Proyek ini bertujuan untuk memberikan edukasi kepada generasi mendatang tentang bencana dan pentingnya mitigasi bencana. Di sekitar kapal, area yang sebelumnya hancur kini ditata ulang menjadi wahana wisata edukasi, dilengkapi dengan monumen peringatan yang mencantumkan tanggal dan waktu kejadian bencana.
Baca juga: 7 Hal Unik di Aceh, Kamu Harus Datang Melihatnya
Kunjungan ke museum ini menawarkan pengalaman yang mendalam bagi para pengunjung. Salah satu pengunjung asal Jakarta, Rico, mengungkapkan rasa takjubnya saat melihat kapal yang terdampar itu.
Ia merasakan betapa dahsyatnya gelombang tsunami yang mampu menyeret kapal seberat ini ke tengah kota. “Subhanallah. Bagaimana bisa kapal sebesar ini terseret ke tengah daratan seperti ini. Tuhan telah menunjukkan kebesarannya,” ungkapnya, Minggu (21/9/2024).
Kisah PLTD Apung bukan hanya sekadar tentang bencana; ia juga mengisahkan keberanian manusia dalam menghadapi kesulitan. Evi, seorang pengunjung dari Aceh Tamiang, menceritakan kunjungannya yang kedua ke museum ini.
Evi mengakui bahwa setiap kunjungan selalu menyisakan kesan mendalam. “Saya merasa sedih saat membayangkan tragedi tsunami tersebut. Pertama kali kesini, saya tidak bisa berkata-kata melihat ilustrasi tragedi ini,” katanya.
Di dalam kapal, berbagai informasi mengenai mitigasi bencana disajikan dalam bentuk video dan ilustrasi. Museum ini sering kali menjadi lokasi field trip bagi anak-anak sekolah, memperkenalkan mereka pada pentingnya kesadaran bencana sejak dini.
Gampong Punge Blang Cut bahkan ditetapkan sebagai Gampong Wisata, memberikan kesempatan bagi penduduk setempat untuk terlibat dalam pengelolaan pariwisata.
Museum PLTD Apung juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas menarik. Dua menara yang berdiri megah, jalan setapak yang menghubungkan area wisata, serta air mancur yang menyegarkan menjadi pelengkap pesona tempat ini. R
uang ABK di deck dasar kapal masih dipertahankan dalam kondisi aslinya, memberikan nuansa autentik kepada pengunjung. Salah satu daya tarik unik adalah teropong besar di lantai atas kapal yang dapat digunakan dengan memasukkan koin 500 rupiah, memungkinkan pengunjung menikmati pemandangan indah Kota Banda Aceh dari ketinggian.
Bagi yang ingin mengunjungi PLTD Apung, museum ini dibuka setiap hari dari pukul 09.00 hingga 17.30 WIB. Namun, terdapat kebijakan unik di mana lokasi ini ditutup selama waktu shalat zuhur dan ashar, memberikan kesempatan bagi pengunjung untuk melaksanakan ibadah terlebih dahulu.
Kehadiran PLTD Apung sebagai museum bukan hanya sekadar tempat wisata, tetapi juga sebagai pengingat akan kekuatan alam dan pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana.
Monumen ini telah menjadi saksi bisu perjuangan masyarakat Aceh, menunjukkan bagaimana sebuah kapal yang dulunya berfungsi sebagai pembangkit listrik kini bertransformasi menjadi simbol harapan dan pendidikan.