Saat masih di Canning, pinggiran Kota Perth, Australia, saya sempat berkunjung ke ‘sunday market’ yang dibuka setiap hari Minggu. Pada saat tinggal di Western Australia pun saya menemukan juga ‘farmers market‘ di beberapa ruas jalan berbeda yang dibuka pada hari yang berbeda pula.
‘Sunday Market’ atau pasar minggu ini mengingatkan saya pada tradisi uroe peukan (pasar mingguan) yang ada di Aceh. Pasar rakyat dengan harga yang lebih miring menjajakan beragam jajanan kuliner, mulai dari jagông beureutôh, cindoi, peucai hingga mie caluek, kebutuhan rumah tangga berupa sandang dan pangan serta aksesoris.
Dulu, sebelum perempuan Aceh diwajibkan pemerintah menutup aurat secara sempurna, di uroe peukan pedagang pakaian juga menjual kép (penjepit rambut) ragam bentuk dan warna, serta béndô (bando) dengan ragam model.
Sunday Market di Kota Perh
Pasar Minggu (Sunday Market) di Perth adalah destinasi yang wajib dikunjungi kalau berkunjung ke negara bagian Australia Barat. Berlokasi di 280 Bannister Road, Canning Vale, Perth, Western Australia.
Pasar ini menawarkan pengalaman belanja yang tidak biasa, dengan sejumlah aturan yang unik, namun efektif dalam menjaga kenyamanan dan kebersihan pasar.
Pasar dibuka untuk pengunjung mulai pukul 07.00 pagi, namun para pedagang sudah mulai beraktivitas sejak pukul 04.00 dini hari untuk menyiapkan dagangan mereka. Hal ini menunjukkan dedikasi para pedagang dalam memberikan yang terbaik bagi pelanggan. Lokasi pasar cukup luas untuk menampung ratusan bahkan ribuan pengunjung.
Pengunjung diwajibkan membayar tiket masuk sebesar AUD 2 (20 ribu rupiah) dan membawa keranjang belanja sendiri. Aturan ini bertujuan untuk mengatur jumlah pengunjung dan mengurangi penggunaan kantong plastik.
Pasar ditutup pukul 13.00, dan semua pedagang harus selesai membereskan lapak dan membersihkan area sekitar pukul 16.00. Denda akan dikenakan bagi pedagang yang melanggar aturan ini.
Beragam Pilihan Produk: mulai dari makanan khas Indonesia, India, Pakistan, Vietnam buah-buahan segar, pakaian, kerajinan tangan, barang-barang antik, hingga Batè euncien semuanya bisa ditemukan di sini.
Baca juga: Warisan Boh Giri: Kisah Kehangatan dan Kebijaksanaan Negeri Peusangan
Suasana yang Ramah
Para pedagang sangat ramah dan senang berinteraksi dengan pengunjung. Saya merasa seperti sedang berkunjung ke Uroe Minggu (uroe peukan) di Krueng Geukueh, Aceh Utara
Pengalaman belanja yang menyenangkan bagi saya, dengan suasana yang meriah, harga yang terjangkau, dan kualitas produk yang baik.
Jika ingin mendapatkan barang-barang terbaik, sebaiknya kita datang lebih awal sebelum pengunjung ramai.
Meskipun beberapa pedagang menerima pembayaran non-tunai, sebaiknya siapkan uang tunai untuk berjaga-jaga.
Sama seperti di pasar tradisional lainnya, menawar harga adalah hal yang umum dilakukan di Sunday Market.
Sunday Market di Perth tidak hanya sekadar tempat untuk berbelanja, tetapi juga menjadi wadah bagi komunitas diaspora di Perth untuk berkumpul dan saling bersilaturahmi.
Di sini saya juga bertemu dengan orang Indonesia lainnya, juga bertemu dengan orang Aceh. Seperti biasa, kami biasanya bertukar rokok, karena rokok tidak mudah kita temukan pedagangnya dan harganya pun sangat mahal, bisa mencapai Rp500 ribu/bungkus kalau kita konversi dalam rupiah
Saya coba menggamit kenangan masa kecil saya yang masih berkesan dan membekas hingga saat ini mengenai uroe peukan. Ketika itu saya banyak menghabiskan waktu kampung kelahiran saya di Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara.
Saya masih ingat betul betapa uroe peukan yang diselenggarakan setiap hari Selasa dan, Sabtu dan Minggu di sana menjadi momentum yang selalu saya tunggu-tunggu.
Ketika hari Sabtu, uroe peukan di Kedai Bungkaih, almarhum mami (nenek) saya selalu membawakan kami cucu-cucunya anak-anak Ma Let, Cut Téh saya yang sudah menunggu di atas peulanteu rumoh tua nenek berupa ‘mie caluek Fatimah Syam dan jagông Beureutéh atau jagông tum (popcorn) khas hari pekan.
Betapa bahagia saya rasa kala itu begitu dari kejauhan melihat nenek menenteng eumpang krèh kroh, kantong plastik kresek berisi jagông beureutôh. Kami setengah berebut begitu nenek tiba di depan rumah. Dulu uroe peukan terasa begitu ramai dan meriah, mungkin karena belum adanya toko-toko retail dan pasar-pasar modern seperti saat ini.
Meskipun tidak seramai dan semeriah dulu, nyatanya pasar uroe peukan masih tetap eksis hingga saat ini.
Uroe peukan di Aceh juga sangat unik karena ada atraksi hiburan dalam bentuk akrobat sulap misalnya maupun ureung meukat ubat (tukang jual obat) dengan strategi narasi yang unik, demi menarik banyak orang datang untuk berbelanja di sana. Mereka berkeliling dari uroe peukan ke uroe peukan lainnya.
Tradisi uroe peukan atau ada juga yang menyebutnya dengan uroe gantoe telah dimulai pada abad ke-16 dan ke-17 pada zaman Kesultanan Aceh. Sejak saat itu, pasar satu pekan ini telah menjadi tempat bagi masyarakat untuk bertemu, berinteraksi, dan berbelanja kebutuhan sehari-hari. Ini juga menjadi sarana bagi petani dan perajin lokal untuk memasarkan produk-produk mereka.
Selain fungsi ekonomi, uroe peukan juga memiliki fungsi sosial, menjadi tempat berkumpulnya warga dalam mempererat hubungan sosial dalam komunitas, para tokoh kampung dalam satu mukim berkumpul sambil minum di kedai kopi.
Hari ini, ‘uroe peukan‘ di Aceh semakin tergerus oleh retail-retail modern. Namun, masih bertahan, entah sampai kapan mampu berteduh di bawah langit perubahan.