Komparatif.ID, Banda Aceh—Pernyataan Ustad Masrul Aidi bahwa eks kombatan GAM tak memiliki pengetahuan tentang dunia politik, sehingga tidak perlu masuk ke dunia politik, merupakan haba yang tendensius. Menampakkan bahwa pimpinan Dayah Babul Magfirah Cot Keueng tersebut terlalu tergesa-gesa dalam memberikan pendapat.
Demikian disampaikan oleh Zulfadli,A.Md, mantan kombatan GAM Wilayah Batee Iliek, dan juga politisi Partai Aceh (PA) yang sudah dua kali duduk mewakili Dapil III Aceh di DPRA.
Kepada Komparatif.ID, Jumat (2/6/2023) malam, Zulfadli menyebutkan sebagai seorang penceramah, apa yang disampaikan oleh Ustad Masrul Aidi tidaklah patut. Sudah keluar dari konteks yang sedang terjadi di Aceh. Imbauan dia supaya eks kombatan tidak perlu masuk dalam dunia politik, karena menurut Masrul Aidi eks kombatan tak memiliki kemampuan di bidang itu, sangatlah tidak pantas.
Baca: Kombatan [GAM] Tak Perlu Masuk Politik
“Pernyataan Masrul Aidi yang menyampaikan eks kombatan GAM tidak perlu masuk dunia politik menunjukkan ianya tidak paham politik. Eks kombatan GAM terjun ke dunia politik merupakan implementasi dari kesepakatan politik yang dilakukan oleh para petinggi GAM dengan Pemerintah Indonesia di Helsinki Finlandia yang kemudian dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Esensinya adalah transformasi perjuangan GAM dari gerakan bersenjata ke gerakan politik,” sebut Zulfadli.
Sampai saat ini, Partai Aceh yang dibentuk oleh petinggi GAM dan disokong penuh oleh eks kombatan dan simpatisan Aceh Merdeka, merupakan partai politik terbesar di Aceh. Artinya kepercayaan publik masih sangat besar kepada eks kombatan dan segenap pengurus PA.
“Alhamdulillah, hingga saat ini Partai Aceh yang merupakan parpol bentukan mantan GAM masih dipercaya oleh masyarakat Aceh, tercermin dari keterpilihan para politisi Partai Aceh di DPRA dan DPRK seluruh Aceh,” sebut Zulfadli.
Menurut Zulfadhli, dalam konteks politik, terlihat sekali Masrul Aidi tidak memahami apa yang dia komentari. Terkesan dia memaksa diri mengomentari hal yang sebenarnya tidak dia kuasai.
Mengapa tidak paham? Karena ustadz yang berbicara itu mungkin orang yang hebat di bidang dakwah tetapi awam di bidang politik. Sebelum memvonis, seharusnya Masrul Aidi tabayyun terlebih dahulu. Pelajari kembali dari mana asal mula usul revisi Qanun LKS tersebut.
Jangan Melipur Eks Kombatan
Pada kesempatan itu Zulfadli mengimbau Ustad Masrul Aidi ke depan tidak lagi tergesa-gesa memberikan komentar yang tidak pantas. Sebagai penceramah dia mengemban tugas besar yaitu menjaga moral publik dari pernyataan-pernyataan yang tidak patut.
Zulfadli menukil kalimat Masrul Aidi pada Focus Group Discussion bertema” Siapa Aktor Di Balik Revisi Qanun LKS” yang digelar Forum Pemred Serikat Media Siber Indonesia (FP SMSI) Aceh, Kamis (1/6/2023).
“Saat itu, salah satu pernyataan Ustad Masrul Aidi yaitu ‘Seharusnya mereka amankan diri saja. Butuh apa? Istri? Uang? Semua akan dikasih. Tapi berikan politik dikuasai oleh orang-orang yang ahli di dalam bidang politik. Tidak perlu [kombatan] turun langsung. Sampai ke sana harus diajarkan’ ini kan tidak patut keluar dari seorang ustad yang memiliki pengetahuan agama yang bagus,” sebut Zulfadli yang merupakan alumnus Politeknik Unsyiah.
Upaya membandingkan Jenderal Sudirman dengan eks kombatan GAM yang dilakukan oleh Masrul Aidi juga tidak apple to apple. Karena dua konteks peristiwa yang berbeda. Sudirman tidak masuk politik sipil, tapi memegang jabatan tertinggi di politik kemiliteran Indonesia.
Sedangkan eks kombatan GAM memilih jalur perdamaian karena secara moral perang tak mungkin lagi dilanjutkan setelah Aceh dihumbalang oleh gempabumi dan tsunami pada 2004. Secara kemiliteran, lembaga militer GAM dibubarkan, anggotanya dileburkan ke dalam sipil. Salah satu wadah transformasinya yaitu Komite Peralihan Aceh (KPA) yang sampai saat ini masih dipimpin oleh Panglima TNA Teungku Muzakkir Manaf (Mualem).
Setelah perdamaian dirajut di Helsinki, Finlandia, para kombatan GAM ditranformasikan sebagai sipil murni. Kisah sukses program tranformasinya dapat dibaca di dalam buku Transformasi Gerakan Aceh Merdeka : dari kotak peluru ke kotak suara : sebuah kisah sukses program transformasi kombatan di Aceh, yang diterbitkan oleh lembaga Friedrich Ebert Stiftung, Jerman.
Secara aturan hukum, tidak ada satu pun dari UU maupun Peraturan Pemerintah yang melarang kombatan GAM untuk ikut serta dalam kontestasi politik baik dalam pemilihan umum (legislatif), maupun pemilihan kepala daerah. Karena eks kombatan juga Warga Negara Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan Warga Negara Indonesia diseluruh Nusantara ini.
Bilamana merujuk kepada UU PA (UU No. 11 2006) juga tidak ada satu pasal pun yang melarang partisipasi politik dari kombatan (GAM) untuk terjun dan berkiprah dalam politik praktis, sejauh tujuannya adalah untuk kemashlahatan bersama dan bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan.
“Demikian juga kalau kita telusuri secara detail dalam Bab XI tentang Partai Politik Lokal mulai dari pasal 75 sampai dengan pasal 95 maka tidak ada satu ayat pun yang membatasi terkait hal tersebut,” sebut Zulfadli.
Oleh karena itu, Zulfadli mengimbau kepada Ustad Masrul Aidi dan siapa saja yang antipati terhadap eks kombatan, marilah mengisi ruang demokrasi secara sehat. Dalam membangun wacana pembangunan dan politik, tentu terdapat banyak perbedaan, tapi haruslah tetap tidak keluar dari garis etika.
Perbedaan pandangan dalam melihat Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah, merupakan sebuah dialektik. Seorang intelektual yang masuk dalam ranah dialektikanya, sepatutnya tidak menanggalkan pisau analisis, supaya tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan tak patut.
“Tujuan kita semua ingin membangun Aceh menjadi lebih baik. Maka marilah secara bersama membangun narasi dengan mengedepankan etika komunikasi. Jangan latah sehingga mengeluarkan kalimat-kalimat provokatif, melecehkan, dan sebagainya,” imbuh Zulfadli.