Pilkada seharusnya menjadi ajang perang gagasan, tempat di mana para calon kepala daerah mempresentasikan visi, misi, dan program pembangunan yang akan mereka tawarkan kepada masyarakat.
Namun, kenyataannya seringkali jauh dari harapan. Alih-alih menjadi medan adu gagasan yang substansial, Pilkada kerap terjebak dalam pragmatisme dangkal, di mana politik uang dan serangan fajar menjadi senjata utama untuk memenangkan hati pemilih.
Ironisnya, pesta politik yang seharusnya menjadi wahana aspirasi rakyat justru dirusak oleh praktik-praktik yang merusak tatanan demokrasi kita.
Fenomena politik uang bahkan semakin merusak tatanan politik kita. Di warung kopi, yang seharusnya menjadi tempat diskusi publik tentang visi dan misi calon kepala daerah, kini justru menjadi ajang pembicaraan seputar uang.
Percakapan yang sering terdengar bukan lagi tentang apa yang akan dilakukan calon untuk memajukan daerah, melainkan tentang siapa yang memiliki uang dan potensi untuk menang.
“Si Fulan ada uang, pasti menang,” atau “Si Polem nggak punya uang, pasti kalah,” adalah contoh pembicaraan yang mencerminkan betapa parahnya politik uang merasuki kesadaran masyarakat.
Bahkan, jumlah uang yang disiapkan oleh calon sering menjadi tolok ukur utama dalam menilai peluang mereka untuk menang, bukan lagi program atau gagasan yang mereka tawarkan.
Pada momen hari pencoblosan Pilkada 2024 ini, marilah kita sebagai kaum muslimin menjaga diri dari dosa besar risywah alias suap. Praktik politik uang, yang mencakup segala bentuknya seperti serangan fajar, pemberian amplop uang, dan berbagai manfaat lainnya yang pada dasarnya adalah pembelian kedaulatan rakyat, termasuk dalam kategori risywah atau suap yang diharamkan.
Ini adalah perbuatan terkutuk dan terlaknat. Fatwa MUI tahun 2018 dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa di Kalimantan Selatan dengan tegas menyatakan bahwa permintaan atau pemberian apapun dalam proses pencalonan individu sebagai pejabat publik, jika tanggung jawab dan kewenangannya sudah diatur, dihukumi haram.
Tindakan ini termasuk dalam kategori risywah atau suap, yang dapat merusak sistem politik dan tata pemerintahan yang sehat. Fatwa tersebut senada dengan hadis dari sahabat Tsauban رضي الله عنه, yang menyatakan bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara di antara keduanya. Dengan demikian, kita diingatkan untuk menjauhkan diri dari praktik yang tercela ini dalam segala bentuknya.
Tidak hanya itu, keterlibatan tokoh agama atau ulama dalam mendukung pasangan calon juga menjadi fenomena lain yang mencolok dalam Pilkada. Hampir setiap pasangan calon kepala daerah memiliki ulama yang mendukung atau bahkan mengampanyekan mereka.
Baca juga: Cerita dari Kedai Kopi Tua di Negeri Reubèe
Hal ini menciptakan kesan bahwa dukungan ulama adalah jaminan bahwa pasangan tersebut merupakan pilihan terbaik untuk memimpin daerah. Namun, masyarakat justru dihadapkan pada kebingungan.
Ketika setiap pasangan calon memiliki ulama pendukung, siapa yang benar-benar mewakili pilihan terbaik? Situasi ini membuat masyarakat “campur aduk mazhab” dalam menentukan pilihan.
Akibatnya, gagasan dan visi pembangunan yang seharusnya menjadi fokus utama justru tenggelam. Yang sering muncul adalah janji-janji manis yang tidak lebih dari upaya untuk menipu masyarakat. Padahal, pembangunan daerah yang berkelanjutan membutuhkan pemikiran yang matang, bukan sekadar janji kosong yang sulit direalisasikan.
Lebih jauh lagi, munculnya calon kepala daerah dari kalangan anak muda atau milenial yang seharusnya membawa angin segar bagi politik daerah ternyata tidak selalu sesuai harapan. Banyak dari mereka yang minim prestasi atau bahkan tidak memiliki rekam jejak yang mumpuni. Mereka seringkali hanya membawa nama besar orang tua atau keluarga yang memiliki kekayaan, tanpa didukung oleh kemampuan dan kompetensi yang memadai.
Yang lebih mengherankan adalah ketika kita membaca kata-kata “Inilah putra-putri terbaik daerah” pada kampanye-kampanye Pilkada. Pernyataan ini seakan menyiratkan bahwa mereka yang tidak masuk dalam kertas suara kalah baik dibandingkan mereka yang fotonya ada di kertas suara.
Benarkah mereka adalah yang terbaik? Atau ini hanya retorika yang digunakan untuk mengesankan bahwa mereka lebih unggul, bahkan mungkin lebih baik dari pendukungnya yang diajak mendukung dengan embel-embel tokoh / ulama?
Aneh memang. Para calon merasa butuh dukungan dari tokoh masyarakat dan ulama karena mereka dianggap orang baik, namun di saat yang sama, mereka juga dipromosikan sebagai putra-putri terbaik daerah.
Ini seolah-olah menunjukkan bahwa mereka lebih baik daripada tokoh masyarakat atau ulama yang mereka ajak untuk mendukung mereka. Bagaimana bisa seseorang yang diklaim sebagai yang terbaik masih memerlukan pembenaran atau validasi dari tokoh lain yang dibawah standar mereka sebagai putra-putri terbaik daerah?
Pada akhirnya, Pilkada seharusnya menjadi momentum penting bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan positif bagi daerahnya.
Namun, jika gagasan yang ditawarkan tidak jelas, jika ulama justru membuat bingung masyarakat, dan jika calon hanya mengandalkan popularitas keluarga, maka kita perlu mempertanyakan kualitas tatanan politik kita.
Masyarakat harus lebih kritis dan selektif dalam memilih pemimpin, tidak hanya berdasarkan dukungan tokoh agama atau janji-janji manis, tetapi berdasarkan gagasan yang konkret dan rekam jejak yang jelas. Jika tidak, kita hanya akan terjebak dalam lingkaran pragmatisme politik yang terus merusak tatanan sosial kita.