Apa yang menarik dari negeri Reubèe ini adalah masyarakat dan alamnya. Seolah kita diajak untuk bercengkrama ke puluhan tahun lalu melalui tempat, orang dan nama-nama kampung semisal kampung Pandee.
***
Tadi malam badan jalan masih basah diguyur gerimis sore, membuat tahapan pertandingan bola di lapangan Kuta Asan Sigli terhenti akibat genangan air. Ada beberapa titik dimana air mengenang sepanjang jalan menuju kampung internasional, Garot, Pidie.
Hal ini cukup berbahaya bagi yang tak dapat memetakan jalan. Banyak jalan berlubang seperti di Michigan atau Minnesota, negara bagian di Amerika Serikat. Kami tiba di Dayah Islahiyah yang didirikan Tgk Abdul Wahab atau Abu Balee menjelang Maghrib.
Selepas Isya, perjalanan kami lanjutkan menuju Reubèe, Kecamatan Delima. Negeri yang selalu di sebut sebut dalam literatur sejarah Acèh mulai abad 16 hingga Acèh berdinamika dalam negara Indonesia.
Saya sendiri sudah sering datang ke Reubèe, ziarah Tgk Syik di Reubèe, Daeng Mansur, ulama keturunan Bugis, mertua dan gurunda dari Sultan Iskandar Muda juga makam Putroe Tsani ananda dari Tgk Syik di Reubèe dan permaisuri Iskandar Muda. Juga ziarah ke Dayah Bustanul Maarif yang didirikan oleh Tgk Amin Reubee, ulama produktif yang melakukan korespondensi hingga ke Mesir.
Apa yang menarik dari negeri Reubèe ini adalah masyarakat dan alamnya. Seolah kita diajak untuk bercengkrama ke puluhan tahun lalu melalui tempat, orang dan nama-nama kampung semisal kampung Pandee.
Perjalanan malam tadi diselimuti angin sawah kiri dan kanan. Ingat puisinya Zam Zam Nor: Di lengkung alis matamu sawah-sawah menguning/ Seperti rambutku padi-padi semakin merundukkan diri.
Baca juga: Nuruddin AR-Raniry Bukan Orang Baru di Kesultanan Aceh
Sawah memang telah memasuki musim panen. Dengan pemandangan sawah berlatar gunung Seulawah dara dan agam semakin menjadikan negeri ini bagaikan Kasymirnya India. Tentu agak berlebihan tapi sah-sah saja mengingat Reubèe kampung tua yang sangat eksotis. Tempat spesial di hati Sultan Iskandar Muda.
Kami tiba di sebuah Kedai kopi tua berdinding kayu, sebagiannya sudah lapuk dimakan usia, mungkin sudah puluhan tahun. Ada para generasi “kolonial” 60 hingga 70 tahunan memenuhi kursi kayu dan plastik di kedai kopi ini. Semua mata tertuju kepada layar TV yang lagi memutar acara Dunia dalam Berita di stasiun televisi milik pemerintah, TVRI.
Sesekali para sepuh berseloroh lalu diam terhenyak menikmati kopi panas atau boh manok weng dicampur roti tawar cap cahaya di tengah pekatnya malam Reubèe. Pun pemilik kedai kopi, tukang weng boh manok larut serta menikmati dunia dalam berita itu.
Sesekali para sepuh berseloroh lalu diam terhenyak menikmati kopi panas atau boh manok weng dicampur roti tawar cap cahaya di tengah pekatnya malam Reubèe. Pun pemilik kedai kopi, tukang weng Boh larut serta menikmati dunia dalam berita itu.
Bayangkan, di warung Kopi yang letaknya di simpang jalan menuju makam Tgk Syik Reubèe, semuanya para orang tua fokus menatap layar televisi, sambil sesekali asap rokok mengepul, tidak ada gadget, tertawanya generasi milenial apalagi sumpah serapahnya gen Z sewaktu main game.
Pemandangan seperti ini jauh dari hingar bingar kota. Kaidahnya tinggal boleh di Reubèe, tapi pikiran dan wawasan sangat internasional.
Negeri Reubee patut diziarahi dan diambil pelajaran, tempat para sesepuh menikmati dunianya yang sementara, menikmati hidup yang seharian lelah di sawah. Karena besok harus bekerja kembali jak u blang, tentu setelah meneguk secangkir kopi pagi.