Komparatif.ID, Jakarta—Aceh masuk kategori daerah yang tinggi intoleransi dalam konteks politik. Aceh dan empat wilayah lainnya di Indonesia, memiliki potensi besar terjadinya konflik horizontal (internal) dalam proses para calon mencapai kemenangan dalam pilkada 2024.
Koordinator Cek Fakta AJI Indonesia, Adi Marsiela, Minggu (24/11/2024) dalam acara diskusi daring “Memantau Pilkada 2024, Tren Ujaran Kebencian di 5 Provinsi” yang digelar AJI Indonesia bekerja sama dengan Monash University, menyebutkan pesta demokrasi kali ini selain menjadi sejarah, juga memiliki tantangan besar dalam hal intoleransi.
“Pilkada serentak 2024 menjadi momen bersejarah bagi demokrasi Indonesia. Namun, di tengah persiapan pesta demokrasi terbesar ini, tantangan besar mengemuka, salah satunya adalah ancaman ujaran kebencian dan intoleransi yang berpotensi memicu konflik horizontal di berbagai daerah,” sebut Adi Marsiela.
Baca: Aceh Rangking 1 Ujaran Kebencian Terkait Pilkada
Menurut Adi Marsiela, penentuan lima wilayah ini; Jawa Barat, Aceh, Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, dan Sumatera Barat—berdasarkan kajian mendalam terhadap indeks intoleransi di seluruh Indonesia.
Indeks intoleransi tersebut menunjukkan bahwa wilayah-wilayah ini memiliki potensi tinggi terjadinya konflik horizontal karena intoleransi. Selain itu, data dari Bawaslu mengenai indeks kerawanan pemilu turut menjadi landasan penting untuk menentukan daerah yang perlu mendapatkan perhatian khusus.
“Pemantauan ini sebenarnya adalah kelanjutan dari kerja-kerja sebelumnya saat pemilu presiden. Fokusnya pada daerah yang indeks toleransinya rendah karena di situ ada potensi konflik. Kami tidak ingin isu-isu ini berkembang menjadi ancaman yang lebih besar bagi stabilitas demokrasi,” jelas Adi.
Lebih lanjut, ia menyoroti perbedaan antara ujaran kebencian dan hoaks yang sering kali dianggap saling berkaitan. Menurut Adi, hoaks biasanya berfokus pada pembongkaran informasi palsu, sementara ujaran kebencian lebih berorientasi pada dampak emosional yang memicu polarisasi di masyarakat.
“Tujuannya adalah memastikan tidak ada amplifikasi yang memperbesar isu hingga menyerang hubungan antarpribadi atau kelompok secara destruktif,” tambahnya.
Pemantauan ujaran kebencian di media sosial bukan tanpa hambatan. Salah satu kendala terbesar adalah kurangnya keterbukaan data dari platform seperti Twitter dan TikTok, yang menjadi fokus utama pemantauan ini. Adi menyebut bahwa proses pengumpulan data, atau scraping, dari media sosial menghadapi tantangan teknis dan regulasi. Meski begitu, tim tetap berupaya memanfaatkan data yang tersedia untuk menganalisis tren ujaran kebencian.
Berdasarkan laporan Bawaslu Jawa Barat, ditemukan sebanyak 181 akun yang menyebarkan ujaran kebencian dan hoaks, di mana 146 di antaranya terkait langsung dengan ujaran kebencian.
Isu yang mendominasi serangan di Jawa Barat berkaitan erat dengan agama, yang sering kali digunakan untuk menyerang kandidat secara personal.
Adi menjelaskan bahwa secara kultural, Jawa Barat memiliki keragaman wilayah, seperti Bogor, Sukabumi, Cirebon, dan Pantura, tetapi benang merahnya tetap sama—agama menjadi isu yang paling sering dimanfaatkan.
Ketika ditanya apakah ada korelasi langsung antara ujaran kebencian dan hoaks, Adi menegaskan bahwa keduanya tidak selalu saling berkaitan, meskipun bisa saling mendukung tergantung pada konteksnya.
“Dalam situasi seperti pilkada, ujaran kebencian dan hoaks bisa digunakan secara bersamaan untuk menciptakan polarisasi dan mendiskreditkan kandidat tertentu. Namun, secara sifat, keduanya berbeda dan perlu ditangani dengan cara yang berbeda pula,” tegasnya.
Sebagai pengalaman pertama menggelar pilkada serentak dengan skala yang begitu besar, tantangan ini menjadi momen pembelajaran bagi semua pihak. AJI bersama Bawaslu dan organisasi lainnya terus berupaya menemukan strategi yang paling efektif untuk mengantisipasi dampak buruk dari ujaran kebencian.
“Ini pengalaman pertama kita, jadi banyak hal yang sifatnya antisipatif. Kita terus belajar dan mencari cara yang paling ideal untuk mengurangi risiko,” ujar Adi.
Dalam konteks ini, partisipasi masyarakat, media, dan pemerintah sangat diperlukan untuk menciptakan Pilkada yang sehat dan bebas dari polarisasi. Tantangan ujaran kebencian bukan hanya soal pengawasan, tetapi juga bagaimana membangun budaya toleransi di tengah masyarakat yang semakin terhubung secara digital.
Dengan semangat yang sama, AJI dan Koalisi Cek Fakta berharap bahwa pilkada serentak 2024 tidak hanya menjadi ajang memilih pemimpin, tetapi juga menjadi tonggak demokrasi yang mengedepankan persatuan dan toleransi.