Otoritas Agama atas Kepemimpinan Perempuan

kepemimpinan perempuan
Syah Reza Ayub. Foto: Dokumen pribadi.

Walau tema klasik, isu kepemimpinan perempuan tetap saja ramai terutama saat musim politik bergulir. Apalagi di daerah yang tradisi keagamaan kental, seperti Aceh, sulit meleraikan agama dari kesadaran masyarakat. Begitu juga dalam aspek kepemimpinan, umumnya orang Aceh masih meyakini bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, tanpa terkecuali. Sekalipun dalam realitas historis ada dinamika yang sulit dilerai.

Doktrin agama yang memberi ruang dominan kaum adam di panggung politik, nyatanya membuat kalangan yang ‘merasa’ termarjinalkan angkat suara. Sebagian yang pro ideologi feminisme menganggap diskriminasi gender masih mewarnai negeri syariat. Pada 20 Oktober 2024, media internasional (BBC) secara serius menyoroti proses pilkada di Aceh yang dinilai bias gender. Dalam video dokumenter berdurasi 23:11 menit yang diunggah di situs resmi dengan judul Melawan narasi anti- pemimpin perempuan di Aceh, BBC Indonesia menggiring narasi bahwa doktrin agama menjadi sebab utama minimnya partisipasi perempuan di pilkada.

Klaim itu muncul dari amatan mereka melihat persentase keterwakilan perempuan sebagai kandidat kepala dan wakil kepala daerah hanya 4 orang di antara 162 calon seluruh Aceh yang maju pada 2024. Atas fenomena tersebut, fatwa agama dicap sebagai penghambat otoritas politik perempuan.

Baca: Membumikan Filsafat

Tgk. Hasanoel Basri HG (Abu Mudi) yang mewakili otoritas agama dikesankan sebagai akar masalah. Rekaman pengajiannya di Masjid Raya Baiturrahman 2016 silam diputar kembali, dan dijadikan narasi awal video sebagai simpul penyebab opini publik terbentuk. Pasalnya, ulama besar Aceh tersebut mengeluarkan fatwa, “Tidak sah pemimpin perempuan,” berdasarkan mazhab Syafi’i yang juga dianut oleh mayoritas masyarakat Aceh. Fatwa itu sepertinya mengusik agenda emansipasi wanita.

Secara sosio-keagamaan, fatwanya itu sangat relevan dengan konteks masyarakat yang bermazhab ahlussunnah. Namun, ketika statement itu dikeluarkan pada saat konstelasi politik berjalan, ada pihak menyebut narasi itu sebagai kampanye hitam. Lantas, Bagaimana sebetulnya penjelasan agama atas persoalan kepemimpinan perempuan? Benarkah tidak boleh? Tulisan ini hanya mempertegas otoritas agama dalam politik perempuan.

Akar Fatwa

Memahami perkara hukum agama, tidaklah semudah mencari informasi di Google atau Chat GPT lalu spontan mengeluarkan fatwa agama di media sosial. Dalam tradisi intelektual Islam, ada proses verifikasi sumber yang cukup ketat berlandaskan ilmu syar’i yang dikenal dengan instinbat al-ahkam. Sebuah metode menggali ayat Alquran dan hadis untuk ditetapkan hukum-hukum. Kemampuan itu ada pada mereka yang memiliki otoritas ilmu agama mumpuni, terverifikasi sanad, dan idealnya mencapai level mujtahid. Tidak sembarangan orang boleh melakukan hal tersebut.

Terkait fatwa tidak bolehnya pemimpin perempuan, pun sudah ada sumber teksnya baik Alquran, hadis Nabi dan atsar sahabat, lalu dirincikan penjelasannya oleh para Imam mujtahid dan ulama sejak abad 3 H hingga saat ini di dunia Islam. Kajian atas hukum tersebut bisa dilacak dalam kitab-kitab fiqh mu’tabar, seperti karya Imam mawardi, Imam Mahalli, Ibn Hajar Al-Haitami, dan juga karya ulama kontemporer. Mayoritas ulama mazhab sepakat bahwa di antara syarat pemimpin, haruslah seseorang itu berjenis kelamin laki-laki, dan tidak sah seorang wanita, ataupun seorang banci. (Al-Jazari; 2003).

Para ulama mendasari hukum tersebut berdasarkan salah satu ayat Al-Quran “ar- rijalu qawwamuna ‘alan nisa…(Q.S. an-Nisa’: 34) artinya, laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Ini adalah ayat muhkamat yang sudah jelas makna hukumnya. Jika dilacak dalam kitab tafsir Al-Quran, semua ulama tafsir menafsirkan kata ar-rijal yaitu laki-laki, dan qawwam bermakna pemimpin, yang tidak hanya terbatas pada lingkup rumah tangga saja, tetapi juga pada seluruh aspek publik.

Begitu juga pernyataan Nabi “Tidak akan bahagia suatu kaum apabila dipimpin oleh seorang perempuan.” Juga direkonstruksi maknanya oleh kaum feminisme muslim melalui asbab wuruj dan dijatuhkan otoritas perawi yaitu Abu Bakrah, agar matan hadis bisa ditolak. Padahal status hadis tersebut sahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Tirmidzi. Artinya, kebenaran matan bisa dijadikan hujjah atau argumentasi agama. Jika dilihat dari konteks memang hadis tersebut adalah komentar Nabi atas bangsa Persia yang dipimpin oleh seorang ratu, kemudian di tangan sang ratu, kerajaan Persia jatuh sejak berkuasa selama 5.000 tahun.

Tetapi para ulama mempertegas status hukum dengan merujuk pada kaidah ushul fiqh (Al-‘ibratu bi umum al-lafadz, la bi khusus as-shabab) bahwa makna lafaz hadis tersebut bersifat umum, sekalipun terjadi pada peristiwa khusus. Artinya, teks hadis tersebut sebagai isyarat Nabi atas hukum tidak bolehnya kepemimpinan perempuan. Itu menjadi hukum final imam mazhab empat, baik Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, maupun Hambali. Jikapun berbeda, hanya pada wilayah penjabaran (tafsiliy).

Klaim Historis

Tidak hanya itu saja, dalam Qanun Meukuta Alam (Syarah Tadhkirah Tabaqat Tgk. Di Mulek) yang merupakan pedoman undang-undang Pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam sejak awal berdiri Abad 16 M disebutkan bahwa,”.. Yaitu syarat jadi raja (rais jumhuriyyah) yaitu dua puluh. Islam,merdeka, laki-laki, berakal-baligh, berbangsa turunan yang baik.., dan seterusnya.” Hingga poin 20 yang terlalu panjang jika disebutkan di sini, tidak ada satupun kriteria untuk menunjukkan syarat pemimpin dari kaum perempuan, walau itu nasab raja.

Perkara kemudian, muncul pemimpin perempuan yang dimulai oleh Sri Ratu Safiatuddin, ada kondisi historis yang saling kontra antara fatwa ulama pemerintah dengan ulama di kalangan masyarakat saat itu. Qadhi yang dipimpin oleh Nuruddin Ar-Raniry dalam rapat khusus terkait siapa yang layak pengganti Sultan Iskandar Tsani yang meninggal saat memimpin Kerajaan. Ulama asal Gujarat tersebut memperlonggar syarat dengan bolehnya Ratu Safiatuddin (yang merupakan istri dari Sultan Iskandar Tsani) memimpin Kerajaan Aceh Darussalam. Kondisi itu bertolak belakang dengan mazhab Syafi’i, sehingga menyulut sikap penolakan yang keras oleh masyarakat Aceh saat itu. Imbasnya, terjadi kekacauan kondisi politik Aceh di bawah kepemimpinan Ratu.

Fakta historis bahwa Aceh pernah dipimpin oleh perempuan kerap dijadikan legitimasi atas kepemimpinan perempuan Islam hari ini. Dengan berbagai dalih dan argumentasi yang dipaksakan. Seperti yang disuarakan oleh kalangan pro ideologi gender.

Sejak gerakan feminisme Eropa menjadi agenda dunia, dan menjalar dalam masyarakat Islam, interpretasi agama menjadi liar. Alquran dijadikan setara seperti teks ilmiah yang bisa dikaji menggunakan metode apapun. Seperti Fatima Mernissi menggunakan metode hermeneutika kritis merombak makna ayat Alquran. Dalam karyanya Beyound The Veil, Male-Famale Dynamics in Modern Muslim Society, ia menuding bahwa keterpurukan perempuan dalam realitas sosial dan politik adalah korban politisasi kaum elite laki-laki. Supremasi laki-laki di balik penafsiran teks Alquran, hadist dan fiqh adalah sebab utama ajaran agama tidak memihak pada otoritas perempuan. Sehingga menurutnya, baik dari persoalan hukum waris, pernikahan, hingga dalam ibadah pun, laki-laki selalu diuntungkan.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Amina Wadud. Sebagai sarjana dan juga aktivis feminis liberal ia justru merombak hukum syariat, dengan menjadi imam salat bagi laki-laki di Amerika pada tahun 2005, dan di Inggris 3 tahun setelah itu. Upaya tersebut dilakukan untuk memperjuangkan kesetaraan hak perempuan dalam Islam yang dinilai berada dalam diskriminasi. Sebuah pemaksaan ideologis yang menyimpang.

Krisis identitas

Ironisnya, kampanye kaum feminis diamini oleh sebagian sarjana dan politisi muslim hingga masyarakat lapisan bawah. Atas nama equality dan kesetaraan hak yang menjadi concern ideologi global, sebagian mereka mengenyampingkan otoritas wahyu, sumber hukum agama hingga bukti sejarah. Sejak modernisme menjalar dalam struktur kehidupan muslim, agama seperti tidak begitu diperhatikan. Ulama yang memiliki kedudukan penting dalam agama tidak lagi menjadi rujukan. Apalagi ketika dihadapkan vis a vis dengan materi dan popularitas, identitas agama lenyap seketika dari ingatan.

Zaman ini, kesadaran beragama masyarakat muslim tampak semakin berada pada titik terendah. Bukan pertanda ajarannya yang tidak up to date, tetapi kondisi muslim yang tampaknya semakin jauh dari risalah Nabi. Mungkin juga kondisi saat ini, sudah sampai pada isyarat Nabi soal akhir zaman bahwa, “… jumlah kalian (muslim) saat itu banyak, namun kalian hanyalah bak buih di atas air bah. Dan Allah akan mencabut rasa takut dari dalam diri musuh-musuh kalian terhadap kalian, sementara Dia meletakkan penyakit wahn dalam hati kalian.” Ada sahabat yang bertanya lagi: “Wahai Rasulullah Saw, apakah wahn itu?” beliau menjawab: “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Dawud).

Penulis merupakan Peneliti Islamic Institute of Aceh.

Artikel SebelumnyaIntoleransi Politik Sangat Tinggi Jelang Pilkada di Aceh
Artikel SelanjutnyaFadhil Rahmi Ajak Pendukung Gelar Doa Sebelum Hari Pencoblosan
Syah Reza Ayub
Jurnalis Foto Komparatif.

1 COMMENT

  1. Bersetan dengan gender, feminisme atau apapun istilahnya tetap tidak bisa perempuan sebagai pemimpin, Saya lebih menjunjung tinggi kata Nabi Saw:
    عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الِاسْتِغْفَارَ فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقَالَتْ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ وَمَا لَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَمَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغْلَبَ لِذِي لُبٍّ مِنْكُنَّ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّينِ قَالَ أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ فَهَذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَتَمْكُثُ اللَّيَالِي مَا تُصَلِّي وَتُفْطِرُ فِي رَمَضَانَ فَهَذَا نُقْصَانُ الدِّينِ

    Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai kaum wanita! Bersedekahlah kamu dan perbanyakkanlah istighfar. Karena, aku melihat banyak di antara kalian adalah penghuni neraka.” Lantas seorang wanita yang pintar di antara mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa kaum wanita banyak menjadi penghuni neraka?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Kalian banyak mengutuk dan mengingkari (pemberian nikmat dari) suami. Aku tidak melihat kaum yang kurang akal dan agamanya itu lebih banyak dari yang lebih memiliki akal – kecuali dari golongan kalian.”

    Wanita itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah! Apakah maksud kekurangan akal dan agama itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Maksud kekurangan akal ialah persaksian dua orang wanita sama dengan persaksian seorang lelaki. Inilah yang dikatakan kekurangan akal. Begitu juga kaum wanita tidak beribadah kala malam-malam juga akan berbuka pada bulan Ramadhan (karena sebab haid). Inilah yang dikatakan kekurangan agama.” (HR al-Bukhari).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here