Komparatif.ID, Banda Aceh—Praktisi hukum Zaini Djalil,S.H, menilai gagalnya debat ketiga antara Bustami Hamzah-Fadhil Rahmi versus Muzakir Manaf-Fadhlullah, murni karena ketidaksiapan Komisi Independen Pemilihan (KIP). Sebagai penyelenggara, KIP Aceh terlalu abai terhadap potensi gangguan yang akan terjadi di dalam debat.
Saat segmen satu debat ketiga berlangsung, pendukung 02 melakukan provokasi, menuding Bustami Hamzah menggunakan alat elektronik komunikasi dua arah. Debat pun harus terhenti karena kedua belah pihak bersitegang.
Saat proses mediasi berlangsung, KIP Aceh tidak melakukan pemeriksaan tentang alat elektronik yang dimaksud. Tapi fokus pada melayani ketidakmauan paslon 02 melanjutkan debat ketiga.
Baca: KIP Aceh Tolak Gelar Debat Ulang
Zaini Djalil, Senin 25/11/2024) mengatakan, di tengah proses mediasi, KIP Aceh muncul ke panggung dan mengumumkan paslon 01 melanggar tata tertib. Serta mengumumkan bahwa debat akan dilanjutkan dengan komitmen paslon 01 tidak lagi menggunakan alat elektronik tambahan.
Pernyataan KIP Aceh di depan publik telah merugikan secara langsung paslon 01. Seakan-akan paslon 01 telah melakukan pelanggaran tata tertib dan melakukan kecurangan.
“Tanpa melakukan pemeriksaan terhadap benda yang dituduhkan sebagai alat komunikasi dua arah, KIP Aceh justru mengumumkan Paslon 01 melakukan pelanggaran tata tertib pada debat ketiga. Ini kan tidak fair,” kata Zaini Djalil.
Kemudian, KIP Aceh memutuskan debat dibatalkan karena alasan kericuhan dan paslon 02 menolak melanjutkan debat. Padahal awal keributan dilakukan oleh pendukung paslon 02. Kala kubu paslon 01 meminta debat dilanjutkan, KIP mengabaikannya.
Akan tetapi, saat tim yang mewakili Bustami Hamzah-Fadhil Rahmi mendatangi Kantor KIP Aceh, para komisioner—minus Ketua KIP Agusni AH—menyebutkan bahwa Bustami Hamzah-Fadhil Rahmi tidak melakukan pelanggaran tata tertib.
Meski KIP Aceh telah mengakui bila Bustami Hamzah-Fadhil Rahmi tidak melakukan pelanggaran, tetapi debat ulang tetap dibatalkan. Berarti pembatalan debat yang telah dilakukan cacat hukum, karena KIP Aceh menerbitkan surat debat ulang tidak dilakukan yang didasari atas keputusan sebelumnya yang salah dan tidak mencabut pernyataan mereka bahwa debat dibatalkan karena paslon 01 melanggar tata tertib padahal Faktanya tidak benar.
Penolakan KIP Aceh untuk menggelar debat ulang, merupakan bentuk pelanggaran hukum. KIP patut diduga telah berpihak secara nyata.KIP Aceh tidak adil sebagai penyelenggara.
“Kesalahan ada pada KIP Aceh, tapi yang dikorbankan adalah paslon 01 dan rakyat Aceh. Hak rakyat mendapatkan informasi tentang visi dan misi calon pemimpin mereka, telah disabotase oleh KIP. Hak 01 menyampaikan visi dan misi kepada rakyat, telah dirampas oleh KIP secara melawan hukum,” kata Zaini Djalil.
Menurut praktisi hukum tersebut, bila debat tidak diulang, bagaimana KIP mempertanggungjawabkan uang rakyat yang telah dihabiskan untuk debat ketiga? Bila debat tidak diulang, maka publik harus menggugat KIP Aceh.
“Seyogyanya KIP Aceh harus menggelar debat ulang atau setidaknya meminta maaf kepada Paslon 01 dan masyarakat Aceh atas kesalahan yang telah mereka lakukan.