Aceh Rangking 1 Ujaran Kebencian Terkait Pilkada

ujaran kebencian intoleransi politik
Peneliti dari Monach University, Minggu (24/11/2024) mengatakan Aceh berada di peringkat pertama ujaran kebencian tertinggi tentang pilkada. Hal tersebut disampaikan dalam diskusi online di X Space. Foto: Flyer kegiatan.

Komparatif.ID, Jakarta—Aceh berada di peringkat pertama ujaran kebencian pada Pilkada 2024. Demikian hasil penelitian yang dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang bekerjasama dengan Monash University, Australia.

Dalam diskusi daring yang dilakukan melalui platform X Space –dulu Twitter–, Minggu (24/11/2024) Dr. Derry Wijaya, Co-Director Monash Data & Democracy Research, mengatakan pemantauan ujaran kebencian dilakukan melalui aplikasi Twitter dan TikTok.

Lima wilayah yang dipilih berdasarkan nilai kerawanan konflik yaitu Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku Utara.

“Lima provinsi tersebut dipilih berdasarkan analisis AJI dan Bawaslu, yang mengidentifikasi daerah dengan tingkat kerawanan dan toleransi rendah,” kata Dr. Derry Wijaya.

Baca: Gagal Karena Ricuh, KIP Aceh Tolak Gelar Debat Ulang Terakhir

Derry menjelaskan, pihaknya melakukan monitoring ujaran kebencian di media sosial. Topik yang dimonitor adalah isu pilkada.

“Untuk itu, kami menyusun kata kunci spesifik di setiap daerah, termasuk nama kandidat, isu kampanye, dan topik sensitif lainnya,” jelas Derry.

Lebih lanjut, data yang terkumpul dianalisis oleh tim annotator di masing-masing wilayah. Annotator dilatih untuk memahami dan mengidentifikasi ujaran kebencian, membedakannya dari konten biasa. Setelah pelatihan, annotator meninjau ribuan postingan, mulai dari 2.000 hingga 5.000 per provinsi, untuk mengklasifikasi mana yang termasuk ujaran kebencian dan mana yang tidak.

Pemantauan dilakukan sejak Agustus hingga awal November 2024. Lebih dari 125.000 teks terkumpul dari media sosial menggunakan ratusan kata kunci dalam berbagai bahasa daerah. Dari total data tersebut, 13,54% di antaranya mengandung ujaran kebencian.

Hasil dari analisis ini digunakan untuk melatih model kecerdasan buatan (AI) bernama Indo-BERTweet, yang dirancang khusus untuk memahami bahasa Indonesia dan istilah-istilah media sosial. Model ini mampu mendeteksi ujaran kebencian dengan tingkat akurasi mencapai 80% di sebagian besar provinsi.

Dari hasil tersebut, Aceh berada di peringkat pertama ujaran kebencian dari lima provinsi yang diriset. Posisi kedua Jawa Barat, peringkat ketiga Maluku, keempat NTB, dan terakhir Sumatera Barat.

Dr. Ika Idris, Co-Director Monash Data & Democracy Research menyebutkan, Sumatera Barat memiliki tingkat ujaran kebencian yang rendah, hanya 2,5% dari total data yang dianalisis. Ini mungkin berkaitan dengan budaya lokal Minangkabau yang cenderung menghindari konflik terbuka.

Menurut, isu yang paling banyak muncul dalam ujaran kebencian di media sosial di berkaitan dengan agama, etika, dan identitas budaya.

“Di hampir semua daerah, isu agama menjadi topik utama. Bahkan sesama calon dari agama yang sama saling mengklaim sebagai yang lebih religius,” jelasnya.

Selain itu, tren ujaran kebencian menunjukkan adanya diskriminasi terhadap kelompok minoritas, seperti komunitas Tionghoa, Syiah, Ahmadiyah, dan LGBT.

Di NTB, hate speech juga menargetkan perempuan, terutama salah satu calon gubernur yang berjenis kelamin perempuan,” tambah Ika.

Di Aceh, ujaran kebencian banyak berkisar pada isu agama, sementara di Jawa Barat ditemukan polarisasi terkait isu poligami dan narkoba. “Di TikTok, kami bahkan menemukan hate speech berbentuk deklarasi yang menyatakan bahwa memilih kandidat tertentu akan membawa azab dari Allah,” ungkap Ika.

Aceh mencatat jumlah ujaran kebencian tertinggi, mencapai 7.200 postingan, diikuti oleh Jawa Barat dengan 1.700 postingan, sementara Maluku Utara, NTB, dan Sumatera Barat memiliki jumlah yang lebih rendah. Meski demikian, Sumatera Barat menunjukkan tingginya polarisasi politik, meskipun tidak secara eksplisit mengandung ujaran kebencian.

Beberapa peristiwa politik turut memicu lonjakan ujaran kebencian di media sosial. Peningkatan signifikan terjadi pada 26 Agustus, saat revisi peraturan KPU terkait ambang batas pencalonan kepala daerah diumumkan. Lonjakan lainnya terjadi pada 23 September saat penetapan calon tetap, dan pada 21 Oktober saat pelantikan presiden.

Modal Menyusun Strategi Pencegahan

Mengumpulkan data hate speech dari media sosial menghadapi tantangan tersendiri, terutama dari platform yang kurang transparan.

“TikTok, misalnya, memiliki volume komentar yang sangat tinggi, dan ujaran kebencian sering kali tersembunyi di diskusi pengguna. Kami juga sedang mempelajari data dari WhatsApp untuk memahami polarisasi yang terjadi di grup-grup diskusi,” jelas Ika.

Hasil pemantauan ini menjadi bahan penting untuk merancang strategi pencegahan polarisasi selama pilkada. Menurut Derry, identifikasi awal dapat membantu pemerintah, media, dan masyarakat untuk menangkal isu-isu sensitif sebelum berkembang menjadi konflik.

“Pilkada ini bukan hanya soal memilih pemimpin, tetapi juga ujian bagi demokrasi kita. Kita harus bekerja sama untuk memastikan bahwa Pilkada berjalan lancar tanpa polarisasi yang membahayakan persatuan bangsa,” tutupnya.

Artikel SebelumnyaGagal Karena Ricuh, KIP Aceh Tolak Gelar Debat Ulang Terakhir
Artikel SelanjutnyaPraktisi Hukum: KIP Harus Gelar Debat Ketiga yang Gagal

1 COMMENT

  1. Klo untuk komen ujaran kebencian terkait pilkada, keknya betul tu hasilnya. untuk tiktok wah, jangan tanya, orang aceh betol-betol rame di sana, bahkan jadi bahan pembicaran khalayak ramai klo urusan tiktok, pernah masuk podcast hanya ngebahas tentang teumenak di tiktok. klo di X nggak terlalu, karena sering baca di sana. masih bisa ditolerir dan nggak kasar-kasar kali juga meskipun ada yang provok dikit-dikit.

    yang meragukan tu, konflik terkait pilkada. klo dari baca media sebelah tu, aceh sama padang malah masuk kategori sedang atau menengah sekitar 39 persen. yang tinggi sultra, maltra sekitar 70-80-an persen

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here