“Saat ini politik kita masih jauh dari semangat fair play. Gaya politik sebagian kita masih menganut ajaran Machiavelli; menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan.”
Peluit kick off Pilkada Aceh 2024 sudah ditiup. Sebagai partai pemenang pileg 2024, Partai Aceh mengusung ketuanya Muzakir Manaf yang juga eks Panglima Teuntra Angkatan Gerakan Aceh Merdeka. Muzakir Manaf berpasangan dengan Ketua Partai Gerindra Aceh Fadhlullah.
Meski berencana akan menciptakan Pilkada Aceh melawan kotak kosong, tapi Muzakir Manaf-Fadhlullah, akhirnya harus menerima fakta, bahwa pada pilkada kali ini, mereka harus menghadapi rival yang harus sangat diperhitungkan.
Bakal calon Gubernur/Wakil Gubernur Aceh Bustami Hamzah-Teungku H. Muhammad Yusuf A. Wahab, tidak boleh dianggap kaleng-kaleng. Meski Muzakir Manaf pernah mengeluarkan kata-kata bahwa pihak sebelah tidak ada apa-apanya, tapi sesungguhnya paket Bustami-Tu Sop bukan saingan yang mudah.
Baca: Bustami Hamzah Membuka Jalan Harmoni Mualem dan Irwandi
Setiap menjelang pilkada, baik ulama, cendekia, dan politisi, selalu mengajak seluruh warga supaya mengedepankan politik santun, menjauhi fitnah, dan bertindak fair play. Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh ketua partai politik, dan para relawan politik.
Tapi faktanya, dunia politik kita belum bisa dipisahkan dari perilaku ajaran Niccolò Machiavelli, bahwa politik dan etika harus dipisahkan. Bagi Machiavelli, politik hanya berkaitan dengan satu hal semata, yaitu memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Hal lainnya, seperti agama dan moralitas, yang selama ini dikaitkan dengan politik sesungguhnya tidak memiliki hubungan mendasar dengan politik, kecuali bahwa agama dan moral tersebut membantu untuk mendapat dan mempertahankan politik.
Lihatlah, meski berada di daerah yang menerapkan syariat Islam, ujaran kebencian, fitnah, dan analisis-analisis busuk terhadap kontestan selalu hadir dalam ruang dialektika. Dengan dalih demokrasi, orang-orang lebih memilih berperilaku amoral, demi mencapai tujuan politiknya.
Politik kita masih sangat pragmatis. Dua orang yang dua hari lalu masih berteman, hari ini bisa menjadi seteru serius di ruang publik. Saling melakukan ad hominem, demi membela kandidat masing-masing. Dua orang yang tiga hari lalu masih saling menyeruput segelas kopi berdua, hari ini—berdalih atas dasar demokrasi—saling menyebar fitnah dan prasangka buruk.
Bahkan, karena berbeda pilihan menempuh jalan, mereka yang dua malam lalu bersekongkol, hari ini saling hina-menghina.
Dapatkah kita mengharapkan akan hadirnya suasana fair play di dalam pilkada Aceh 2024? Seperti kata pepatah Melayu; jauh panggang dari api.
Fair play politik mengandung pengertian bagaimana sebuah permainan harus berlangsung dengan cantik, enak ditonton, adil dan menarik. Tidak ada pihak yang dirugikan. Panas saat bersaing tetapi semua menerima dengan puas terhadap hasil akhir setelah permainan selesai.
Tetapi jika permainan tidak menjunjung tinggi semangat fair play, akan menjadi permainan yang brutal. Mencekam bagi yang menonton. Dan tidak jarang emosi penonton menjadi terpancing untuk ikut terjun brutal menyatu dalam permainan para pemain di lapangan yang tidak menjunjung fair play.
Harus Mengedepankan Rasional
Dalam memilih seorang pemimpin pada tanggal 27 November 2024, kita perlu mengedepankan aspek rasional dan tidak terpaku pada aspek emosional saja.
Yang utama untuk masa depan tentunya adalah rekam jejak (track record) dan kualitas. Track record mencerminkan catatan kinerja seorang kandidat dalam jabatan atau tanggung jawab sebelumnya. Melihat track record adalah salah satu cara terbaik untuk menilai kemampuan, integritas, dan komitmen seorang calon pemimpin.
Menurut penulis, yang terpenting saat ini adalah kita melakukan pemetaan masalah yang memperbaiki Aceh saat ini. Dari pemetaan masalah tersebut kita akan dapat menentukan sosok pemimpin Aceh yang paling dibutuhkan ke depan.
Calon pemimpin berkualitas tidak selamanya berasal dari yang populer. Karena popularitas bisa datang dari berbagai aspek yang melatarbelakanginya.
Aceh—bila ingin maju—tentu harus dipimpin oleh Gubernur Aceh yang cakap secara akademik, memiliki pengetahuan politik memadai, memiliki kemampuan birokrasi yang baik, serta memiliki kemampuan berdiplomasi dan bernegosiasi.
Aceh membutuhkan gubernur yang memiliki kemampuan perencanaan dan eksekusi kebijakan. Masalah infrastruktur, kesehatan, pendidikan, ekonomi tentunya selalu menjadi hal wajib dari setiap pemimpin untuk melaksanakannya, dari empat aspek bidang ini yang masalah paling mendasar di Aceh.
Menyambut Pilkada 2024 sudah selayaknya masyarakat Aceh membahas sosok yang paling tepat memimpin Aceh lima tahun ke depan. Kriteria figur calon gubernur di Pilkada Aceh 2024 adalah salah satu yang menjadi faktor penting bagi masyarakat dalam menjatuhkan pilihan politiknya.
Menurut penulis, setidaknya ada empat kriteria yang harus dimiliki figur calon gubernur di Aceh.
Pertama, berkarakter dan perilaku etis. Kita menginginkan pemimpin Aceh mampu menyatu dalam setiap pikiran, perkataan dan perbuatan, ketat memegang komitmen dan konsisten menjalankan prinsip-prinsip kebenaran universal.
Kedua, kapabilitas. Pemimpin yang memiliki kapabilitas berarti orang paham dan ahli akan bidang pekerjaannya. Ketika Bung Karno menjadi presiden, Frans Seda muda diangkat menjadi menteri.
Bung Karno lengser dan Soeharto naik tahta yang kemudian meminggirkan orang-orang yang berbau Soekarno, tetap saja Frans Seda diangkat sebagai menteri. Sampai usia sepuh dan ketika Megawati menjadi presiden, pemikiran Frans Seda tetap dipakai sebagai penasihat ekonomi. Kapabilitas Seda tidak dipertanyakan karena ukuran untuk menilainya jelas: kualitas dan produktivitas pekerjaannya.
Ketiga, memiliki ide dan gagasan dalam memperbaiki Aceh. Pemimpin Aceh harus memiliki ide dan gagasan dalam membangun Aceh ke depan. Otoritas yang dimilikinya harus mampu menggerakkan pemerintahan, termasuk menegakkan disiplin dan peraturan. Bagaimana ditangan seorang Ali Sadikin, otoritas menjadi perkakas efektif untuk membangun Jakarta. Ia tegas, tegar dan tegak dalam menerapkan peraturan. Jakarta yang dulunya sebuah “kampung” besar berubah menjadi metropolitan dengan berbagai modernitasnya.
Keempat, luwes dan dekat dengan rakyat. Pemimpin adalah pelayan. Pemimpin memiliki sifat rendah hati dan respek kepada orang lain. Jabatan adalah amanah dan karena itu amanah harus dipertanggungjawabkan kepada konstituennya dengan cara melayani sepenuh hati untuk rakyat.
Penulis berharap, para konstestan yang akan bersaing dalam pertarungan ‘panas’ untuk tidak terjebak dalam “syahwat kekuasan” yang cenderung ambisius, curang, dan kolutif.