Tu Sop Seorang Wali Allah

Tu Sop meninggal dunia wali Allah
Teungku H. Muhammad Yusuf A. Wahab. Foto: Dok. Pribadi Tu Sop.

Kepergiaan Tu Sop ke alam barzah, menimbulkan duka mendalam bagi jutaan rakyat Aceh. Tu Sop meninggal dunia pada Sabtu pagi, 7 September 2024. Kembalinya Teungku H. Muhammad Yusuf A. Wahab ke hadirat Ilahi, menyentak jutaan orang di Serambi Mekkah. Duka pun bergelayut di asman Aceh.

Kala sedang menyantap sarapan, saya mendapatkan kabar bila Ayah Sop telah kembali ke pangkuan Ilahi Rabbi. Saya terkejut. Sempat kehilangan kata-kata dalam tempo beberapa saat. Tapi naluri wartawan yang saya miliki, memaksa saya harus realistis.

Bagi seorang jurnalis, seduka apa pun kondisi, memberi tahu publik merupakan prioritas utama. Wartawan tidak boleh menangis di tengah ramai. Bila ia berduka, maka dilakukan setelah menulis berita; menangis di sudut gelap. Wartawan harus terlihat gagah perkasa di depan publik.

Saya menghubungi Kautsar Muhammad Yus, menanyakan kepastian. Ia membenarkan. Kemudian saya telepon Hulaimi, dokter yang mendampingi Ayah Sop saat berangkat ke Jakarta untuk melakukan medical check up. Dokter ramah tersebut membenarkan bila Tu Sop telah mangkat pada pukul 08.10 WIB.

Baca: Saksikanlah Wahai Pencaci Tu Sop

Setelah saya menulis berita dan mempublikasikannya di Komparatif.ID, kabar meninggalnya Tu Sop seketika menyebar ke segala penjuru mata angin. Duka pun menyeruak di Serambi Mekkah.

Siapa yang tidak mengenal Teungku H. Muhammad Yusuf A. Wahab di Aceh? Seorang ulama yang memimpin Dayah Babussalam Al-Aziziyah Putra Jeunib. Allahyarham merupakan ulama yang egaliter, ceria, dan selalu bersama rakyat kecil. Gaya komunikasinya yang ramah, membuat ia disenangi oleh semua lapisan kalangan; mulai kawula hingga elit. Dalam batas ini, allahyarham telah menjadi “milik” semua orang.

Sebagai seorang pemimpin spiritual, sebagai seorang ulama tasawuf, sebagai seorang pendakwah, sebagai seorang ayah bagi umat, Tu Sop seringkali meninggalkan rumahnya untuk mendakwahkan Islam kepada siapapun, di manapun, selama tempat itu dianggap layak untuk berdakwah. Keluarganya pun telah mahfum, bila sang ulama punya kewajiban berdakwah.

Saya tidak akan mengulas lagi terlalu dalam seperti apa sang ulama berdakwah, seperti apa sang ulama membangun ekonomi, seperti apa sang ulama membangun relasi. Karena kita semua telah tahu.

Tulisan ini akan menukil sesuatu yang tidak berani dibicarakan terlalu luas, tapi patut menjadi renungan bagi kita yang masih hidup.

Lihatlah, kabar meninggalnya Tu Sop yang beredar massif, tidak sebatas viral di media sosial. Tapi turut viral dalam tindakan nyata. Kabar mangkatnya sang ulama ditangisi oleh ribuan orang. Kedatangan jenazahnya ke Aceh ditunggu oleh puluhan ribu manusia.

Dalam 20 tahun terakhir, baru kali ini saya melihat ada seorang berilmu yang sangat populer. Jenazahnya disalati di empat tempat. Di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Di masjid kebanggan masyarakat Aceh itu, jenazah Tu Sop disalati hampir 10 ribu jamaah.

Demikian juga di Dayah Kuta Krueng, Pidie Jaya. Ribuan orang menyalati jenazahnya. Kemudian di Dayah MUDI Mesra Samalanga juga demikian. Lalu kala jenazah tiba di Dayah Babussalam Al-Aziziyah Jeunib. Kembali, puluhan ribu orang menyalati jenazah sang ulama.

Lihatlah, kala jenazah dibawa pulang dari Banda Aceh ke Bireuen. Sepanjang jalan perjalanan rombongan pengantar jenazah, disambut oleh masyarakat yang berjejer di pinggir jalan. Di media sosial TikTok kita bisa mengikuti perjalanan rombongan pengantar jenazah dengan cara cukup update. Karena di setiap titik, beramai-ramai orang menanti sembari melakukan live streaming.

Kemudian setelah jenazahnya dimakamkan di maqbarah keluarganya di Dayah Babussalam, setiap hari ribuan pelayat datang dari berbagai penjuru. Mendoakan arwah. Di tempat-tempat lain di luar Bireuen, masyarakat menggelar tahlilan untuk Tu Sop. Sumbangan bahan baku makanan, dan uang mengalir dari segala mata angin. Allahuakbar!

Beberapa orang menyebutkan bila Tu Sop merupakan wali Allah. Ciri-ciri wali Allah sangat sesuai dengan apa yang melekat di dalam pribadi Ayah Sop. Ia seorang ulama yang rendah hati, sangat mudah iba dan selalu bersedia membantu orang kesusahan. Allahyarham memang memiliki unit bisnis, tapi keuntungannya dijadikan modal untuk melanjutkan nafas dakwah.

Tu Sop mendidik kader dakwah, mulai dari murid-muridnya di dayah, hingga anak-anak muda yang ada di kampung-kampung. Sebagian besar kebutuhan dana ditekel dari kantong pribadi sang cendekia.

Setiap berdakwah ke luar daerah, ia menerima sumbangan, dan ternyata sumbangan itu, Sebagian besar dialihkan untuk modal dakwah dalam bentuk tindakan sosial; membantu orang miskin dengan berbagai program filantropi.

Tu Sop juga sosok ulama yang tidak punya batas dalam bergaul. Rumahnya bisa dikunjungi kapanpun. Selama Tu ada di rumah, selama itu pula tamu tetap bisa bertamu. Bahkan hingga larut malam. Semua orang diperkenankan bertemu dengannya.

Ketika Ayah Sop maju dalam pilkada Bireuen pada 2017, banyak hujatan terhadap dirinya. Tapi sang cendekia tidak marah. Allahyarham mengatakan para pencaci tidak tahu apa yang sedang Ayah perjuangkan.

Demikian juga kala Tu Sop bersedia menjadi pendamping Bustami Hamzah pada Pilkada Aceh 2024. Banyak cacian ditujukan kepadanya. Bahkan ada yang memfitnahnya. Lagi-lagi Tu Sop tersenyum. Saya tahu ia sedih kala dihujat. Tapi yang namanya sang ayah, selalu ada ruang maaf melebihi luasnya seluruh samudera di muka bumi. Tak sedetikpun ia membenci pembencinya. Tak sejenak pun ia berniat membalas orang-orang yang menyakitinya. Rasa cintanya kepada Aceh dan Islam, lebih besar ketimbang segala keburukan yang coba ditimpakan kepada dirinya.

Kala allahyarham pergi, Allah menampakkan bahwa sang ulama merupakan hamba-Nya yang dikasihi. Sang ulama merupakan hamba-Nya yang dicintai. Sang ulama merupakan hamba-Nya yang direstui.

Saya merenung, dengan segenap kemuliaan yang ditampakkan Allah setelah sang syuhada meninggal dunia, saya sepakat dengan pendapat beberapa orang berilmu bahwa Tu Sop merupakan seorang wali Allah.

Saya teringat dialog dengan Ayah Sop pada tengah malam pada tahun 2016. Kala itu kami terlibat diskusi tentang wali Allah. Saat itu Tu Sop mengatakan wali Allah hidup di tengah masyarakat. Makan dan minum seperti manusia lainnya. Membutuhkan orang lain karena manusia tidak bisa hidup sendiri. Wali tetap berpakaian seperti manusia umumnya.Tidak ada tanda-tanda khusus yang dapat diraba orang awam. Bahkan, para wali juga tidak tahu dirinya wali. Mengapa? Karena seseorang menjadi waliyullah karena Allah mencintainya, bukan karena ia mencintai Allah.

Hmmm, Allahuakbar!

Artikel SebelumnyaLanai Island, Pulau Termahal di Dunia Dikuasai 1 Orang Pengusaha
Artikel SelanjutnyaDi Malaysia 402 Anak Alami Kekerasan Seks di Panti Asuhan
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here