Subulussalam, sebuah kota kecil di Aceh, kini menjadi sorotan nasional. Bukan karena prestasi pembangunan atau inovasi yang memukau, tetapi karena fenomena yang lebih kental dengan aroma politik lokal: batalnya pencalonan pasangan calon walikota Affan Alfian Bintang-Irwan Faisal oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kota Subulussalam, yang kemudian dikembalikan statusnya.
Hmmm, bukan hal yang asing di negeri ini, tapi tetap saja mencengangkan—seakan memperkuat anggapan bahwa hukum dan demokrasi di Indonesia adalah sebuah teater absurd, di mana naskahnya bisa berubah sesuai kepentingan.
Kontroversi “Orang Aceh”
Permasalahan ini bermula ketika KIP Kota Subulussalam menyatakan bahwa Affan Alfian Bintang, petahana yang pernah menjabat sebagai Wakil Walikota dan Walikota, tidak memenuhi syarat untuk mencalonkan diri dalam Pilkada 2024. Alasannya? Affan Alfian dianggap bukan “orang Aceh” sesuai Pasal 24 huruf b Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2024.
Baca: Muslim Ayub Minta DKPP Bekukan KIP Subulussalam
Ini, tentu saja, mengundang kegaduhan. Bagaimana mungkin seseorang yang sudah berkecimpung dalam politik lokal selama bertahun-tahun, yang bahkan pernah menjabat sebagai Walikota, tiba-tiba dinyatakan bukan “orang Aceh”? Bukankah ini semacam skenario sinetron, di mana tokoh utama didepak dari cerita dengan alasan yang absurd, hanya untuk kembali dengan twist plot di akhir?
Pada saat keputusan KIP diumumkan, protes meledak. Para pendukung Affan Alfian-Irwan Faisal berbondong-bondong menduduki kantor KIP, menuntut keadilan dan mempertanyakan logika di balik keputusan tersebut. Bahkan salah satu komisioner KIP sendiri, Arman Bako, menolak menandatangani keputusan tersebut, menyebutnya sebagai sesuatu yang sarat kepentingan politik dan tidak sesuai dengan pemahaman budaya Aceh.
Dan memang, definisi tentang “orang Aceh” di sini menjadi isu krusial. Secara antropologis, Aceh adalah sebuah identitas budaya yang mencakup berbagai etnik dan kelompok. Di Subulussalam, siapa pun yang tinggal di sana, mempraktikkan Islam, dan berintegrasi dengan masyarakat, dianggap sebagai bagian dari orang Aceh. Namun, bagi sebagian elit politik, definisi ini bisa dipersempit dan dipelintir demi tujuan tertentu. Ah aku da![1]
Fenomena Serupa Subulussalam
Fenomena pembatalan dan pemulihan status calon ini bukanlah kasus pertama dalam sejarah politik Indonesia. Salah satu kasus yang mirip terjadi di Pilkada Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, pada tahun 2020. Bupati terpilih, Orient Riwu Kore, diketahui memiliki kewarganegaraan Amerika Serikat, yang bertentangan dengan syarat konstitusi Indonesia bahwa calon kepala daerah harus warga negara Indonesia. KPU setempat awalnya meloloskan Orient, tetapi setelah informasi kewarganegaraan ganda terungkap, terjadi kekacauan politik yang melibatkan Bawaslu dan DKPP. Meskipun KPU pada akhirnya dinyatakan lalai dalam memverifikasi persyaratan calon, dampak terhadap kepercayaan publik dan stabilitas politik lokal tidak dapat dipandang remeh.
Kasus di Sabu Raijua, seperti halnya kasus di Subulussalam, menyoroti masalah krusial tentang kompetensi dan integritas lembaga penyelenggara pemilu. Ketika badan-badan ini gagal menjalankan tugasnya dengan baik, bukan hanya proses demokrasi yang terganggu, tetapi juga legitimasi kepemimpinan di tingkat lokal menjadi dipertanyakan. Ujung-ujungnya, rakyatlah yang menanggung dampaknya: ketidakpastian politik, penurunan partisipasi pemilih, hingga potensi konflik sosial.
Analisis Hukum
Sejatinya, kasus ini mencerminkan masalah mendasar dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia, yaitu independensi dan profesionalitas penyelenggara pemilu. Lihatlah, tindakan KIP Kota Subulussalam yang pada awalnya menggugurkan pencalonan Affan Alfian-Irwan Faisal, jelas memicu pertanyaan tentang integritas komisionernya.
UU Pemilu dan aturan terkait lainnya jelas mengatur bahwa penyelenggara pemilu wajib bersikap mandiri, adil, dan profesional. Namun, keputusan yang dianggap sarat politisasi ini justru memperlihatkan ketidakmandirian KIP, yang bisa saja terpengaruh oleh tekanan atau kepentingan politik lokal.
Muslim Ayub, politisi Partai NasDem yang juga terpilih sebagai anggota DPR RI, dengan tegas menyoroti masalah ini. Dia meminta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk memeriksa dan menindak para komisioner yang dinilai melanggar asas penyelenggaraan pemilu. Jika tidak, katanya, demokrasi di Subulussalam bisa terancam karena publik sudah kehilangan kepercayaan terhadap netralitas KIP.
Dampak Sosial, Politik, dan Hukum
Fenomena ini, tentu saja, memiliki dampak yang luas pada berbagai aspek. Pertama, dampak sosial. Keputusan yang tidak konsisten dari KIP telah memicu gejolak sosial di Subulussalam. Masyarakat menjadi terpecah, dan protes massa menjadi pemandangan biasa di depan kantor KIP. Hal ini tentu kemudian menimbulkan pertanyaan: apakah demokrasi yang kita perjuangkan selama ini benar-benar mencerminkan kehendak rakyat, atau justru menjadi alat bagi segelintir elit politik?
Kedua, dampak politik. Ketidakmampuan KIP dalam menjaga netralitas dan integritasnya jelas berpengaruh pada stabilitas politik lokal. Maka, di masa yang akan datang, peristiwa ini bisa saja berdampak pada penurunan tingkat partisipasi politik, karena masyarakat mulai meragukan transparansi dan kejujuran proses pemilu. Selain itu, hal ini bisa memicu gelombang skeptisisme terhadap calon-calon yang dianggap ‘didukung’ oleh pihak-pihak tertentu dalam kontestasi Pilkada ini.
Ketiga, dampak hukum. Fenomena ini membuka ruang bagi gugatan hukum terhadap keputusan KIP. Jika DKPP memutuskan bahwa komisioner KIP melanggar asas independensi dan profesionalitas, maka mereka bisa diberhentikan. Jelas, ini pun akan menciptakan preseden penting bagi penyelenggara pemilu di seluruh Indonesia, bahwa setiap keputusan yang diambil harus berdasarkan hukum dan tidak boleh dipengaruhi oleh tekanan politik atau kepentingan kelompok tertentu.
Demokrasi sebagai Panggung Komedi atau Tragedi?
Kasus di Subulussalam ini mengingatkan kita bahwa demokrasi di Indonesia, meskipun telah berjalan lebih dari dua dekade, masih jauh dari sempurna. Hukum dan institusi yang seharusnya menjaga proses demokrasi seringkali justru menjadi alat bagi pihak-pihak yang memiliki agenda terselubung. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi masa depan demokrasi itu sendiri.
Namun, di balik semua ini, ada pelajaran penting yang bisa diambil. Demokrasi bukanlah sesuatu yang bisa kita anggap remeh. Karena demokrasi membutuhkan partisipasi aktif, pengawasan ketat, dan—yang paling penting—komitmen pada prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran. Jika kita gagal menjaga nilai-nilai ini, maka demokrasi kita tidak lebih dari sebuah panggung sandiwara, di mana aturan bisa berubah-ubah, dan kebenaran hanyalah ilusi.
Dan pada akhirnya, seperti kata pepatah lama, “Jika tidak bisa menangis, maka tertawalah.” Karena di negara yang penuh paradoks ini, terkadang hanya dengan humor kita bisa bertahan. Oda begi, kaum?
[1] Frasa popular sebagai ungkapan kekesalan dalam bahasa subulussalam
Sebenarnya nggak mungkin berpolemik, klo kualitas SDMnya bagus. kan sudah jelas “keturunan” dan “lahir”. keturunan ini pun bisa diterjemahkan secara lebar, seperti orang tuanya lahir di aceh (berbeda suku) ataupun orang tuanya “bersuku aceh/bahasa aceh”. klo dilihat secara objektif, peraturan itu cukup fair sebenarnya, meskipun nggak sempurna. untuk mengetahui lebih dalam tentang “aceh” ini lebih gampang diliat dari bahasa aceh. bahasa aceh sendiri menyerap banyak kosakata dari bahasa suku-suku yang ada di aceh, cuma ya itu, balik lagi ke kualitas SDM.