Partai Aceh merupakan satu partai politik lokal di Aceh, dan mengikuti pemilu legislatif pertama kali pada 2009 dan menjadi menjadi juara dengan perolehan suara sebesar 46,91 persen. Sebelum menjadi Partai Aceh, dahulu bernama Partai Gerakan Aceh Merdeka (GAM), kemudian pernah berubah menjadi Partai Gerakan Aceh Mandiri. Tetapi keduanya ditolak Pemerintah.
Jadi kalau ada berita media yang mengutip Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto: “TNI Sinyalir Partai Lokal Aceh Wadah Aspirasi Eks Kombatan GAM, Berpotensi Timbulkan Konflik”, itu kekeliruan besar. Partai Aceh memang partai mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka, Jenderal. Ini fakta sejarah, bukan sinyalemen. Kekeliruan kedua, Partai Aceh bukan penyebab atau pemicu konflik, tetapi partai pendamai, yang secara sejarah, justru menyelesaikan konflik berkepanjangan yang terjadi di Aceh.
Karena itu, kita semua tak boleh melupakan sejarah. Tulisan ini mencoba menghadirkan sedikit info sejarah kepada Jenderal Agus, agar di kemudian hari tidak lagi keliru dalam berbicara soal politik, terutama politik Aceh. Dengan demikian, bisa secara tepat dalam memformulasikan metode pendekatan dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
Sejarah mencatat, perang berkepanjangan hampir 30 tahun rakyat Aceh vis to vis melawan negara (1976-2005), menyebabkan Aceh mengalami banyak kesulitan pada masa itu dengan kehilangan segala-galanya. Materi, jiwa dan hancurnya peradaban. Gempabumi dan tsunami 26 Desember 2004, puncak dari kehancuran Aceh, yang merengut ratusan ribu nyawa, harta dan peradaban.
Baca: Panglima TNI Terkesan Paranoid Terhadap Partai Aceh
Aceh berada di titik nol. Akhirnya Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah RI sadar, tak ada gunanya berkonflik, jika semuanya bisa diselesaikan secara damai. Maka mulai ada pembicaraan, sampai ditandatangani Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki pada hari Senin tanggal 15 Agustus 2005 Antara Pemerintah Republik Indonesia yang diwakili Hamid Awaluddin Menteri Hukum dan HAM, dan Pimpinan Gerakan Aceh Merdeka diwakili oleh Perdana Menteri Malik Mahmud.
Setelah MoU Helsinki ditandatangani, dengan serta merta keadaan aman dan damai terwujud di Aceh. Tentara pemerintah mulai ditarik secara bertahap untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Di sisi lain, senjata-senjata yang dipegang para kombatan GAM, mulai ditarik untuk dimusnahkan.
Di antara poin-poin MoU Helsinki, ada satu pon yang sangat tegas tentang partai politik lokal, yaitu Poin 1.2.1: “Sesegera mungkin tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukkan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional”.
MoU Helsinki kemudian diturunkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, yang salah satu penegasannnya ada di BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 poin 14: “Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan anggota DPRA/DPRK, Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota.”
Selain itu diatur pula di BAB XI yang mengatur Partai Politik Lokal. Bagian Ke satu Pasal 75 (1) menegaskan “Penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal”, dan seterusnya.
Atas dasar inilah rakyat Aceh tidak mau kehilangan masa depan mereka yang demokratis, adil dan bermartabat di bawah payung kepastian hukum dengan perumusan ekonomi yang memihak kepada rakyat Aceh secara khusus dan seluruh tanah air secara umum.
Pembentukan partai politik lokal, adalah tekad para pihak (RI dan GAM) untuk menjamin dan menciptakan kondisi damai sehingga pemerintah rakyat Aceh dapat dijalankan melalui suatu proses demokratis dan adil dalam bingkai negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia.
Pada Pemilu 2009, ada 6 partai lokal yang ikut meramaikan pemilu legislatif: Partai Aceh, Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Partai Bersatu Aceh (PBA), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Rakyat Aceh (PRA), dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), dan Partai Aceh meraih suara mayoritas di lokal Aceh dengan menguasai 47 % suara parlemen dengan meraih 33 kursi dari 69 kursi di DPRA.
Lima tahun kemudian, pemilu 2014 Partai Aceh menyusut, dan hanya mampu merebut 29 kursi dari 81 kursi DPRA. Pemilu 2019, hanya mendapat 18 kursi DPRA kehilangan 11 kursi dari pemilu sebelumnya, dan pada Pemilu 2024, Partai Aceh kembali memperoleh suara mayoritas, dengan 20 kursi di legislatif Aceh.
PA Rumah Nasionalisme Aceh
Saat ini, sudah tak bisa dianggap lagi Partai Aceh sebagai partai mantan kombatan GAM. Banyak sahabat saya yang tidak ada historinya dengan GAM, sekarang menyalurkan aspirasinya melalui Partai Aceh. Partai Aceh haruslah dianggap sebagai Nasionalisme Aceh, yang dalam Pemilu 2024, melawan Nasionalisme Indonesia.
Nasionalisme Aceh ini sudah dibuktikan berpuluh-puluh tahun yang lalu, sejak Zaman Orde Baru, Pemilu 1971. Jika secara nasional, kala itu Golongan Karya memenangkan pemilihan umum dari pemilu ke pemilu lainnya, Aceh tak pernah, sejak 1971, 1977, 1982, Aceh selalu menang Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Baru di Pemilu 1987, Ketika Gubernur Aceh dipimpin alm. Prof. Dr. Ibrahim Hasan, Golongan Karya bisa menang di Aceh meski menang tipis, atau setara 52 persen dibandingkan dengan PPP yang beroleh 43 persen, dan Partai Demokrasi Indonesia 5 persen.
Kemenangan PPP di Aceh pada Pemilu 1971-1982, karena PPP dianggap bisa mewakili dan merepresentasi nasionalisme rakyat Aceh.
Dari pemilu ke pemilu untuk seterusnya, Aceh selalu tampil beda dengan Indonesia. Sikap politik ini memastikan bahwa Nasionalisme Aceh beda dengan Nasionalisme Indonesia.
Pada Pemilu Presiden 2014, Pasangan Prabowo-Hatta berhasil mendulang suara 54 persen dalam Pemilihan Presiden di Aceh, sementara pasangan nomor urut dua Jokowi-JK hanya memperoleh 46 persen suara. Kemudian pada Pemilu Presiden 2019, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno unggul dengan angka 2,4 juta pemilih di atas Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin yang hanya beroleh 400 ribu suara. Selama dua pemilu, rakyat Aceh lebih percaya Prabowo dibandingkan Jokowi, dan Prabowo dianggap sebagai orang yang mampu memperjuangkan nasionalisme Aceh.
Lalu bagaimana dengan Pemilu Presiden 2024? Pemilu 2024 Prabowo dianggap tidak bisa lagi mewakili nasionalisme Aceh karena sudah berkoalisi dan bersekutu dengan Jokowi. Meskipun Partai Aceh masih bersama Prabowo Subianto di Pemilu 2024, namun rakyat Aceh tidak memberikan kepercayaannya kepada pasangan ini.
Nasionalisme Aceh saat ini lebih cocok dititipkan kepada pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Koalisi Perubahan), sehingga pasangan ini bisa meraih 2.369.534 suara atau 73,56%, jauh di atas Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming (Koalisi Indonesia Maju) yang hanya meraih 787.024 suara atau 24,43%, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang hanya meraih 64.677 suara atau 2,01%.
Jika kegusaran Jenderal karena konteks ini, memang sukar untuk kita jelaskan secara hitungan logika dan matematika. Anies-Muhaimin adalah sosok yang dipercaya membawa aspirasi rakyat Aceh, dan pemberian suara kepada pasangan ini, dengan tanpa pamrih, tanpa godaan uang dan umbaran janji kekuasaan.
Penulis: J Kamal Farza, Pengacara dan Kandidat Doktor Hukum Universitas Borobudur Jakarta.
Komentar terhadap tulisan ini banyak dalam group group medsos, WA, FB, X, et. Salah satunya ini: https://www.facebook.com/usman.lamreueng/posts/pfbid02H7jCenKwDWFNNgL127vDe6j5McYFiJg85b581ZXVW4y8X9vjwqRfhtB7oNF6T6Gzl?comment_id=373397302239769¬if_id=1711192612146961¬if_t=comment_mention&ref=notif