Menjelajahi Museum Aceh: Jejak Sejarah yang Tak Lekang oleh Waktu

Menjelajahi Museum Aceh: Jejak Sejarah yang Tak Lekang oleh Waktu
Lonceng Cakradonya di halaman depan Museum Aceh, lonceng besar itu merupakan hadiah Kaisar Tiongkok untuk Samudera Pasai yang diantar Laksamana Cheng Ho pada abad ke-15. Foto: Komparatif.ID/Rizki Aulia Ramadan.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Museum Aceh merupakan saksi bisu perjalanan panjang sejarah dan budaya di Aceh, yang telah berdiri kokoh selama lebih dari satu abad. Museum ini didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda dan diresmikan pada 31 Juli 1915 oleh Jenderal H.N.A. Swart, yang kala itu menjabat sebagai Gubernur Sipil dan Militer Belanda di Aceh.

Berada di Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah, Kota Banda Aceh, Museum Aceh kini menjadi salah satu destinasi wisata unggulan yang selalu menarik minat pengunjung baik lokal maupun mancanegara.

Bangunan utama museum ini awalnya merupakan paviliun berbentuk tradisional Aceh atau yang dikenal dengan “Rumoh Aceh”. Bangunan ini pertama kali diperkenalkan kepada publik pada Pameran Kolonial di Semarang pada tahun 1914 sebagai Paviliun Aceh.

Paviliun ini menampilkan berbagai koleksi milik pribadi F.W. Stammeshaus, seorang pejabat Belanda yang memiliki ketertarikan mendalam pada kebudayaan Aceh. Tak hanya itu, paviliun ini juga menampilkan berbagai benda pusaka milik para pembesar Aceh, menjadikannya paviliun yang paling lengkap dan memukau.

Keberhasilannya dalam pameran tersebut terbukti dengan diraihnya empat medali emas, sebelas perak, dan tiga perunggu serta piagam penghargaan sebagai paviliun terbaik.

Melihat potensi besarnya, Stammeshaus pun mengusulkan agar Paviliun Aceh dijadikan museum tetap di Aceh, dan usul ini diterima oleh Gubernur Swart.

Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan Museum Aceh berpindah tangan ke Pemerintah Daerah Aceh dan mengalami berbagai renovasi serta perluasan melalui proyek Pelita.

Berbagai gedung baru pun dibangun, termasuk gedung pameran tetap, gedung pertemuan, perpustakaan, serta laboratorium yang mendukung perkembangan museum. Pada tahun 1979, museum ini resmi menjadi Museum Negeri Provinsi, sebuah langkah besar dalam upaya pelestarian budaya dan edukasi sejarah di Aceh.

Baca juga: Kerkhof Peucut, Pusara Ribuan Serdadu Belanda di Pusat Banda Aceh

Mengunjungi Museum Aceh menjadi hal menyenangkan bagi Afdhal Risaldi (23), mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah Islam di UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Ketika Afdhal pertama kali melangkah ke dalam museum, ia merasakan atmosfer berbeda, seolah-olah ia diajak untuk kembali ke masa lampau Aceh yang kaya akan budaya dan tradisi.

“Rasanya seperti menyaksikan langsung cerita sejarah yang selama ini hanya saya baca di buku,” ungkap Afdhal, Selasa (16/10/2024).

Museum Aceh memiliki berbagai koleksi berharga, termasuk artefak arkeologi, manuskrip kuno, etnografika, seni rupa, dan diorama yang menceritakan kekayaan budaya serta tradisi masyarakat Aceh.

Salah satu koleksi yang paling menarik perhatian Afdhal adalah lonceng Cakradonya, sebuah lonceng besar yang dihadiahkan oleh Kaisar Tiongkok kepada Kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-15. L

onceng ini dibawa oleh Laksamana Cheng Ho sebagai tanda persahabatan antara kedua bangsa. Lonceng Cakradonya yang megah dan bersejarah ini menjadi simbol hubungan diplomatik Aceh dengan bangsa asing di masa lampau.

Selain itu, Museum Aceh juga menyimpan prasasti Neusu, sebuah prasasti dengan aksara Grantha yang ditulis dalam bahasa Tamil. Prasasti ini ditemukan di Gampong Neusu Aceh, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh, pada tahun 1990.

Afdhal menyebut prasasti tersebut menjadi bukti adanya interaksi antara bangsa Aceh dengan komunitas Tamil pada abad ke-11 atau ke-12 Masehi. Prasasti ini terbuat dari batu andesit dengan panjang 173 cm, lebar 40 cm, dan ketebalan 16 cm.

Pengalaman berkunjung ke museum ini semakin mendalam ketika Afdhal memasuki bagian pameran koleksi-koleksi etnografika yang menggambarkan kehidupan masyarakat Aceh di masa lalu.

Terdapat berbagai peralatan rumah tangga tradisional, alat-alat bertani, serta pakaian adat yang mencerminkan keunikan budaya masyarakat Aceh. Di bagian lain, terdapat juga koleksi foto-foto masa kolonial yang seakan membawa pengunjung kembali ke masa lampau.

Foto-foto tersebut memberikan gambaran bagaimana masyarakat Aceh hidup di masa penjajahan dan betapa gigihnya mereka dalam mempertahankan budaya dan tanah air mereka.

Tidak hanya menjadi tempat menyimpan artefak bersejarah, Museum Aceh juga selamat dari bencana tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Meskipun museum ini tetap utuh, beberapa staf museum menjadi korban dari bencana alam dahsyat tersebut.

Bagi Afdhal, museum ini bukan hanya sekadar tempat wisata sejarah, tetapi juga sebuah monumen yang mengingatkan pada ketangguhan masyarakat Aceh dalam menghadapi cobaan.

Museum Aceh menjadi tujuan wisata edukasi yang penting, khususnya bagi para pelajar dan mahasiswa yang ingin mempelajari lebih dalam mengenai sejarah Aceh. Bagi Afdhal, kunjungannya ke museum ini menambah semangatnya dalam mendalami ilmu sejarah.

“Museum Aceh telah memberi saya pemahaman lebih tentang sejarah dan budaya Aceh, yang tidak bisa didapatkan hanya dari sekedar membaca buku. Melihat dan menyentuh langsung artefak-artefak bersejarah itu memberikan pengalaman yang begitu hidup dan berarti,” kata Afdhal.

Dengan segala keistimewaannya, Museum Aceh bukan hanya menyimpan benda-benda bersejarah, tetapi juga menjadi cerminan identitas dan kebanggaan masyarakat Aceh. Keberagaman koleksi yang ada memberikan gambaran betapa kaya dan beragamnya budaya Aceh, serta betapa pentingnya museum ini sebagai penghubung antara masa lalu dan masa kini.
Artikel SebelumnyaPolres Langsa Gagalkan Peredaran 1 Kg Kokain Asal Lhokseumawe
Artikel SelanjutnyaSafrizal: Kader HMI Harus Adaptif, Berpegang pada Islam dan Idealisme

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here