Komparatif.ID, Banda Aceh– Mantan Wakil Ketua DPRA Hendra Budian, meluruskan pola pikir Adi Maros perihal investasi.
Hendra Budian, Selasa (1/10/2024) mengatakan perlu meluruskan pikiran Abdul Hadi Abidin (Adi Maros) Wakil Ketua Kadin Aceh Bidang BUMN dan BUMD, yang menyatakan bahwa penerbitan beberapa Izin Usaha Pertambangan (IUP) di masa Pj Gubernur Bustami Hamzah, demi menguntungkan kelompok tertentu mengatasnamakan pengurangan pengangguran.
Menurut Hendra Budian, pernyataan Adi Maros merupakan kegagalan berpikir secara benar. Sangat sarat kepentingan sesaat; sekadar demi pilkada.
“Adi Maros sebagai pengurus Kadin Aceh terlihat tidak memahami regulasi dan filosofi kebijakan pembangunan daerah,” sebut Hendra Budian, yang juga Juru Bicara Paslon 01 Bustami Hamzah-M. Fadhil Rahmi.
Baca: Soal Saran Penutupan PT Mifa, Pansus DPRA Dinilai Tendensius
Di seluruh dunia, kata Hendra Budian, pembangunan selalu bergantung pada investasi. Tanpa investasi mustahil pembangunan daerah dapat berlangsung baik. Sementara itu, investasi sangat bergantung pada kebijakan pemerintah daerah.
Pemerintah dan dunia investasi memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Angkatan kerja membutuhkan investasi supaya dapat bekerja dan mendapatkan upah yang layak sesuai regulasi. Sementara investor mendapatkan produk yang dapat dijual. Sedangkan pemerintah selain menerima pajak sesuai regulasi, juga rakyatnya yang memenuhi kualifikasi mendapatkan pekerjaan.
Daerah-daerah yang maju tidak menutup diri dengan dunia investasi. Apalagi dunia investasi selalu menghadirkan multiplier effect (dampak berganda) yang memberikan nilai tambah untuk kesejahteraan rakyat.
Hendra Budian menjelaskan juga bahwa setiap menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) selalu memasukkan program investasi sebagai salah satu rencana strategis pemerintah.
“Seharusnya sebagai Wakil Ketua Kadin Aceh bidang BUMN dan BUMD, Adi Maros sudah memahami perihal itu sejak awal. Tapi mengapa yang bersangkutan justru seperti tidak paham? Nah, saya wajib meluruskan kekeliruan dia dalam memandang investasi dan pembangunan daerah,” sebut Hendra Budian.
Perihal penerbitan IUP, tidak serta merta dapat diterbitkan oleh pemerintah. Ada serangkaian prosedur yang harus dilewati. Ada kewajiban yang harus dipenuhi. Prosesnya ketat karena merujuk pada peraturan dan perundang-undangan.
Sudut pandang Adi Maros yang menyebutkan IUP paling banyak terbit di masa Bustami Hamzah, dan paling sedikit di masa Zaini Abdullah-Muzakir Manaf, lagi-lagi bukan tolok ukur benar atau salah; baik atau buruk.
Dalam konteks tata kelola pemerintah, acuannya adalah pada prosedur birokrasi yang dilalui. Di mana secara normatif semua aspek telah dikaji dengan sangat matang untuk menghasilkan keputusan final untuk menolak atau memberikan izin. Terbit atau tidaknya IUP bukan berdasarkan like and dislike.
Hendra Budian menilai sebagai pengurus Kadin, Adi Maros harus memperbaiki pola pikirnya terhadap investasi. Menurut Hendra Adi Maros belum sepenuhnya paham tentang mekanisme birokrasi, regulasi maupun filosofi kebijakan pembangunan pemerintah daerah.
Hendra lebih lanjut menjelaskan bahwa pengangguran selalu menjadi problem bagi daerah – daerah yang sedang berkembang.
Mendorong Investasi agar masuk ke Aceh adalah salah satu cara untuk mengurangi pengangguran.
Pernyataannya terkait pada sektor tambang, dan lebih spesifik kepada PT MIFA Bersaudara, harus dilihat sebagai salah satu contoh konkrit arti penting investasi bagi Aceh.
“Soal bahwa ada dugaan pelanggaran hukum dalam penerbitan izin, atau pelanggaran operasional di lapangan oleh perusahaan, ada mekanisme tersendiri untuk menindak lanjutinya. Cuma masalahnya isu ini muncul dalam momen Pilkada Aceh 2024. Patut diduga ada udang di dalam bakwan,” katanya.
Politisi asal Dataran Tinggi Gayo tersebut mengajak semua pihak, jangan korbankan kepentingan lima juta rakyat Aceh, hanya karena perbedaan afiliasi di dalam pilkada.
“Ada kepentingan lebih besar dari sekadar pilkada. Kepentingan itu adalah misi mensejahterakan seluruh rakyat. Framing negatif terhadap investasi hanya merugikan daerah. Kita harus berpikir maju, bukan sebaliknya,” imbuhnya.
Sebelumnya, Adi Maros menyebutkan penerbitan sembilan IUP di masa Bustami Hamzah, merupakan bentuk keberpihakan kepada kelompok tertentu.
Dalam tempo empat bulan, Bustami menerbitkan sembilan IUP, berbanding terbalik di masa Zaini Abdullah-Muzakir Manaf yang hanya menerbitkan empat IUP selama lima tahun memimpin Aceh.
Adi Maros meminta DPRA membuat Pansus yang mengkaji seluruh izin tambang yang diterbitkan di masa Bustami Hamzah. Bila ditemukan pelanggaran, supaya IUP yang terbit masa Bustami, supaya dibatalkan.