Komparatif.ID, Banda Aceh—Di awal kemerdekaan, Republik Indonesia tidak memiliki finansial yang kuat. Aceh mengambil peran sangat besar. Selain menjadi satu-satunya wilayah yang tidak bisa diduduki kembali oleh Belanda, turut juga menyumbangkan uang dalam jumlah besar, supaya Republik Indonesia dapat dijalankan oleh Sukarno.
Para pemimpin Aceh di awal Republik Indonesia diproklamirkan, di tengah kekosongan pemerintahan fasis Jepang setelah jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, memilih bergabung dengan Republik yang baru berusia seumur jagung.
Tekad bulat bergabung dengan Republik Indonesia, tentu punya alasan kuat. Kaum bangsawan, kaum agamawan, dan rakyat jelata kala itu, sepakat bahwa Aceh harus bergabung dan membantu Republik.
Baca: Aceh Menyelamatkan Indonesia yang Masih Seumur Jagung
Baca: Aceh Moorden Selamatkan Kemerdekaan Republik Indonesia
Peran pemimpin Aceh dan rakyat sangat besar. Tatkala Teuku Nyak Arief menyatakan kepada khalayak bahwa Aceh bagian dari Republik pada 28 Agustus 1945, dukungan kepada upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia terus dilakukan dengan sepenuh hati.
Pemimpin sipil, militer, dan ulama, membentuk perjuangan semesta, dengan mengadang langsung pasukan Sekutu di kawasan Sumatra Timur. Perang semesta rakyat Aceh tersebut dikenal dengan nama Perang Medan Area.
Andaikan saat itu pemimpin Aceh menolak mendukung Republik, dan memilih berdiri sendiri sebagai sebuah negara berdaulat, sungguh Republik Indonesia benar-benar berusia seumur jagung.
Drs. Mawardi Umar,M.Hum.,M.A, Sabtu (3/8/2024) dalam seminar “Peran Pers Dalam Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di Aceh” yang digelar Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Provinsi Aceh, bekerjasama dengan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah I, di Grand Nanggroe Hotel, Luengbata, Banda Aceh, menjelaskan sumbangan finansial Aceh kepada Republik turut membantu jalannya roda pemerintahan di Yogyakarta.
Mengutip pernyataan Gubernur Sumatra Utara yang pertama Mr. S.M. Amin, pada tahun 1949 saja, Pemerintah Daerah Aceh telah mengeluarkan uang untuk keperluan Pemerintah Pusat di Yogyakarta senilai 500.000 dollar Singapura.
S$100.000 untuk membiayai kebutuhan perwakilan luar negeri yang dipimpin Mr. Maramis. 50.000 dollar Singapura untuk Indonesia Office di Singapore, untuk pembiayaan angkatan perang 250.000 dollar Singapura. Selain itu 100.000 dollar Singapore untuk biaya pengembalian Pemerintah Pusat ke Yogyakarta.
Pemerintah Daerah Aceh melalui Gabungan Saudagar Aceh (Gasida) menyumbang 120.000 dollar Singapura untuk pembelian pesawat terbang, dan sumbangan 140.000 dollar Singapura dari rakyat Aceh.
Dalam catatan lain hasil penelusuran Komparatif.ID, disebutkan bukan hanya Aceh, Sultan Siak Syarif Kasim yang diberikan perlindungan oleh pemimpin Aceh, turut memberikan sumbangan.
Sultan Syarif Kasim dan seluruh keluarganya yang diberikan perlindungan ke wilayah Aceh yang tidak bisa dikuasai oleh Belanda, dan ia menjadi sasaran amuk revolusi sosial Sumatra, merasa perlu membantu Indonesia. Kesultanan Siak yang sudah menyatakan diri menjadi bagian Republik Indonesia sejak awal proklamasi, ingin menunjukkan dukungan finansial yang nyata.
Sultan Siak tersebut menyumbangan 13 juta gulden untuk membiayai perjuangan Republik Indonesia. Pemberian sumbangan itu terjadi tahun 1946, saat Syarif Kasim dalam perlindungan Gubernur Sumatra Mr. Muhammad Hasan yang ORANG ACEH.
Tatkala dia sedang berada di Medan, pecahlah Revolusi Sosial di Sumatra Timur. Revolusi yang digerakkan oleh kaum kiri menyasar kaum bangsawan di Sumatra Timur.
Mr. Teuku Muhammad Hasan memberikan perlindungan kepada Sultan Siak dan keluarganya. Meski dari awal dia dia sudah menyatakan setia kepada Republik, tapi massa rakyat beraliran kiri tak ambil peduli. Yang namanya bangsawan harus dihabisi.
Karena desakan tiada henti supaya Gubernur Sumatra menyerahkan Sultan Siak supaya dapat diadili di Mahkamah Rakyat, akhirnya Mr. Teuku Muhammad Hasan mengontak Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, Teungku Daud Bereueh.
Sultan Syarif dijemput melalui gerakan militer yang dilakukan oleh Divisi Rencong yang sedang bertugas di palagan Medan Area. Prajurit Batalyon Divisi Rencong yang terkuat saat itu, didampingi perwira-perwira yang dikirim dari Banda Aceh, menjemput Sultan Syarif Kasim dan keluarganya di Siantar dan diantar ke Pancur Batu.
Dengan penuh perjuangan, Sultan Syarif, istrinya;Syarifah Fadlun, dan anak angkat mereka, tiba di Banda Aceh pada 10 September 1947. Residen Aceh mengangkat Sultan Syarif Kasim sebagai penasihat, dan menyediakan fasilitas tempat tinggal di kawasan elit Taman Sari. Pemerintah Daerah Aceh juga menfasilitasi kebutuhan tiap-tiap bulan.
Sultan yang tersanjung karena dibela oleh orang Aceh, kemudian menyampaikan maksud ingin menyumbangkan 80 persen hartanya untuk Republik. Maksud tersebut kemudian dipenuhi oleh Teungku Daud Bereueh.
Sultan Syarif yang difasilitasi oleh Teungku Daud Bereueh, berhasil menyerahkan langsung kekayaannya kepada Pemerintah Republik di Yogyakarta pada Oktober 1949.
Sultan Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono IX, juga melakukan hal yang sama. Setelah menyatakan bersedia bergabung bersama Indonesia, ia juga menyerahkan sebagian kekayaan yang dimiliki keraton untuk kas negara sekitar 6,5 juta gulden.