Tionghoa Aceh Adalah Orang Aceh!

Seri Sejarah Tionghoa Aceh (I)

Seorang warga Tionghoa Aceh sedang berdoa di Vihara Dharma Bakti, Peunayong, Banda Aceh. Foto: Komparatif.ID/Fuad Saputra.
Seorang warga Tionghoa Aceh sedang berdoa di Vihara Dharma Bakti, Peunayong, Banda Aceh. Foto: Komparatif.ID/Fuad Saputra.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Setelah Aceh mulai menerapkan hukum syariah, serta meningkatnya polarisasi pasca Pemilu 2019, banyak orang yang mempertanyakan nasib masyarakat etnis minoritas, termasuk Tionghoa.

Namun sama seperti yang lain, etnis-etnis minoritas lain—termasuk Tionghoa menjalankan hidup dengan aman.

Selama ratusan tahun, masyarakat Tionghoa Aceh juga merayakan Imlek seperti di daerah lain dengan aman dan tentram.

Pakar Tionghoa Aceh dan juga dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh Abdul Rani Usman mengatakan masyarakat Tionghoa daratan pertama kali datang ke Aceh sekitar abad ke-17, mulanya mereka berdiam di kawasan pesisir, lalu karena alasan ekonomi dan sosial akhirnya bergerak lebih ke dalam dan bermukim di Peunayong.

“Makanya arti Peunayong itu “peu payong”, artinya semua etnik yang ada di Aceh itu bisa hidup aman, rukun, dan makmur,” jelas Rani.

Rani menegaskan secara sosial budaya keturunan Tionghoa dan masyarakat Aceh tidak memiliki perbedaan substansi. Menurutnya, warga Tionghoa yang lahir di Aceh telah menjadi orang Aceh.

“Tionghoa Aceh adalah orang Aceh,” lanjut Rani.

Perbedaan dari segi agama pun tidak menimbulkan kekhawatiran apapun, karena selama ratusan tahun, Aceh telah menjadi kawasan metropolit tempat persinggungan antar etnis dengan aman.

“Akulturasi dengan Aceh biasa saja, karena tidak ada (perbedaan) substansi sekali, karena dia sama-sama orang Aceh, artinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Serta perbedaan itu sesuatu yang normal dan alami,” ujar Rani.

Akademisi UIN Ar-Raniry Abdul Rani Usman sedang menjelaskan sejarah Tionghoa di Musem Aceh. Foto: Komparatif.ID/Fuad Saputra.

Nasionalisme Tionghoa Aceh?

Saat konflik GAM-RI berkecamuk, sikap masyarakat Tionghoa Aceh mulai dipertanyakan. Peneliti Universitas Syiah Kuala Irwan Putra dkk mengatakan pertanyaan itu muncul akibat stereotip bahwa semua warga Tionghoa memihak Belanda saat masa penjajahan.

Berdasarkan penulisannya, ada dua penyebab utama pertanyaan itu muncul. Pertama, karena stereotip yang menyatakan bahwa etnis Tionghoa adalah orang asing, sehingga rasa nasionalismenya perlu dipertanyakan. Kedua, ada stigma bahwa etnis Tionghoa merupakan economic animal yang tidak memiliki loyalitas politik, nasionalis, dan hanya mementingkan diri sendiri.

Kedua stereotip yang beredar ini diperparah oleh pandangan sebagian orang Aceh yang melihat masyarakat Tionghoa tidak mendapatkan tekanan dan intimidasi dari GAM karena mendapatkan pengawalan dari ABRI.

Lebih lanjut, Irwan Putra menulis kondisi tersebut berbeda dengan perlakuan yang diterima etnis lain. Konflik bersenjata di Aceh mengakibatkan masyarakat sipil lain mengalami teror, intimidasi, diusir dari tempat tinggal, atau bahkan meninggal dunia.

Meski begitu, pada penelitian Nauval Musaddiq dan Nur Anisah, M.Si tentang stereotip masyarakat lokal terhadap pedagang etnis Tionghoa, warga Banda Aceh malah cenderung menilai positif.

Sikap pekerja keras, tegas, dan hemat sangat diapresiasi dan dihormati, karena sikap-sikap malah jarang ditemukan dari pedagang Aceh.

Dosen UIN Ar-Raniry Abdul Rani Usman juga mengatakan, hubungan ekonomi antara keturunan Tionghoa dan masyarakat lokal juga salah satu faktor terjaga harmonisasi.

“Tidak ada gesekan sosial antara Tionghoa dan masyarakat Aceh, bahkan banyak sekali orang-orang Aceh bekerja pada toke-toke, atau pun sebaliknya” kata Rani.

Baca juga: Tokoh Tionghoa-Aceh: Serambi Mekkah Nyaman dan Harmoni

Tionghoa Aceh

Melansir acehtrend.com, pada 2017 Azmi Abubakar orang Aceh yang mengelola Museum Pustaka Peranakan Tionghoa di Serpong, Tangerang Selatan mengunjungi pemakaman Tionghoa di Bireuen.

Saat itu keduanya terdiam heran saat I Lien Fa menjelaskan tanah pemakaman itu dihibahkan oleh Raja Aceh untuk masyarakat Tionghoa.

“Tanah ini dihibahkan Raja Aceh kepada warga Tionghoa,” ujar Lien.

Raja yang dimaksud Lien adalah Teuku Chik Muhammad Johan Alamsyah, alias Ampon Chik Peusangan. I Lien Fa mengatakan hubungan baik yang terbangun sejak lama mendorong Ampon Chik Peusangan menghibahkan tanah khusu untuk warga Tionghoa.

Tindakan ini oleh Azmi Abubakar dipandang sebagai usaha Ampon Chik Peusangan menjaga dan merawat hubungan abadi dengan masyarakat Tionghoa.

Dalam budaya Tionghoa kuburan memiliki arti penting. Setiap hari ke-104 setelah titik balik Matahari di musim dingin, atau tanggal 4-5 April tahun kabisat, masyarakat Tionghoa merayakan Festival Qingming atau Hari Ceng Beng, (hari Ziarah Kubur/Qing Ming Jie).

Untuk masyarakat Tionghoa, perayaan ini dilakukan untuk mengingat dan menghormati nenek moyang. Setiap orang berdoa di depan pusara nenek moyang, menyapu pusara dan bersembahyang dengan makanan, teh, arak, dupa, kertas sembahyang dan berbagai aksesoris, sebagai persembahan kepada nenek moyang.

Upacara ini adalah sangat penting bagi kebanyakan orang Tionghoa, terutama petani, dan biasanya mulai membajak sawah sepuluh jari sebelum atau sesudah Festival Qingming

Kini dan Masa Depan

Aceh selama ratusan mampu membuktikan sebagai daerah aman dan menerima dengan lapang dada. Perbedaan tidak membuat Aceh pecah dan tercerai.

Kini tugas bersama tentu merawat keharmonisan itu dengan baik, usaha-usaha yang dirintis oleh pendahulu harus dijaga.

Catatan Redaksi: Tulisan ini merupakan artikel seri “Sejarah Tionghoa Aceh” bagian pertama, dan salah satu bagian dari film dokumenter bertema keberagaman yang sedang digarap oleh Komparatif.ID.

Artikel SebelumnyaMesir Sarankan Warganya Konsumsi Ceker Ayam
Artikel SelanjutnyaHajar MU 3-2, Arteta Memilih Merendah

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here