Tahun 1910 sepasang suami istri meninggalkan Fujian, mereka mengarungi Laut Cina Selatan, dan akhirnya tiba di Peunayong, Kutaraja. Itulah nenek dan kakek Yuswar, seorang tokoh Tionghoa dari suku Hokkian, yang bermukim di Gampong Keudah, Banda Aceh.
Minggu, 28 Agustus 2022, sekitar pukul 15.53 WIB ,Dewina—istri Yuswar–menelepon Komparatif.id, ia memberitahu bila Wakil Ketua DPD Partai Gerindra Provinsi Aceh, itu, dapat diwawancarai pada pukul 17.00 WIB.
“Kami tunggu, ya Pak,” sebut Dewina dengan nada suara penuh keramahan.
Waktu yang dijanjikan tiba. Saat Komparatif.id datang ke toko Raja Optical, di Gampong Keudah, Dewina dan suaminya telah menunggu. Dengan senyum ramah perempuan berkulit putih itu mempersilakan kru Komparatif.id masuk ke dalam.
Yuswar yang sedang duduk di kursi menyambut dengan senyum merekah. Setelah sejenak beramah tamah sembari menjelaskan tujuan kami datang, ia dengan penuh semangat mulai bercerita.
Ketua Dewan Pengurus Forum Buddhayana Indonesia (MBI) Provinsi Aceh, tersebut mengatakan dirinya lahir pada tahun 1951 di Kampung Laksana, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh.
Demikian juga istrinya—Dewina—perempuan ramah tersebut lahir di Gampong Peunayong. Kedua menikah setelah musibah gempabumi dan tsunami menggulung Aceh pada 26 Desember 2004. Saat itu keduanya sudah sama-sama memiliki pasangan dan anak-anak masing-masing.
“Tsunami telah merenggut istri saya, demikian juga istri saya yang ini, ia kehilangan suaminya,” kata Yuswar.
“Setelah tsunami, Pak Yuswar dan Ci [Dewina] bertemu dan menikah. Cinta mempertemukan Pak Yuswar dan istri,” celetuk saya sembari tertawa. Mereka juga tertawa lepas.
Kakek dan nenek Yuswar merantau ke Nusantara dan berlabuh di Peunayong, ketika di Tiongkok sedang mengalami kesulitan ekonomi. Saat itu mereka tidak punya banyak pilihan. Keduanya menumpang kapal laut dan mengarungi Laut Kuning hingga Selat Malaka.
Dalam perjalanan, rambut kuncir taucang sang kakek dipotong paksa oleh pengelola kapal. Dengan perasaan duka, dia harus merelakan salah satu kekhasan budayanya dihilangkan dari dirinya.
“Nenek saya waktu itu bentuk kakinya menguncup kecil, dibebat dan itu merupakan gaya khas di masa tersebut,” terang Yuswar. Yang ia maksud merupakan gaya lotus feed perempuan Tionghoa di masa lalu, sebagai simbol kemakmuran keluarga.
Setelah tiba di Aceh, pasangan suami istri itu bekerja keras membangun pondasi ekonomi. Anak-anaknya semua dilahirkan di Kampung Laksana, mereka tidak pernah lagi kembali ke Tiongkok.
Yuswar dan keluarga pernah berkunjung ke Tiongkok, tentunya sebagai turis.
“Saya ke sana sebagai turis. Bukan pulang, tapi pergi ke Tiongkok. Kampung saya di sini; di Aceh. Ayah dan ibu saya lahir di banda Aceh. saya dan istri lahir di Banda Aceh, demikian juga-anak-anak saya,” katanya dengan senyum lebar.
Orang Aceh Baik dan Toleran
Sebagai penganut agama Budhha yang pertama kali diajarkan oleh Sidharta Gautama, jumlah mereka di Serambi Mekkah sebanyak 8000 orang. Di Banda Aceh jumlahnya 3000 orang.
Meskipun minoritas, tapi Kelenteng Dharma Bhakti Peunayong, dibangun oleh orang Hokkian. Dulu, kelenteng tersebut bukan rumah ibadah, tapi rumah singgah bagi pendatang dari Fujian; sebagai bentuk solidaritas sesama perantau Hokkian.
Tapi setelah Kelenteng Pantai Cermin di tepi Samudera Hindia –Ule Lheu, sekarang—yang dibangun tahun 1878 tidak lagi difungsikan, rumah singgah di Peunayong diubah menjadi kelenteng.
Meskipun minoritas dan berbeda keyakinan dengan mayoritas penduduk Aceh, Yuswar mengatakan tidak ada masalah dalam pergaulan dengan muslim dan komunitas lainnya.
Setiap perayaan Imlek, mereka beribadah ke Kelenteng Dharma Bhakti. Penduduk lainnya berdiri di tepi pagar menyaksikan ritual itu. Demikian juga dalam hubungan sosial dan budaya, antara orang Tionghoa dan Aceh saling berkunjung.
Demikian juga bila ada acara pesta pernikahan dan acara kematian, antara Tionghoa dan masyarakat Aceh di sana saling berkunjung.
Sebagai penganut agama Islam, orang Aceh sangat ramah dan toleran. Tak ada ujaran kebencian, tidak ada rasisme di ruang publik. Kemanapun etnis Tionghoa melangkah, tidak ada yang memandang mereka dengan perasaan tidak suka.
Perihal pemberlakuakn Syariat Islam di Aceh, Yuswar menyebutkan tidak menjadi kendala bagi etnis Tionghoa. Tidak ada ritual keagamaan yang dilarang.
“Ini tidak dipahami oleh orang di luar sana. Seolah-olah syariat Islam memenjarakan, mengekang kami yang bukan muslim. Padahal sedikitpun tidak. Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh sangat luwes. Kami merasa sangat dihargai dan dilindungi di Aceh,” sebut Yuswar.
Pernah suatu ketika, Aceh disorot besar-besaran oleh pihak luar karena telah mencambuk beberapa penganut Buddha yang melanggar Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah (Hukum Pidana) pada tahun 2017. Dua oknum penganut Buddha tersebut melakukan maisir (judi) sabung ayam.
Aceh dikritik habis-habisan saat itu. Yuswar juga turut diminta tanggapannya oleh orang-orang di luar Serambi Mekkah. Pun demikian, pengusaha bergelar Sarjana Ekonomi, itu meminta waktu untuk mempelajari duduk persoalan.
Setelah memahami secara utuh, ia pun memberikan pendapat bahwa siapa saja dapat dihukum dengan Qanun Jinayah selama ia warga Aceh. Pun demikian, bagi non-muslim dapat memilih hukuman cambuk yang diatur sesuai qanun atau hukuman yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Setelah saya tanya kepada mereka, ternyata lebih memilih dicambuk ketimbang dihukum dengan KUHP,” katanya, menjelaskan kondisi saat itu.
Demikian juga dalam persoalan politik dan sosial, orang Aceh juga tidak mempersoalkan kehadiran etnis Tionghoa. Yuswar pernah menjadi Ketua MPC Pemuda Pancasila Kota Banda Aceh dari 2007 hingga 2013. Wakil Ketua PMI Cabang Banda Aceh Tahun 2002-2006. Ketua I ORARI Banda Aceh 2002-2006. Ia juga pernah menjadi Pengurus lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) Kampung Laksana tahun 1987.
Sebagai Aceh dari Etnis Tionghoa yang lahir dan besar di Serambi Mekkah, meskipun Yuswar tetap menganut Buddha, bukan berarti keluarga besarnya hanya memiliki satu keyakinan. Dari proses kawin-mawin, ada yang telah masuk Islam, ada yang Katolik, dan lain-lain. Mereka masih sering berkumpul dan menikmati perbedaan itu sebagai sebuah anugerah, melengkapi harmoni di Tanah Rencong.
Teguh Merawat Budaya Tionghoa
Yuswar dan Dewina memiliki energi besar untuk tetap merawat tradisi Tionghoa. Di lantai dua kediaman mereka, ornamen-ornamen oriental seperti patung kura-kura berkepala naga, guci, patung porselen ikan koki dipajang dengan sangat apik.
Demikian juga wallpaper bertema Tionghoa dipasang di dinding, dan selalu diganti setiap tahun; dan disesuaikan dengan shio.
Demikian juga perabotan, kursi, meja juga masih sangat kental dengan tradisi Chinese. Sejumlah Chinese calligraphy juga dipasang di dinding; berisi idom-idom Tiongkok.
“Kami merupakan salah satu keluarga yang masih bersemangat merawat tradisi. Meskipun demikian jangan ragukan rasa cinta kami kepada Indonesia, dan jangan ragukan kami sebagai orang Aceh berdarah Tionghoa. Aceh kampung kami. Negeri ini sangat harmoni,” imbuh Yuswar, diiringi anggukan ceria sang istri tercinta.
Catatan redaksi: Tulisan ini merupakan salah satu bagian dari film dokumenter bertema keberagaman yang sedang digarap oleh Komparatif.id. Tim liputan: Mutia Dewi (Pemimpin proyek), Muhajir Juli (Produser), Fuad Saputra (Sutradara), Riski Aulia Ramadhan (DOP).