Jatuh Bangun Syeh Alghazali Dalam Industri Musik Aceh

Syeh Alghazali Kasga Record
Syeh Alghazali. Foto: Komparatif.ID/Muhajir Juli.

Komparatif.ID, Banda Aceh—Syeh Alghazali, merupakan salah satu maestro musiK Tanah Rencong. Melalui label Kasga Record, dia telah mempopulerkan beberapa penyanyi lokal ke pentas besar.

Malam telah beranjak larut, tatkala Komparatif.ID, bertemu dengan Syeh Alghazali di Warkop Chek Yuke, Lampineung, Banda Aceh, Rabu (3/7/2024). Pria berkumis tersebut sedang asyik mengutak-atik laptopnya di meja kayu di depan warkop.

Sesekali dia mengisap kretek tanpa filter, kemudian mengembuskan asapnya ke udara. Mengenakan kaos hitam putih bergaris hitam melintang, Syeh Alghazali sedang mematut sebuah lagu baru yang akan ditayangkan di platform digital.

Syeh Alghazali, pria kelahiran Lueng Keubeu, Samalanga, 1963,tak pernah membayangkan akan menjadi produser lagu-lagu Aceh. Lulusan SMA itu tidak pernah sekalipun membayangkan akan terjun ke dunia entertainment.

Baca: Pak Salam

“Semuanya berjalan natural,” sebutnya sembari tersenyum. Senyum yang tersungging dari bibirnya, terlihat karismatik.

Tahun 1994 dia menikah dengan seorang perempuan Aceh Utara. Tambatan hatinya merupakan dara kelahiran Blang Jruen, Aceh Utara. Setelah menikah, ia tidak memiliki pekerjaan.

Setiap hari hanya duduk di rumah sembari menanti istrinya pulang mengajar. Dalam kondisi kekosongan aktivitas, ia mulai berpikir, bahwa hidup tidak boleh demikian.

Ia teringat kepada koleksi buku-bukunya, termasuk sejumlah novel. Dia menghitung jumlah buku, melihatnya satu-persatu. Buku-buku yang diperkirakan diminati oleh pembaca, dia sampul dengan baik.

Buku-buku itu dimasukkan ke dalam tas, kemudian dibawa keliling kampung dengan berjalan kaki. Setiap melihat ada warga yang duduk di teras rumah, ia singgah. Menawarkan bacaan. Siapa saja yang berminat dikenakan biaya sewa baca Rp200.

Tidak mudah menjadi agen baca tanpa sponsor. Satu-satunya yang menyemangati hanyalah istrinya. Syeh Alghazali muda terus berjalan setiap hari, menempuh jalan berdebu di Blang Jruen, melakukan aktivitas seperti Dokarim di masa lampau.

Sebagai penggalas bacaan sewa, dia menemui berbagai onak dan duri. Semuanya dilalui. Lambat laun usaha kerasnya menghasilkan. Semakin banyak orang yang meminati jasanya. Koleksi buku pun bertambah.

Dari berjalan kaki, kini dia telah sanggup beli sepeda. Semakin teguh dirinya menjadi “duta baca”. Karena semakin luas, dia pun pindah ke Simpang Ceubrek, Aceh Utara. Di sana Syeh Alghazali menyewa rumah. Toko buku Arun Post yang legendaris di Kota Lhokseumawe, telah memberinya kepercayaan. Dia boleh ambil buku di sana, bayarnya kemudian.

Lagi-lagi, nasib baik berpihak kepadanya. Dia pun pindah ke Cunda, Kota Lhokseumawe yang kala itu masih menjadi ibukota Kabupaten Aceh Utara.

Di sana, setiap pagi Syeh Alghazali menjual buku dan aneka tabloid di lampu merah. Kemudian membuka kios baca dan loper koran di depan kontrakannya di Cunda. Kios itu tak diperpanjang masa sewa. Dia menjaja buku dan aneka tabloid di teras rumah. Istrinya turut membantu setelah pulang mengajar.

Di Cunda dia membuka Sanggar Baca Kasga. Bisnisnya berkembang. Dia percayakan menjadi agen Teka Teki Silang (TTS) wilayah Aceh Utara. Bisnis TTS saat itu sangat mengembirakan.

Tahun 1999, penyanyi religi Haddad Alwi meledak di pasaran. Lagu-lagu kasidahnya diminati banyak orang. Syeh Alghazali memanfaatkan momen itu. Dia ikut menjual kaset lagu Haddad Alwi. Kaset itu laku keras.

Tahun 1998 dia mulai membuka Kasga Record. Tahun selanjutnya untuk pertama kali dia menerbitkan album Kasidah Aceh yang dinyanyikan oleh Cut Intan Ibnu Arhas.

Ia pun pindah ke Banda Aceh. Di ibukota Provinsi Aceh, bisnis musik yang ia geluti semakin menjanjikan. Pria bertubuh sedang itu membeli rumah di Punge Jurong, serta membuka kantor Kasga Record di seberang jalan, depan Taman Budaya. Di sana dia berkenalan dengan Rafli dan Liza Aulia.

Tahun 2002 dirinya memproduseri album Ainal Mardhiah yang dinyanyikan oleh Rafli.

Syeh Alghazali Tergerus Perubahan Zaman

Sebagai produser, Syeh Alghazali terdampak perubahan teknologi. Bisnisnya ikut terdisrupsi dalam putaran zaman yang menggila, tatkala teknologi analog berubah ke digital.

Kaset-kaset pita tak laku lagi. Berubah menjadi video compact disc. Belum lama VCD eksis, flash disc muncul. Lagu-lagu mulai dapat di-copy melalui personal computer yang kian bertabur di mana-mana.

Modal mencetak satu VCD Rp4.500. Biasanya saat dititipkan ke toko kaset, dihargai Rp12.000. Para pedagang menjual VCD berisi album lagu dengan harga bervariasi. Tergantung siapa penyanyi dan apa lagunya.

Baca: Ingatan Orang Aceh Sangat Pendek; Hanya Snouck Hurgronje

Tatkala komputer semakin banyak, harga flash disc bertambah murah, kepingan VCD mulai tidak diminati.

“Tahun 2015 VCD mulai tidak diminati lagi. Saya harus menjual 2 ton VCD dengan harga perkilogram Rp4.500.Hancur saya waktu itu. Semua modal tergerus tak bersisa,” sebutnya.

Meski Youtube sudah booming di Aceh tahun 2008, tapi ia tidak meliriknya. Berkali-kali Irfan M. Nur mengajak Ghazali masuk ke Youtube, berkali-kali pula ia menolak.

Kala itu lagu-lagu yang diproduksi oleh Kasga Record telah banyak tayang di Youtube atas nama orang lain. Cuan yang seharusnya mengalir untuknya, justru dinikmati orang lain. Mulai dari orang Aceh hingga orang Jakarta.

Kala ia mulai tertarik kepada Youtube, dia harus berjuang keras. Setiap kali dia meng-upload lagu-lagu Kasga Record, semuanya sudah atas nama orang lain. Akunnya di-banned.

Lagi-lagi Irfan M. Nur turun tangan. Dia membangun akun milik Syeh Alghazali dari nol. Kerja keras seniman tersebut membuahkan hasil. Pelan-pelan akunnya terus bertumbuh, karya-karyanya mulai mendatangkan cuan dari Youtube.

Digulung Gelombang Tsunami

Pemilik Kasga Record tersebut telah memiliki rumah pribadi di Punge Jurong, sebelum gempabumi dan tsunami melanda Aceh pada Minggu, 26 Desember 2004. Kala musibah itu datang, rumahnya ikut dihantam gelombang. Ia mengalami kerugian sangat besar.

Lebih sialnya lagi, dia belum sempat mengambil uang hasil penjualan kaset di toko-toko di Banda Aceh hingga ke kabupaten kota.

Lebih 20 toko di seluruh Aceh. Tiap-tiap toko uangnya yang tidak sempat ditarik Rp20 juta. Dia hanya pasrah. Para pemilik toko tidak dapat ditagih. Bahkan yang tidak terkena tsunami, mengaku terkena tsunami. Intinya mereka menolak membayar.

“Saya benar-benar hancur saat itu. Semuanya kembali ke titik nol. Sempat tidak semangat, tapi kemudian justru bangkit lagi setelah bertemu Ulli Siregar yang membuka posko di depan Pendopo Gubernur Aceh pada pertengahan 2006,” katanya.

Mencoba Peluang Baru

Meski telah jatuh ke titik nadir, ia tidak terjerembab dalam mahaduka berlama-lama. Ia cepat bangkit berkat dukungan teman-temannya. Ia meniti langkah lagi dengan penuh percaya diri.

Tatkala dia sedang menata langkah baru, “tsunami kedua” datang. Tahun 2020 Covid-19 menyerang Aceh. Syeh Alghazali kembali terjerembab.

Dalam tahapan ini, peran Zainal Arifin M. Nur, Din Keramik, dan sejumlah seniman lainnya, cukup besar untuk dirinya.

Bahkan beberapa seniman berkumpul, memberi bantuan untuknya, supaya terus berkarya merawat lagu-lagu Aceh bernuansa etnik.

Baca: PO PMTOH, Bus Tertua Duta Serambi Mekkah

Nazar Apaceh, Maimunzir, Yakop Y Studio, Syukri, Rafli, dll, sangat membantu dirinya.

Saat ini dia sedang menggarap single Lia Amelia. Penyanyi pendatang baru yang memiliki suara bercengkok etnik Aceh. Asyik, dan karismatik.

Syeh Alghazali menyebutkan, dengan teknologi saat ini, memproduksi lagu semakin mudah. Modalnya semakin kecil. Karena sudah tersedia platform seperti Youtube, yang memudahkan pekerjaan.

“Kalau dulu harus memproduksi satu album lagu. Sekarang satu saja sudah cukup. Asalkan bagus, akan mudah diterima, dan biaya produksi bisa lebih murah,” sebutnya.

Apa yang membuat ia tak kunjung berhenti, dan semangatnya terus bertumbuh? Dirinya telah berkomitmen menjadikan lagu etnik Aceh mendunia. Kini sudah terbukti. Melalui Rafli lagu-lagu yang diproduksi Kasga Record telah melanglang buana hingga ke luar negeri.

Ia juga tidak melupakan dukungan dari Kadis Kebudayaan dan Pariwisata Reza Fahlevi yang kini menjadi Pj Walikota Sabang. Saat ia terpuruk, Reza memberikannya dukungan. Karena bagi Reza Syeh Algazali tidak boleh berhenti berkarya.

Dia juga selalu ingat pesan orangtuanya kala di Lueng Keube, bahwa kemanapun dia boleh melangkah. Tapi jangan lupa salat, dan harus hidup seperti pokok ubi, bisa tumbuh di manapun, dan dapat memberi manfaat untuk alam semesta.

Pencapainnya dalam menggarap dan melestarikan lagu-lagu etnik Aceh patut diacungi jempol. Sampai saat ini dia telah menghasilkan 21 album bersama Kasga Record. Semoga saja Kasga selalu ada, seperti tagline-nya kamoe sajan gata.

Artikel SebelumnyaPak Salam
Artikel SelanjutnyaRevisi UU Kepolisian Ancam Kemerdekaan Sipil
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here