Pak Salam merupakan nama panggung Nurdin, pelawak ikonik yang ikut menjadi nyawa serial komedi Eumpang Breuh. Melalui ocehan-ocehannya di sitkom tersebut, muncul kalimat-kalimat joke yang mengocok perut.
Malam itu, saya bertemu dengannya di Elpe Kupi, Lampineung. Dia tiba pada dinihari, kala Belanda sedang bertarung melawan Rumania di babak 16 besar Euro 2024. Bertanding di Allianz Arena, Jerman, Timnas Pusat membobol gawang Florin Nita 3-0.
Pertandingan tersebut sangat menarik. Apalagi menontonnya bersama H. Bukhari pemilik Elpe Kupi, Ruslan mantan anggota DPRK Bireuen, dan Farhan, pria ramah asal Samalanga. Ketiganya orang Bireuen.
Tiba-tiba Pak Salam muncul. Langsung menyapa H. Bukhari yang telah ia kenali lumayan lama. Mereka berteman akrab. Kemudian datang Teungku Adli yang menambah suasana bertambah ceria.
Pak Salam pelawak natural. Baru kali ini saya bertatap muka secara langsung dengannya. Saya mengaguminya. Ia termasuk komedian favorit saya.
Meski terlihat biasa saja, tapi Pak Salam punya energi luar biasa. Sebagai komedian, ia tetap jenaka, meski telah larut malam.
Ia telah berhenti bermain film. Juga tak mau lagi menjadi mekanik. Hal paling indah–menurut ceritanya– dua anaknya telah mondok di dayah. Tahun ini anak ketiganya juga akan didaftarkan ke dayah.
Sebagai pelawak, Pak Salam sangat natural. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, seluruhnya jenaka.
Ihwal dipanggil Pak Salam Pasar Pagi, ceritanya sudah berlangsung lama. Pada tahun 80-an dia berjualan sayur mayur di pasar pagi di Banda Aceh. Nama informal itu melekat, hingga kemudian dibawa ke dalam cakram video Eumpang Breuh.
Di sitkom tersebut, ia berperan sebagai pejabat tingkat kecamatan yang sering blusukan ke kampung-kampung dan segera memberikan pertolongan lebih bila berurusan dengan gadis cantik.
Baca juga: Manajemen Nek Ben
Di dunia sitkom, dia tidak melulu menjadi pejabat kecil. Di film lainnya, dia berperan sebagai Pak Salam Ketua Umum Partai Bate Euncin yang menjanjikan membuat kapal selam, dan membuat aquarium raksasa untuk rakyat.
Di film lainnya dia berperan sebagai caleg yang cukup kaya, tapi ditipu oleh timsesnya. Di akhir film, jumlah suara yang ia dapatkan lebih kecil dari jumlah timses.
Pak Salam juga artis dalam dunia politik. Tampil di panggung-panggung kampanye sebagai artis yang punya pengaruh mengubah pilihan warga di hari pemilu.
Tapi ia juga kerap terkena janji manis. Meski all out berkampanye, beberapa kali dia hanya diberi angin surga. Janji kepadanya tidak ditunaikan oleh si pemberi janji.
Sadar atau tidak, Pak Salam merupakan “orang kecil” yang memiliki energi besar membangun daya tahan orang Aceh di tengah kemelut ekonomi tak berujung.
Lawakan-lawakan Pak Salam yang natural, menjadi pelipur lara dari dahaga pembangunan. Menjadi obat penenang di tengah semakin sulitnya mencari pekerjaan yang menghasilkan uang sesuai Upah Minimum Provinsi Aceh (UMP).
Lahir di Kuta Makmur, Buloh Beureughang, Aceh Utara, Nurdin alias Pak Salam wara-wiri di Banda Aceh. Hampir tidak ada orang yang tidak mengenal pelawak bertubuh kecil tersebut. Ia merupakan publik figur yang menjadi citra sesungguhnya dari kondisi rakyat Aceh di akar rumput.
Ia seperti duta rakyat yang tumbuh di tengah ketidakpastian ekonomi daerah. Ia bagian dari rakyat yang ikut merasakan betapa sulitnya bekerja demi mendapatkan upah yang layak.
Malam itu, keseruan tarung antara Rumania dan Belanda menjadi hambar, kala Pak Salam mulai menghidupkan “microphone”. Dia menjadi pusat perhatian kami, sembari berkali-kali terbahak-bahak.
Saat dia menjelaskan politik asè meukawén, kami harus memukul meja karena lucunya berkali-kali lipat. Haji Bukhari terpingkal-pingkal. Farhan apalagi.
Tawa bertambah pecah kala ia menjelaskan filosofi peluru senapan angin, tatkala menjelaskan bahwa jumlah anak manusia sangat ditentukan oleh kualitas tembakan “senapan angin”.
Dalam pertemuan dua jam itu, saya melihat Pak Salam sebagai orang Aceh yang sesungguhnya. Ceplas-ceplos, jenaka, dan selalu mengajukan argumen yang memiliki poin penting sembari melawak.
Bagi orang Aceh, warung kopi merupakan tempat paling merdeka. Satu meja dengan meja lainnya, tak saling mengintip informasi. Semuanya berbincang dengan bebas. Semua keluh-kesah, diskusi politik–merupakan diskusi paling sering dilakukan– ditumpahkan secara bebas.
Warkop di Aceh merupakan wahana tanpa kelas. Guru besar, jenderal, hingga petani kecil, bisa berkumpul; menyatu dalam peh tem yang berakhir kala satu persatu pamit karena ada kegiatan lain yang mesti dikerjakan.
Kembali ke Pak Salam, mungkin sebentar lagi dia akan sangat sibuk. Pilkada Aceh di depan mata. Ia sering diajak serta, menjadi figuran penting dalam upaya para kandidat meraup dukungan rakyat.
Sebagai penikmat komedi Aceh, saya tentu menantikan celoteh-celoteh baru dari pelawak itu di atas panggung kampanye. Karena lawakannya membantu saya tetap tervaksin secara alamiah.
Ya, lawakan Pak Salam menjadi antivirus paling manjur untuk merawat kewarasan di tengah hingar-bingar Aceh yang hingga kini belum jelas hendak kemana.