Punishment untuk Generasi Salah Urus

Khairil Miswar mengatakan anak yang melakukan kesalahan seharusnya mendapatkan punishment. Demikian juga yang berbuat baik, harus diberikan reward. Foto: Koleksi penulis.
Khairil Miswar mengatakan anak yang melakukan kesalahan seharusnya mendapatkan punishment. Demikian juga yang berbuat baik, harus diberikan reward. Foto: Koleksi penulis.

“Setiap kesalahan seharusnya mendapatkan punishment, seperti prestasi yang seharusnya diberikan reward.”

Baru-baru ini kita dikejutkan dengan sejumlah “preman” remaja bersenjata tajam yang ditangkap di Lhokseumawe. Sejumlah media menyebut para remaja berusia 14-16 tahun tersebut –yang umumnya berstatus pelajar, terlibat tawuran dan diduga sempat melakukan aksi pembacokan. “Ini adalah potret buram generasi kita di masa depan,” demikian komentar sejumlah orang ketika membaca berita tersebut.

Sebelumnya kita juga sempat dibuat haru dengan kepahlawanan seorang remaja lainnya yang rela menempuh perjalanan jauh dengan jarak 115 kilometer untuk membawa orangtuanya berobat. Remaja berusia 11 tahun bernama Rahmad Aulia itu berangkat dari Ulim, Pidie Jaya, menuju Buket Rata, Aceh Utara. Dia melakukannya sepuluh hari sekali. “Kita merindukan anak-anak seperti ini,” kata orang-orang setelah melihat perjuangan Aulia.

Baca juga: Polisi Lhokseumawe Tangkap 12 Preman Remaja Bersenjata Pedang

Dalam hal ini kita disuguhkan pada dua pemandangan yang jika dipersandingkan akan terlihat sangat kontras. Generasi dalam dua wajah yang saling bertolak belakang. Yang satu dikecam sebagai calon-calon sampah masyarakat dan satu lagi dijunjung layaknya pangeran. Penilaian ini tentu tidak salah dan memang begitu adanya. Namun ada yang lebih penting dari itu, bahwa kedua tipikal remaja ini adalah produk generasi masa kini, yaitu kita –para orangtua mereka. Kita tahu, generasi demikian –baik yang dikutuk atau dijunjung, tidaklah lahir secara otomatis, tapi mereka dibentuk dalam satu proses panjang, baik oleh orangtua, lembaga pendidikan dan juga masyarakat. Sama halnya seperti kita, juga dibentuk oleh generasi dahulu.

Karena itu kutukan kepada para “preman” remaja di Lhokseumawe tentu tidak terlepas dari “gagalnya” didikan orangtua, lembaga pendidikan atau mungkin juga masyarakat. Demikian pula dengan pujian kepada Aulia pun tidak lepas dari usaha tiga elemen tadi, di mana sinergisitas ketiganya adalah kunci dalam membentuk generasi. Namun, dalam konteks kekinian apakah ketiga elemen itu bisa disalahkan sepenuhnya ketika kita dihadapkan pada kasus remaja Lhokseumawe? Jawabannya adalah tidak, sebab kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara juga tidak terlepas dari regulasi yang dibuat pemerintah.

Punishment

Pihak yang memiliki peran dominan dalam mendidik anak adalah orangtua. Dalam hal ini orangtua bertanggung jawab penuh atas nasib anaknya di masa depan.

Kasus remaja di Lhokseumawe adalah wujud dari kegagalan orangtua dalam mendidik mereka. Sebaliknya, kisah Aulia adalah manifestasi dari keberhasilan orangtua dalam membentuk karakter anak.

Kedua fakta ini menjadi bukti bahwa orangtua memiliki peran besar dalam membentuk anak-anak mereka. Adapun lembaga pendidikan dan masyarakat hanya menjalankan peran sebagai “pembantu” yang melanjutkan usaha-usaha yang telah dirintis orangtua.

Namun demikian, seperti dikemukakan sebelumnya, bahwa regulasi yang dibuat pemerintah juga memiliki kontribusi besar dalam pembentukan karakter seorang anak. Dalam hal ini pembatasan-pembatasan yang dilakukan undang-undang terkadang juga menghadirkan problem tersendiri dalam pendidikan anak. Satu hal yang menjadi sorotan kita adalah “dihapusnya” punishment dalam pendidikan anak.

Kita ingat di masa dulu, pecut rotan selalu berlabuh di bagian tubuh ketika kita melakukan pelanggaran di rumah. Di sekolah pun demikian, cubitan dan terkadang tamparan menjadi hukuman paling efektif bagi anak-anak masa itu. Begitu pula di kampung, kita akan segera dihardik oleh masyarakat ketika melakukan kesalahan.

Hal-hal demikianlah terus menemani kehidupan kita di masa kecil hingga dewasa.

Kondisi berbeda kita saksikan hari ini, di mana bentuk punishment demikian telah secara absolut diasosiasikan sebagai kekerasan yang kemudian – pemerintah melarangnya melalui regulasi yang ada saat ini. Tapi, diakui atau pun tidak berbagai bentuk punishment di masa lalu memiliki kontribusi dalam membentuk generasi yang lebih baik, meskipun kecolongan-kecolongan kecil tetap saja ada.

Kondisi itu tentu berbeda dengan saat ini di mana cubitan kecil dan hardikan saja bisa diinterpretasikan sebagai kekerasan yang kemudian dikutuk beramai-ramai. Akhirnya tak ada pilihan lain bagi orangtua, lembaga pendidikan dan masyarakat kecuali membiarkan calon-calon generasi masa depan itu berekspresi sesuka hatinya sehingga potret-potret buram generasi kita pun tersuguhkan dengan begitu vulgar.

Kenakalan remaja di Lhokseumawe tentu bukan saja disebabkan oleh kelalaian orangtua dalam mendidik, tapi juga karena ketiadaan punishment ketika mereka melakukan pelanggaran kecil sehingga bermuara pada munculnya pelanggaran-pelanggaran besar yang membahayakan masa depannya dan orang lain. Hilangnya punishment dalam keluarga, lembaga pendidikan dan masyarakat dapat diduga sebagai salah satu pemicu yang melahirkan generasi-generasi liar di kemudian hari.

Tentu yang dimaksud punishment di sini bukanlah semata-mata kekerasan yang bersifat melukai dan menyakiti sehingga berujung pada penindasan atau pembantaian, tapi lebih kepada “peringatan keras” ketika anak melakukan pelanggaran atas norma-norma yang ada. Dalam hal ini kita tentu mengutuk dan menolak segala bentuk kekerasan fisik yang menjadi “kelaziman” sebagian orangtua atau pun oknum-oknum dari lembaga pendidikan. Yang kita inginkan adalah punishment dalam bentuk “peringatan keras” sehingga anak menjadi sadar akan kesalahan yang dilakukannya.

Punishment demikian dimaksudkan untuk membentuk perilaku yang lebih baik, bukan untuk menindas atau pun mencederai anak dengan membabi-buta.

Karena itu, saya pikir regulasi yang “melarang” punishment secara absolut harus ditinjau ulang agar generasi kita di masa depan tidak semakin liar. Satu lagi yang penting menjadi perhatian adalah reward kepada anak-anak yang tidak melanggar norma dan melakukan kepatuhan. Dalam hal ini kita juga terkadang sering lupa dan hanya bernafsu memberi punishment (hukuman) tapi lupa memberikan penghargaan (reward). Idealnya keduanya mesti berjalan seimbang agar generasi kita ke depan bisa tampil seperti Aulia, bukan seperti “preman” remaja di Lhokseumawe.

Artikel SebelumnyaIbu Sambung Ikat Tangan dan Kaki Balita & Ditinggal Kerja
Artikel SelanjutnyaAceh Targetkan 500 Ribu Pelancong Malaysia Tahun 2023
Khairil Miswar
Seorang esais dan juga penulis sejumlah buku bertema kritik sosial. Salah satunya buku berjudul: Demokrasi Kurang Ajar, yang diterbitkan oleh Zahir Publishing, 2019.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here