Komparatif.ID, Lhokseumawe— Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA (FK3T-SP.KKA) menilai rekomendasi dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang meminta Pemerintah Aceh untuk mencabut Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Qanun KKR) Aceh adalah sebuah langkah yang berpotensi menghalangi akses keadilan bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Aceh.
Qanun yang disahkan pada tahun 2013 ini dirancang sebagai instrumen untuk mengatasi pelanggaran HAM yang terjadi selama konflik yang panjang di Aceh. Perjuangan panjang yang dilakukan oleh korban dan elemen masyarakat sipil untuk mendirikan lembaga ini, menjadi tonggak penting bagi penegakan hak-hak korban.
Menurut Koordinator FK3T-SP.KKA, Murtala, jika Qanun KKR Aceh dicabut, hal ini akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan merusak proses perdamaian yang telah dibangun dengan susah payah.
Lebih lanjut, Murtala menegaskan bahwa tanpa adanya mekanisme formal yang disediakan oleh Qanun KKR, banyak korban yang akan kehilangan harapan untuk mendapatkan pengakuan dan reparasi yang seharusnya menjadi hak mereka.
“Tanpa adanya mekanisme formal yang disediakan oleh Qanun tersebut, banyak korban akan kehilangan harapan untuk mendapatkan Pengakuan dan Reparasi yang seharusnya menjadi hak korban,” ujar Murtala dalam siaran resmi, Sabtu (16/11/2024)
Rekomendasi dari Kemendagri tersebut, menurut FK3T-SP.KKA, mencerminkan sikap pemerintah yang tidak mendukung upaya rekonsiliasi dan pemulihan masyarakat korban pelanggaran HAM.
Sebagaimana diungkapkan oleh Murtala, rekonsiliasi seharusnya tidak hanya bergantung pada penguatan hukum, tetapi juga pada kesepakatan sosial dan politis yang perlu dijaga. Keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh harus dipahami sebagai simbol dan roh perdamaian Aceh, yang berfungsi untuk mengatasi dampak dari konflik serta memperkuat proses perdamaian.
Baca juga: Kemendagri Sarankan Pemerintah Aceh Cabut Qanun KKR
Koordinator FK3T-SP.KKA itu menegaskan bahwa rekomendasi tersebut berpotensi menimbulkan rasa ketidakadilan, mengingat perjuangan panjang yang telah dilakukan untuk mendapatkan pengakuan terhadap hak-hak korban dan keluarga korban.
FK3T-SP.KKA juga berharap Pemerintah Provinsi Aceh, khususnya Penjabat (Pj) Gubernur Aceh, dapat lebih berhati-hati dalam menanggapi surat Kemendagri tersebut. Hal ini terutama berkaitan dengan perasaan korban dan keluarga korban yang menantikan pemulihan yang adil dan bermartabat.
Lebih lanjut, Murtala menekankan bahwa apabila rekomendasi tersebut dipaksakan, maka harus ada pendekatan baru dalam penyelesaian konflik dan penegakan hukum yang menggantikan mekanisme KKR yang telah ada sebelumnya.
Tanpa adanya jaminan ini, Qanun KKR Aceh akan kehilangan landasan hukum yang terpenting dalam proses mencari kebenaran dan keadilan bagi para korban.
Di sisi lain, FK3T-SP.KKA mengingatkan bahwa Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKR) Aceh memiliki fokus yang berbeda.
BRA lebih berfokus pada reintegrasi masyarakat pasca-konflik, sementara KKR Aceh bertanggung jawab dalam aspek rekonsiliasi dan pemulihan bagi korban pelanggaran HAM.
Karena itu, jika Qanun KKR Aceh dicabut, Aceh akan kehilangan lembaga yang khusus menangani kasus pelanggaran HAM masa lalu, yang merupakan pengkhianatan terhadap hak-hak korban serta proses perdamaian yang telah dijalankan berdasarkan MoU Helsinki.
Menurutnya, rekomendasi Kemendagri yang meminta pencabutan Qanun KKR Aceh menambah kompleksitas dampak bagi korban pelanggaran HAM dan proses perdamaian yang berkelanjutan di Aceh.
Apalagi Aceh merupakan wilayah yang telah mengalami trauma mendalam akibat konflik, pemulihan dan keadilan seharusnya menjadi prioritas utama. Mengabaikan komitmen ini berarti memperparah luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
Murtala menyebut seharusnya, pemerintah lebih fokus untuk menyelesaikan Penyelesaian Non-Yudisial yang telah digagas pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang masih banyak yang belum tuntas karena pelaksanaannya yang setengah hati.
FK3T-SP.KKA berharap agar Pemerintah tidak memperkeruh suasana damai di Aceh dengan mengikuti rekomendasi untuk mencabut Qanun KKR Aceh.
Pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM masa lalu harus menjadi agenda prioritas untuk memperkuat perdamaian di Aceh, yang harus ditindaklanjuti oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.