Komparatif.ID, Jakarta— Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Ditjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), menyarankan agar Pemerintah Aceh mencabut Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) demi menyelaraskan aturan tersebut dengan perundang-undangan yang berlaku.
Hal tersebut disampaikan Plh. Sekretaris Ditjen Otda Kemendagri, Suryawan Hidayat, merespons surat dari Plh. Sekretaris Daerah Aceh dengan Nomor:100.3/11557 tertanggal 23 September 2024 yang berisi permohonan fasilitasi rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan atas Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013.
“Disarankan kepada Pemerintah Aceh untuk melakukan pencabutan Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan,” kata Suryawan dikutip dari ANTARA dalam surat Nomor 100.2.1.6/9049/OTDA tertanggal Kamis (7/11/2024).
Dalam surat yang dikeluarkan oleh Kemendagri dengan Nomor 100.2.1.6/9049/OTDA, Suryawan mengimbau agar Pemerintah Aceh membatalkan Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 dan mengikuti ketentuan yang diatur dalam undang-undang.
Baca juga: KKR Aceh Akan Diadopsi Secara Nasional
Menurutnya, rancangan qanun mengenai perubahan Qanun KKR tersebut telah melalui proses pendalaman dan penajaman dari sisi yuridis formal serta materiil.
Namun, Kemendagri memandang bahwa pembahasan fasilitasi qanun itu sebaiknya tidak dilanjutkan.
Alasan utama Kemendagri untuk tidak melanjutkan fasilitasi rancangan qanun ini didasarkan pada Pasal 229 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang mengatur bahwa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh merupakan bagian tak terpisahkan dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi secara nasional.
Dengan demikian, keberadaan KKR di Aceh tidak berdiri sendiri, melainkan sejalan dengan ketentuan nasional.
Selain itu, dasar hukum bagi pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yaitu Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004, telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 006/PUU-IV/2006.
Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa asas dan tujuan KKR yang termuat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU tersebut sulit diwujudkan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum. MK menilai bahwa keseluruhan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Lebih lanjut, terkait pelaksanaan rekonsiliasi di Aceh, Suryawan menyarankan agar proses rekonsiliasi dapat dilaksanakan melalui Badan Rekonsiliasi Aceh. Pemerintah Aceh juga diminta untuk berkoordinasi dengan Kementerian Hak Asasi Manusia dalam pelaksanaan rekonsiliasi tersebut.