Orang Aceh & Makna 77 Tahun Indonesia Merdeka

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad menyebutkan orang Aceh selalu punya cara untuk memperjuangkan harapan. Selalu memaafkan meskipun pernah dilukai.
Kamaruzzaman Bustamam Ahmad menyebutkan orang Aceh selalu punya cara untuk memperjuangkan harapan. Selalu memaafkan meskipun pernah dilukai.

Orang Aceh sudah mulai bisa bernafas lega setelah tahun 2010-an ke atas. Pascarehab- rekon, geliat orang Aceh mulai bangkit.

Dalam artikel ini, saya ingin melanjutkan tentang kondisi Aceh hari ini dalam rangkaian makna 77 Tahun Indonesia Merdeka bagi rakyat Aceh. Sebelumnya saya telah menjelaskan masalah yang menimpa Aceh dan peringatan 17 tahun MoU Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia. Kali ini, saya ingin menyoroti apa arti penting kemerdekaan Indonesia bagi rakyat Aceh.

Kalau Anda di Aceh, akan sangat jarang mendengarkan orang tua Aceh berbicara dalam bahasa Aceh dengan anak-anak mereka. Kalau Anda berada pada tahun 1970-an dan 1980-an di Aceh, akan banyak menemukan anak-anak dan bayi Aceh yang memakai nama dari nama-nama orang Jawa.

Kalau Anda di Aceh tahun 1990-an dan 2000-an awal, kemanapun Anda pergi, terkadang harus menyelamatkan diri Anda dengan sehelai KTP. Kalau Anda di Aceh tahun 1960-an akhir, maka harus ekstra hati-hati, karena kalau tidak tahu menahu tentang PKI, pasti diburu oleh aparat keamanan.

Tahun 1950-an, Anda bisa membayangkan bagaimana orang Aceh harus main kucing-kucingan dengan aparat keamanan karena isu DI/TII. Kalau di tahun 1940-an, sudah pasti Anda akan berurusan dengan tentara Jepang yang merupakan serdadu yang sangat kejam.

Kalau Anda di Aceh tahun 2005 hingga 2009, maka akan lihat bagaimana kelompok baru dari orang Aceh yang mendapatkan gaji puluhan juta rupiah. Kalau Anda 1995-an ke atas, maka jalur bisnis perdagangan ganja akan menjadi suatu pemandangan yang cukup menegangkan, dari Aceh hingga ke Bali.

Orang Aceh sudah mulai bisa bernafas lega setelah tahun 2010-an ke atas. Pascarehab- rekon, geliat orang Aceh mulai bangkit. Pesawat Air Asia menerbangkan orang Aceh ke Kuala Lumpur. Saudara mereka yang belasan tahun melakukan pelarian selama konflik, akhirnya dapat bertemu di Kuala Lumpur.

Setelah tahun 2010-an, jalan dari Banda Aceh menuju ke Subulussalam, menjadi jalan yang super mulus. Banyak kawan kawan biker Nusantara yang iri melihat jalan Aceh Barat Selatan. Aspal Aceh Barat Selatan merupakan kiblat para pe-touring dari luar Aceh.

Setelah tahun 2010, jalanan dari Bireuen hingga Kutacane menjadi tidak begitu menyeramkan jika dilewati siang dan malam. Setiap ada longsor, tidak sampai 3×24 jam, sudah pasti dibersihkan. Ikan dari Aceh Barat sudah bisa dibawa melalui jalur Nagan Raya ke Takengon. Durian dari Timang Gajah selalu menyapa penikmat buah berduri di kota Medan. Jalan Bener Meriah yang awalnya begitu sepi, menjadi sangat ramai. Restoran muncul di pinggir jalan. Listrik sudah menyapa masyarakat setempat.

Kecepatan muge eungkôt (penjual ikan keliling) sudah seperti pembalap, dari Aceh pesisir menuju Takengon. Setiap Subuh para penjual kelapa selalu sampai di Kota Takengon.

Demikian pula, barang-barang dari Takengon sudah sampai pagi hari di Banda Aceh. Setiap bulan Puasa, tebu dari Takengon selalu melepaskan dahaga masyarakat yang berpuasa di Banda Aceh. Sejak tahun 2010-an, gerai kuliner seperti di Pulau Jawa sudah mampir di mulut orang Aceh.

Begitulah makna kemerdekaan orang Aceh selama 20 tahun terakhir. Alam kebebasan ini luar biasa menjadi cerita yang menarik untuk disampaikan pada anak cucu. Rakyat Aceh yang hanya melihat jalan tol di Kuala Lumpur, Jakarta, atau Medan, sudah bisa merasakannya dalam beberapa tahun terakhir.

Orang Aceh tidak menuntut daerahnya diistimewakan seperti orang lain. Ada tokoh mereka yang menjadi menteri. Ada putera daerah yang bisa keluar masuk pintu Istana Negara. Ada wakil mereka sebagai orang super kuat di dalam lingkaran kekuasaan.

Orang Aceh berbeda dengan orang Makassar, yang bahu membahu untuk menaikkan putera daerah mereka ke pentas Republik. Orang Aceh berbeda juga dengan jaringan Batak yang selalu membela kaumnya jika ada yang bermasalah. Orang Aceh juga berbeda dengan orang Jawa, di mana pantang “tersenyum” jika memang sedang marah.

Orang Aceh memiliki ciri khas. Mereka selalu menginginkan apa yang diinginkan. Jika tidak diberikan, maka akan mencari cara tersendiri. Ketika tiket pesawat dari Banda Aceh ke Jakarta dimahalkan, orang Aceh memiliki paspor, untuk sekadar transit di Kuala Lumpur, sebelum mereka terbang lagi masuk ke negara Indonesia di Bandara SHIA (Soekarno Hatta International Airport).

Ketika di-bully oleh media nasional, mereka ramai-ramai membela. Karena suara mereka tidak terdengar ke hati nurani para perundung mereka, akhirnya mereka masuk warung kopi. Akhirnya, orang Aceh menerima orang yang merundung mereka di warung kopi dengan alasan peumulia jame adat geutanyoe (memuliakan tamu merupakan adat kita).

Ada sekian fakta bahwa orang Aceh memiliki cara tersendiri di dalam melihat kerangka negara bangsa di Indonesia. Aceh terdepan di dalam memberikan kontribusinya pada pendirian bangsa, walaupun terkadang tidak diajak dalam pengaturan negara.

Karena itu, ketika dihubungkan dengan Indonesia, maka dari sisi konsep kebangsaan, Aceh tidak pernah dapat diabaikan. Tetapi dari aspek kenegaraan, Aceh selalu terabaikan.

Kalau ada diskusi tentang pembangunan negara Indonesia, Aceh bukanlah kita, melainkan mereka. Begitu ada masalah kebangsaan, maka Aceh menjadi ‘kita’ dengan menaikkan hati dari narasi historis.

Kekitaan dalam kebangsaan, maka ada Aceh di sana. Kemerdekaan dalam kenegaraan, sama sekali tidak ada Aceh di situ.

Perasaan kebangsaan yang diwujudkan oleh rakyat Aceh, tidak berbanding lurus dengan perasaan kenegaraan di Republik ini. Karena itu, setiap ada apa pun harapan atau keinginan Aceh, selalu dimulai dengan kata perjuangan di Jakarta.

Apa pun harus diperjuangkan. Ketika Proyek Strategis Nasional mulai mencoret Aceh, maka Aceh harus berjuang, supaya muncul lagi apa yang menjadi agenda Proyek Strategis Nasional di provinsi paling barat Indonesia ini.

Penutup
Demikianlah beberapa narasi historis, sosiologis, dan antropologis, bagaimana Aceh di sisi Indonesia. Narasi ini bukan ingin menggugat supaya Aceh bisa sejajar dengan provinsi lain di Republik ini, tetapi ingin mengatakan bahwa luka akibat perasaan kenegaraan yang tidak melibatkan Aceh, ternyata bisa memilukan hati perasaan kebangsaan orang Aceh terhadap nasionalisme Indonesia.

Ketika perlawanan dilakukan dengan diam, akibat dari teraniaya secara sistem kenegaraan, maka diam tersebut akan menjadi semacam doa bagi bagi Republik ini, supaya ketika Anda sedang menikmati kue kekuasaan, ada orang yang berjasa di Republik ini yang telah Anda anaktirikan. Anak yang ditirikan itu adalah Aceh.

Catatan: Tulisan ini telah tayang di situs personal kba13.com.

Artikel SebelumnyaRenungan Suci di TMP Blang Panyang
Artikel SelanjutnyaAzwardi Pimpin Upacara HUT ke-77 RI
Kamaruzzaman Bustamam Ahmad
Antropolog yang berkhidmat di UIN Ar-Raniry. Menekuni bidang sosiologi antropologi agama di Asia Tenggara, kajian Islam, Tasawuf, kosmologi, dan keamanan, geostrategi, terorisme, dan geopolitik. Penulis lebih dari 30 buku dan 50 artikel jurnal akademik dan profesional serta bab buku. Pendidikan akademisnya adalah antropologi sosial di Universitas La Trobe, Ilmu Politik Islam di Universitas Malaya, dan Ilmu Hukum Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here