Nyak Din dan Power Bintang Bulan

Nyak Din
Nasruddin alias Nyak Din (47) warga Samalanga, Bireuen, yang mengibarkan bendera Bintang Bulan di pagar Mapolsek Samalanga beberapa waktu lalu. Foto: HO for Komparatif.ID.

Nyak Din –Nasruddin—menghebohkan Indonesia. Dia mengibarkan dua helai bendera Bintang Bulan di pagar Mapolsek Samalanga, Bireuen, Aceh, pada Jumat (29/3/2024). Tindakan Nyak Din memasang bendera Bintang Bulan di pagar kantor polisi melahirkan kehebohan.

Orang-orang Aceh mudah sekali kagum. Sekaligus sangat mudah pula mencibir. Tanpa perlu mengetahui latar belakang peristiwa pengibaran Bintang Bulan oleh Nyak Din, ia segera mendapatkan dukungan luas. Tidak sedikit yang melabelinya sebagai aneuk agam; sibak agam.

Akan tetapi, setelah dua hari kemudian dia meminta maaf melalui sebuah video yang dibuat di Mapolda Aceh, orang-orang yang awalnya mendukung Nyak Din, tiba-tiba justru mencaci-maki mantan kombatan GAM Wilayah Bate Iliek tersebut.

Mereka menganggap pria bertubuh gempal tersebut tidak lagi meu aneuk agam. Tapi cibiran negatif tidak melunturkan citra pria berkulit gelap itu.

Nyak Din bukan pria yang bertindak untuk mendapatkan viral. Ia bukan dari kelas paria yang mendamba popularitas melalui tindakan-tindakan konyol. Dengan segala keterbatasan yang ia miliki, Nyak Din merupakan salah satu eks kombatan GAM yang masih sangat disegani.

Akhirnya semua tahu mengapa ia mengikat bendera Bintang Bulan di pagar Mapolsek Samalanga. Meski kemudian terkesan kalah, tapi sejatinya ia menang. Kasus yang menimpanya menjadi perhatian publik. Tindakannya memberikan signal nyata ada masalah dalam proses penyelesaian hukum di Bireuen.

Apa yang dilakukan oleh Nyak Din, seperti kata pepatah Aceh; bloe siploh pibloe sikureung lam ruweung mita laba. Ia tahu tindakannya mengibarkan bendera Aceh hasil kesepakatan MoU Helsinki akan menui kontra dari pemerintah. Tapi ia juga sadar, hanya Bintang Bulan-lah yang menjadi pemantik penting untuk mengabarkan kepada Indonesia bahwa penegakan hukum di Bireuen masih lemah.

Nyak Din hanya satu di antara para pencari keadilan yang terkatung-katung. Bagaimana dengan keluarga almarhum Hari Juanda yang ditemukan terkapar di tepi jalan di Simpang Cureh, Kota Juang, Bireuen pada Kamis, 28 September 2023? Hingga hari ini kasus kematian Hari Juanda belum menemukan titik terang. Bahkan di awal-awal, Polres Bireuen justru mengatakan Hari Juanda mengalami lakalantas. Pernyataan polisi kemudian dianulir setelah keluarga Hari Juanda “melawan”.

Baca: Menelusuri Kematian Hari Juanda di Simpang Cureh

Keluarga Nyak Din punya sejarah panjang dalam perjuangan menuntut keadilan untuk Aceh. Dulu, tatkala Daud Bereueh mengobarkan perlawanan terhadap Indonesia, ayahnya Nyak Din yang kala itu masih belia, merupakan salah satu kombatan. Ia diberondong peluru prajurit Indonesia tatkala terjadi penyergapan di Cubo, Pidie.

Tubuh belia tersebut dihujani peluru. Beruntung ajalnya tak tiba. Ia tetap hidup hingga puluhan tahun kemudian, meski di awal bulan selalu merasa kesakitan karena tubuhnya tak lagi pulih 100 persen.

Ayahnya Nyak Din tatkala penyerbuan itu satu camp dengan kakeknya Ketua DPRA Zulfadhli,A.Md. Kakeknya Zulfadhli syahid dalam penyergapan itu.

Tatkala Nyak Din memilih bergabung dengan Aceh Merdeka, dia bukan ikut-ikutan. Tapi ada historis keluarga yang harus ia sambung. Ia meyakini bahwa Gerakan Aceh Merdeka merupakan jalan untuk membawa pulang Aceh yang sedang sesat di tanah rantau.

Tatkala ia mengibarkan bendera di tiang Polsek Samalanga, ia meyakini satu hal bahwa Bintang Bulan yang ia hormati, akan menyelesaikan masalah yang ia hadapi. Bintang Bulan akan menjadi pemicu supaya persoalan hukum yang ia hadapi, akan menuntaskan masalah. Tidak ada cara lebih baik.

Di seluruh Indonesia, penegakan hukum dan keadilan masih menjadi persoalan urgen untuk diselesaikan. Sejak dulu hingga saat ini KUHP masih dipahami secara luas oleh masyarakat sebagai Kasih Uang Habis Perkara (KUHP). Publik tidak percaya bila KUHP adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Demikian juga di Aceh, ada anekdot yang mengatakan bahwa bila rakyat kecil yang memiliki kepentingan hukum ditegakkan, maka untuk melaporkan kehilangan satu ekor ayam, maka uang yang habis satu ekor kambing.

Orang Aceh bertambah haqqul yakin bahwa orang-orang yang diberi mandat menegakkan hukum, tidak bekerja dengan benar, karena dihadapkan dengan fakta. Dengan jumlah polisi yang begitu banyak di Aceh, tambang-tambang ilegal bertebaran di Aceh. praktek menambang secara llegal dilakukan di depan hidung dan mata aparat penegak hukum.

Dengan jumlah polisi yang begitu banyak, pupuk subsidi untuk petani bisa dijual kepada yang tidak berhak. BBM untuk nelayan sulit didapatkan di pasaran. Gas melon tiga kilogram tidak bisa dipasarkan dengan harga normal. Orang Aceh untuk mendapatkan satu kaleng gas tiga kilogram –subsidi pemerintah—harus menebus hingga 35 ribu rupiah.

Akhirnya, Nyak Din memang minta maaf. Tapi permintaan maaf itu tidak sedikitpun akan menghancurkan harkat dan martabatnya. Karena dia berhasil membuktikan, bahwa dengan Bintang Bulan-lah, persoalannya kembali mendapatkan titik terang. Apakah keluarga almarhum Heri Juanda harus melakukan hal sama supaya kasus kematian pria itu ditangani dengan baik dan terang benderang?
Artikel SebelumnyaDisdik Banda Aceh Santuni 1.461 Yatim Piatu
Artikel SelanjutnyaSKK Migas & Mubadala Energy Sosialisasi Pengeboran Sumur Layaran-2
Redaksi
Komparatif.ID adalah situs berita yang menyajikan konten berkualitas sebagai inspirasi bagi kaum milenial Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here