Komparatif.ID, Banda Aceh–Lesunya ekonomi Aceh menjadi bahan diskusi di warkop. Sembari menyeruput kopi pagi, warga membahas tentang kondisi ekonomi Aceh yang nyaris tak memiliki jalan keluar dari lingkar setan kemiskinan yang semakin dalam.
Sepanjang Iduladha 1445 Hijriyah, dari kota hingga desa, orang-orang mengeluh. Dunia pertanian–selain sawit– ambruk. Kebun kakao yang diserang penyakit sampai sekarang tak kunjung pulih. Harga pinang dan kelapa anjlok. Masyarakat kelas bawah menggantungkan hidupnya pada bansos.
Pasar Aceh di Banda Aceh tak begitu ramai. Padahal Minggu (16/6/2024) merupakan hari makmeugang. Pedagang baju dan kue terlihat tak begitu semangat. Pengunjung pasar menyusut.
Seharusnya pada makmeugang rayek, Pasar Aceh padat dengan manusia. Sembari berbisik, banyak yang mengatakan tak ada uang di kantong masyarakat kelas bawah yang merupakan penduduk dengan jumlah mayoritas.
Baca: Ekonomi Aceh di Garis Merah
Keluhan tentang Aceh lesu bukan saja di Banda Aceh. Tapi menggema cukup kuat di berbagai kabupaten yang menyandarkan ekonominya pada sektor pertanian.
Masyarakat kelas bawah hingga menengah terjerat penyakit kantong kering yang sangat kritis. Hanya sedikit uang yang dapat dibelanjakan untuk Iduladha 1445 Hijriah.
Pedagang makanan yang biasanya dapat menaikkan omzet di hari Lebaran, mengatakan jalanan tidak begitu ramai. Kuliner kurang peminatnya. Warung bakso, ayam goreng, sate, martabak, roti, dan lainnya, mengatakan omzetnya kurang kali ini.
Pedagang makanan di Teupin Mane,Juli, yang biasanya ikut mendapatkan imbas positif dari Lebaran, kali ini gigit jari. Jumlah pelintas dari Gayo tidak banyak. Lebaran pertama dan kedua, jalan Bireuen-Takengon, sepi.
“Sampai Lebaran keempat, jalan tidak ramai. Baik dari arah Bireuen maupun dari arah Takengon, tak banyak pelintas,” sebut seorang pedagang martabak telur di Teupin Mane, Jumat (21/6/2024).
Beberapa warkop di Teupin Mane sudah beberapa waktu buka lebih lambat dari biasanya. Umumnya buka pukul 15.00 WIB. Di Beunyot, ada warkop yang buka pukul 05.00 WIB, dan tutup pukul 11.00 siang.
Di Matangglumpangdua yang merupakan pusat kuliner di Bireuen juga bernasib setali tiga uang. Omzet pedagang sate turun drastis. Di Sudi Mampir, jumlah sate yang laku hanya 20 kilogram per hari. Padahal bila Lebaran, biasanya mereka mampu menghabiskan hingga 80 kilogram daging.
Baca: Laju Ekonomi Aceh Masih Jauh dari Harapan
Pedagang martabak juga demikian. Bara arang lebih banyak habis tanpa aktifitas produksi.
Laporan kontributor Komparatif.ID, kondisi serupa merata. Pasar sepi, pedagang kuliner lebih banyak termenung ketimbang beraktifitas. Toko pakaian murah diserbu pembeli.
“Bahkan letupan mercon pun jarang terdengar pada Iduladha kali ini,” sebut Munzir (40) warga Pidie yang ditemui Komparatif.ID.
Praktisi pertanian di Bireuen, Waliyul Hidayah menyebutkan dunia pertanian padi mengalami kelesuan yang tragis dalam dua tahun terakhir. Serangan hama yang merusak panen, tak kunjung dapat diberantas.
Hama penggerek batang membuat padi mengalami sundep dan beluk. Serangan wereng dimulai sejak persemaian hingga panen. Petani kelimpungan, tapi tak punya pilihan selain pasrah.
Saat ini dalam satu meter persegi, padi yang dapat dipanen empat sampai enam ons. Sungguh dilematis.
Tantangan utama tentu perubahan iklim. Cuaca ekstrim elnino menyebabkan panas berlebih. Meski di Bireuen ketersediaan air irigasi mencukupi, tapi gagal panen merupakan cerita yang sudah sering terjadi.
“Kegagalan [panen] bertubi-tubi hampir dua tahun berturut-turut , memukul petani. Meski harga gabah Rp6,5 sampai 6,8 ribu perkilogram, tapi tak mampu menutupi defisit panen.
Di sisi lain, pemerintah tak punya andil besar. Mereka hanya menyusun jadwal turun ke sawah, tanpa terlibat lebih jauh. Jangankan berharap menjadi pelindung harga saat panen, menyelesaikan masalah hambatan produksi saja, pemerintah tak punya ide.
“Dinas terkait juga tidak lagi berpatokan pada kalender tanam –keuneunong– khas Aceh. Tidak membeli gabah, dan minggu lalu, Pemerintah Pusat justru impor padi dari Vietnam,” protes Waliyul Hidayah.
Ia menambahkan, selain terjerat utang, sebagai petani juga tak mampu membayar biaya sewa lahan.
“Bagaimana ekonomi Aceh tak lesu, petani saja morat-marit,” sebut Waliyul Hidayah.
Seorang petani lainnya, malah bergumam, dunia pertanian yang menjadi urat nadi Aceh, dengan Dinas Pertanian, seperti minyak dan air. Program Dinas Pertanian bukan untuk mensejahterakan petani. Malah menambah susah petani.
Akademisi Universitas Syiah Kuala (USK,) sekaligus Pengamat Ekonomi, Rustam Effendi, Sabtu (22/6/2024) menyebutkan apa yang sedang terjadi; lemahnya daya beli masyarakat, merupakan fakta yang tidak dapat dibantah. Ekonomi Aceh memang sedang tidak baik-baik saja.
Menurut data, pertumbuhan ekonomi Aceh –ekonomi makro– berada di bawah rata-rata Sumatra. Beberapa lapangan usaha tumbuh minus, termasuk lapangan usaha jasa keuangan dan asuransi.
Untuk mengenjot ekonomi Aceh juga bukan pekerjaan gampang. Ekonomi Aceh tidak didukung oleh investasi swasta. Pertumbuhan investasi swasta seperti Penanaman Modal Dalam Negei (PMDN) di Aceh rata-rata per tahun hanya Rp3 triliun. Kondisi ini sudah berlangsung selama 13 tahun terakhir.
Bandingkan dengan Sumatra Utara yang PMDN-nya mencapai Rp10 triliun rata-rata pertahun selama 13 tahun.
Minimnya investasi swasta menyebabkan daya dorong ekonomi Aceh hanya bersumber dari belanja pemerintah (APBA/APBK). Sehingga tenaga tumbuh ekonomi Aceh rata-rata di bawah lima persen.
“Rendahnya pertumbuhan ekonomi Aceh akibat terbatasnya lapangan kerja yang tersedia. Sehingga angka pengangguran tetap tinggi. Data terakhir angka pengangguran tebuka sekitar 6,03 %, di atas rerata nasional sekitar 5 %,” sebut Rustam Effendi.
Tingginya angka pengangguran berkontribusi pada kemiskinan yang tinggi pula. Akan sulit bagi Aceh untuk bisa maksimal dalam menurunkan angka pengangguran bila tidak melakukan pembenahan serius.
Rustam Effendi menyebutkan sebenarnya persoalan lapangan kerja dapat digenjot melalui Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) bagi anak muda.
Syaratnya mereka harus diberikan pelatihan yang serius, dan akses permodalan. Selama ini, setelah perbankan konvensional dipaksa keluar dari Aceh, pembiayaan juga semakin terbatas.