Sejak kemenangan telak Gibran-Teguh yang memperoleh suara sebanyak 86,5 persen melawan Paslon Bagyo-Suparjo yang nekat berjuang melalui jalur independen pada Pilwakot Solo 2020 silam, tren koalisi gemuk berupa berkumpulnya partai-partai besar yang hanya mendukung satu pasangan calon semakin dianut oleh partai politik (parpol) di Indonesia.
Fenomena koalisi gemuk ini tidak lepas dari ketakutan partai politik di Indonesia untuk mengambil peran oposisi, asumsinya, jika gagal berkuasa maka partainya akan semakin kecil dan kehilangan suara pada Pemilu selanjutnya.
Padahal asumsi ini tidak sepenuhnya benar, hal tersebut dibuktikan dengan apa yang terjadi pada Partai PPP, PSI, PBB dan Perindo yang sudah bergabung dengan kekuasaan tetapi tidak mampu mendongkrak perolehan suara pada Pemilu 2024 kemarin.
Fenomena ini semakin membentuk sikap pragmatis dari politisi dan partai politik pada Pilkada 2024, penulis menduga ada ketakutan dalam pikiran para elit partai “dari pada menyerap aspirasi pemilih, lebih baik melihat siapa yang paling mungkin menang agar kekuasaan pasti diperoleh”, maka yang terjadi saat ini adalah, ketika suatu bakal Paslon sudah mulai mengantongi rekomendasi dari dua atau tiga partai besar, maka partai lain berbondong-bondong untuk segera merapat agar tidak ketinggalan dalam bargaining kekuasaan.
Baca juga: Fair Play Politik di Pilkada Aceh
Partai politik sebagai pilar demokrasi, dalam tanda kutip “menyandera” rakyat dengan pilihan yang sangat terbatas akibat koalisi gemuk, bahkan ada kotak kosong!
Alarm ini seharusnya membangunkan kita sebagai pemegang kedaulatan untuk memberi shock teraphy kepada Parpol pragmatis, hal ini bisa kita lakukan pada 27 November 2024 nanti, ajakan ini semata-mata untuk memutus rantai tren koalisi gemuk yang membuat demokrasi menjadi tidak sehat.
Koalisi gemuk juga akan berdampak negatif jika menang nanti, seperti yang dihadapi Prabowo-Gibran sekarang, para elit partai saling mengklaim bahwa merekalah yang paling berkontribusi dalam kemenangan yang diterjemahkan bahwa mereka harus mendapatkan “kue kekuasaan” lebih dari yang lain, padahal rakyatlah yang berkontribusi pada kemenangan itu.
Seperti yang telah terjadi selama ini, koalisi gemuk telah mengamputasi kekuatan oposisi sebagai check and balances, faktanya, kekuatan oposisi merupakan pra-syarat utama untuk menjamin demokrasi tetap sehat karena dapat mencegah kekuasaan yang absolut. Sebagaimana adagium politik yang sering digaungkan, kekuasaan cenderung merusak, kekuasaan yang absolut, pasti merusak!
Lalu bagaimana dengan jalur independen? Bukankah masyarakat bisa menentukan sendiri pilihannya dengan mengumpulkan KTP? Apa yang terjadi pada paslon Bagyo-Suparjo (Bajo), sepertinya menimbulkan trauma bagi sebagian politisi yang ingin menempuh jalur independen, Bajo hanya mampu mengantongi suara 13,5 persen, tidak jauh beda dengan yang diperoleh oleh kotak kosong di beberapa wilayah lain pada Pilkada saat itu.
Fenomena partai politik pragmatis bahkan mulai menular ke wilayah yang biasanya tampil beda yaitu Aceh, terdapat dua kabupaten yang berpotensi melawan kotak kosong, pertama terjadi di Aceh Utara dan yang kedua terjadi di Aceh Tamiang.
Selain itu, ada 3 kabupaten yang hanya menyediakan dua pasangan calon yakni Aceh Barat, Aceh Singkil dan Pidie Jaya, begitu juga yang terjadi pada Pilgub Aceh.
Secercah Harapan Paslon Spartan & Keputusasaan Pada Kotak Kosong
Dibalik menjamurnya fenomena koalisi gemuk, masih terdapat beberapa parpol yang berani mengajukan pasangan calon untuk melawan, penulis mengapresiasi sikap ini sebagai tindakan menyelamatkan demokrasi, penulis menjuluki pasangan calon ini sebagai Paslon Spartan, terus melawan walaupun lawan terlihat banyak.
Pada daerah yang hanya ada satu pasangan calon, banyak dari pemilih yang belum tahu bahwa mereka bisa memilih kotak kosong jika tidak setuju dengan pasangan calon yang diajukan oleh partai politik yang tergabung dalam koalisi gemuk, pilihan kotak kosong ini jugalah yang dapat menjadi lambang kedaulatan rakyat bisa menjungkalkan kedaulatan elite partai politik.