Suatu ketika di Alue Krueb, Peusangan—sekarang Peusangan Siblah Krueng– Cut Hasan dan Rabiah—ayahanda dan ibunda H. Mukhlis, Ketua DPD II Golkar Bireuen—sedang duduk di dalam rumah panggung sederhana milik mereka. Kala itu masih pagi. Anak-anak sudah berangkat ke sekolah.
Tiba-tiba, seorang warga datang dan langsung mengabari bila persediaan beras di rumahnya sudah habis.
Baca: Biografi H. Mukhlis Sepintas Lalu
“Teungku Keuchik, pagi ini anak-anak tidak makan apa pun. Saya sedang tidak memiliki uang. Bilakah Teungku Keuchik bersedia, utangkanlah saya beras, sebambu pun boleh,” pinta seorang ayah yang berbicara dengan suara agak pelan. Sepertinya ia menahan malu yang teramat sangat.
Cut Hasan sebagai Keuchik Alue Krueb, diam sejenak. Cut Hasan melempar pandangan kepada istrinya; Rabiah. Ia mengirimkan signal melalui permainan mata. Perempuan itu mengerti. Dia segera bangkit dari duduknya, lalu menuju dapur.
Rabiah membuka kaleng tempat penyimpanan beras. Ia julurkan tangan ke dalam. Digenggamnya beras itu dengan perasaan masygul. Beras yang ada di dalam kaleng tidak lebih dari satu bambu.
“Ya Allah, apakah yang akan dimakan anak-anakku nanti siang?” katanya dengan suara sangat pelan. Hanya dia yang mendengar.
Rabiah meneteskan air mata. Hatinya meronta. Jiwa seorang ibu bergerilya. Ia tahu salah satu warganya sedang dalam keadaan tak memiliki apa-apa, tapi ia juga sedang dalam kondisi serupa.
Akan tetapi demi menjaga kehormatan suami, ia mengambil kesimpulan. Beras itu harus ia berikan. Setelah menyapu air mata, ia masukkan beras tersebut ke dalam kantong.
Dengan senyum teramat manis, Rabiah menyerahkan beras kepada suaminya. Cut Hasan memberikan kepada si warga.
“Lekaslah pulang. Anak dan istrimu sedang menantimu. Beras ini tidak aku utangkan. Sudah menjadi tanggung jawabku membantu rakyat,” kata Cut Hasan.
Setelah sang tamu berlalu, Rabiah tak kuasa menahan tangis. “Teungku Abi, apatah yang akan saya tanak nanti siang? Beras kita sudah habis,” katanya.
Cut Hasan memandang istrinya dengan tatapan penuh rasa sayang.
“Istriku, Allah Mahakaya, Nabi kita sangat mengasihi umatnya,” demikian ia menjawab.
Rabiah menyapu matanya yang basah. Kata-kata suaminya seperti teguran kepada dirinya. Ia merasa disindir, karena terlanjur khawatir tentang apa yang akan dimakan nanti siang.
Mereka pun duduk sembari melihat ke halaman yang tidak berpagar. Cut Hasan tersenyum mengenang paginya yang begitu unik. Rabiah menatap halaman yang membentang hamparan sawah. Tatapannya penuh makna. Pikirannya tidak dapat diterjemahkan.
Dua jam berlalu, seorang warga menjunjung karung besar di kepala. Dia menuju rumah Cut Hasan.
Setelah beruluk salam, dia mengatakan, “Kemarin saya baru saja menumbuk padi hasil di ladang. Rasa berasnya sangat enak. Tadi malam saya teringat kepada Teungku Keuchik. Dalam pikiran saya, beras ini harus Teungku Keuchik rasa juga. Ini sedekah dari saya,” kata sang petani.
Ia tidak berlama-lama karena masih harus mengurus padinya di gunung.
Rabiah yang melihat keajaiban itu, terisak-isak. Tadi pagi dia memberikan satu bambu beras untuk seorang warga. Jelang siang warga lainnya datang membawa satu karung beras. Beras baru pula.
Cut Hasan tersenyum.
“Sudah, jangan menangis lagi. Ayo, segera masak untuk kita santap siang.”
Rabiah bergegas. Ia memasak dengan perasaan bahagia tak terkira.
Siang datang menyapa. Sinar matahari menyelinap dari rongga-rongga dedaunan. Di halaman, anak-anak mereka melangkah dengan riang gembira.
Catatan redaksi: Kisah ini disadur dari buku biografi Mukhlis Takabeya; Petarung dari Selatan, yang diterbitkan CV Kawat Publishing.