Komparatif.ID, Banda Aceh—Delegasi Crisis Management Initiative (CMI)- Martti Ahtisaari Foundation yang dipimpin Mayjen (Purn) Jaakko Oksanen berkunjung ke Aceh. Selain menemui PYM Wali Nanggroe Aceh Teungku Malik Mahmud Al-Haytar, Jaakko juga menemui Teungku Muhammad Nur Djuli dan Munawar Liza Zainal.
Pertemuan delegasi CMI dengan dua juru runding GAM –Nur Djuli dan Munawar Liza—berlangsung pada Senin (19/9/2022) pukul 18.30 sampai 22.30 WIB.
Mewakili CMI-Martti Ahtisaari Peace Foundation, Jaakko Oksanen yang pernah menjadi Deputy Chief of Mission (DCM) Aceh Monitoring Mission (AMM), datang bersama Antti Ämmälä, seorang mantan wartawan senior yang kini Head of Communication CMI, dan Kepala CMI untuk Asia Oskari Eronen.
Pertemuan Jaakko Oksanen dkk Nur Djuli dan Munawarliza berlangsung santai sembari makan malam dan dilanjutkan dengan menyeruput kopi arabica terbaik di salah satu kedai kopi.
Dalam minum kopi bersama tersebut kedua pihak saling update kondisi Aceh terbaru. Perunding GAM menyampaikan beberapa pesan mantan kombatan di lapangan terkait dengan kondisi terkini perdamaian, supaya CMI mendapatkan informasi yang lengkap dan kembali memonitor perkembangan dari MoU Helsinki yang ditandatangani pada tahun 2005.
Pertemuan berlangsung penuh keakraban, karena selama ini, pimpinan CMI khususnya Jaakko Oksanen berhubungan secara reguler dengan perunding GAM, terutama lewat email dan pesan WhatsApp.
Dalam kesempatan tersebut, anggota tim perundingan GAM juga menyampaikan beberapa point dari MoU yang sangat krusial yang belum dijalankan oleh Pemerintah Indonesia, terutama terkait dengan kewenangan Aceh yang masih bercampur-aduk dengan kewenangan pemerintah di Jakarta. Juga pembagian hasil alam Aceh yang belum berjalan sebagaimana yang tertulis di dalam MoU.
CMI juga diingatkan bahwa salah satu ruh MoU Helsinki adalah, rakyat Aceh memiliki hak untuk menentukan calon-calon untuk posisi pejabat publik yang akan dipilih. Berbeda dengan kenyataan saat ini, pejabat publik di Aceh dikirim dari Jakarta.
Anggota perunding GAM juga mengingatkan CMI untuk tetap mengawal perdamaian sehingga berjalan sesuai dengan yang diperjanjikan. “Perlu ada evaluasi para pihak terhadap MoU, sehingga kita tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya,” demikian ditegaskan Muhammad Nur Djuli.
Pertemuan berlangsung lebih dari empat jam ini berlangsung dengan akrab, juga menegaskan tentang perlunya mekanisme yang menjembatani hubungan antara Aceh dengan Jakarta.
Setelah hengkangnya AMM dari Aceh, sempat dibentuk Forum Komunikasi dan Koordinasi (FKK), namun kemudian hubungan Aceh dan Jakarta hanya menjadi hubungan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah yang tidak seimbang, sehingga perdamaian Aceh tidak bisa diisi dengan sempurna.
Perlu ada sebuah platform yang mempertemukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia, sehingga ada tempat untuk mendiskusikan kendala-kendala dalam implementasi MoU Helsinki sehingga perdamaian di Aceh berkesinambungan.