Dedi Wahyudi, Anak Penjahit yang Jadi Doktor di Usia Muda

dedi wahyudi
Dr. Dedi Wahyudi,M.Pd.I.

Komparatif.ID, Banda Aceh—Dedi Wahyudi baru-baru ini berhasil menamatkan pendidikannya di jenjang doktoral Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry. Kini gelar Dr. Dedi Wahyudi, M. Pd.I, melekat di setiap penulisan namanya di dunia kampus. Ia lulus cumlaude.

Kelulusan dosen IAIN Metro Lampung tersebut disambut sukacita oleh kolega dan keluarga. Meski pendidikan doktoral telah umum ditempuh oleh dosen dan guru di Indonesia, tapi bagi Dedi Wahyudi, pencapaian tersebut sesuatu yang gilang-gemilang. Ia bukan dari kalangan orang berduit banyak. Dia menempuh studi hingga meraih gelar Doktor Pendidikan Agama Islam di UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh, melalui jalan berliku.

Baca: Syamsul Rizal, Profesor dari Kaki Gunung Leuser

Pak De, demikian orang secara umum memanggilnya. Pria kelahiran 3 Januari 1991 di Kebumen, Jawa Tengah, merupakan anak sulung dari pasangan suami istri yang berprofesi sebagai penjahit dan pedagang di pasar. Dia tidak berasal dari keluarga kaya raya. Dia benar-benar datang dari kalangan akar rumput.

Dedi Wahyudi sejak menempuh pendidikan di SMA Negeri 2 Kebumen, telah menyiapkan dream book, yang ia isi dengan berbagai harapan dan cita-cita. Demi memperteguh cita-cita, di dalam dream book tersebut ia tempelkan foto-foto idolanya. Seiring waktu, mengikuti perkembangan zaman, dream book tersebut dia tranformasikan ke dalam dunia digital. Ia menyimpan dream book-nya dalam sebuah blog yang diberi nama Podoluhur. Dia menargetkan dirinya sudah harus menjadi guru besar pada usia 40 tahun.

Baca: Wan Cabe, Tionghoa, dan Bireuen 80-an

Seperti anak-anak lainnya dari kalangan bawah, dia menggunakan sepeda ketika berangkat dan pulang sekolah. Kebiasaan itu dilakoninya sejak masih duduk di bangku SMPN 3, SMA 2 Kebumen, dan saat kuliah di Yogyakarta.

Saat kuliah, dia sering pulang-pergi Kebumen-Yogyakarta, menggunakan sepeda onthel lawas. Setiap perjalanan itu dia lakukan, dirinya harus menempuh jarak 97,5 kilometer.

Sembari kuliah ia menjual pulsa telepon. Karena aktivitas bisnisnya itu, dia disebut konter berjalan. Dedi menikmati setiap julukan, toh dengan pendapatan tambahan tersebut, dia bisa gunakan untuk membeli buku, dan sisanya dipergunakan untuk sekadar jajan.

Berkat ketekunannya, ia lulus sebagai sarjana strata 1 UIN Sunan Kalijaga pada tahun 2011 dengan predikat cumlaude, dan tercepat.

Tidak ingin lama-lama berstatus sarjana strata 1, Dedi Wahyudi kembali melanjutkan pendidikan jenjang magister di perguruan tinggi yang sama, jurusan yang sama; Pendidikan Agama Islam. Dengan bermodal pinjaman dan upah sebagai guru honorer, dia kembali melanjutkan studi. Tahun 2013-2014 ia lulus tingkat magister dengan predikat cumlaude & tercepat sebagai Magister PAI.

Ada pengalaman menarik yang ia ceritakan kepada penulis. Ketika masih mengajar di SD Negeri 4 Kedawung, penglihatannya mengalami gangguan.  “Pandangan kabur, semakin lama semakin tebal minusnya,” kata Dedi. Untuk membaca dengan jelas, Dedi harus mendekatkan buku atau layar beberapa senti di depan mata.

Gangguan penglihatan berlanjut hingga ia meminang Nuryah, magister jurusan yang sama, dan kemudian pindah mengajar ke IAIN Metro Lampung sebagai ASN. Akan tetapi, setelah menempuh pengobatan, matanya kembali berfungsi dengan baik, meski tetap harus dibantu oleh kacamata.

Dedi Wahyudi Menjadi Wisudawan Terbaik di UIN Ar-Raniry

Perjalanan akademiknya berlanjut ke jenjang doktoral di UIN Ar-Raniry Banda Aceh. dengan masa studi enam semester, Dedi Wahyudi berhasil mendapatkan IPK 4.0. Tahun 2025 ia lulus dengan mengantongi predikat cumlaude, dan lulusan tercepat.

Dalam menempuh pendidikan doktoral di UIN Ar-Raniry, dia berhasil mendapatkan bantuan dana pendidikan melalui beasiswa dari PT Djarum, KEMENAG RI, Beasiswa Indonesia Bangkit (BIB) – Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) angkatan pertama tahun 2022.

Dedi berkoitmen, semua pengetahuan yang ia miliki, kiat-kiat yang ia tempuh, dan lakon hidup yang ia tekuni, akan dibagikan kepada mahasiswa yang ia didik di IAIN Metro Lampung.

“Bagi saya, pencapaian ini bukan hanya untuk saya pribadi, tapi juga untuk keluarga, guru, dan semua yang pernah mendukung perjalanan saya,” katanya, Sabtu (31/5/2025).

Usai pendidikan doktoral, ia mencanangkan target baru. Harus menjadi guru besar pada usia 40 tahun.

Sebagai lulusan doktoral terbaik, dosen muda, pengelola jurnal, dan peneliti aktif, Dedi siap membawa angin segar bagi pengembangan Pendidikan Agama Islam di kampusnya. Harapannya, lebih banyak generasi muda yang termotivasi untuk mengikuti jejaknya. Ia siap mengabdi untuk bangsa, negara, dan agama.

Editor: Muhajir Juli

Artikel Sebelumnya2 Rumah di Geumpang Ludes Terbakar, Warga Padamkan Api dengan Alat Seadanya
Artikel SelanjutnyaTak Hanya yang Bergaji Kecil, Orang Kaya Juga Kurangi Menabung
Syatria Adymas Pranajaya
Pemerhati Fenomena Sosial, Pendidikan, Agama, Budaya, Kuliner, Wisata.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here