Komparatif.ID, Bireuen –Wan Cabe merupakan saksi sekaligus ikut menjadi salah satu pelaku sejarah Bireuen era 80-an. Nama Wan Cabe dilakap oleh Jaka Mando, seorang pentolan pemuda di Pos Geuleupak Payak (GP) di dekat kuburan umum Pulo Kiton, Bireuen.
Junaidi Irwan merupakan pria kelahiran Lampoh Jambe, Pulo Kiton, Bireuen, pada 1975. Anak dari seorang pemilik usaha traktor yang cukup terkenal di Bireuen kala itu. Meski ekonomi orangtuanya cukup baik, tapi Wan Cabe merupakan bocah yang terlampau aktif, sehingga kurang tertib pada peraturan keluarga.
Sejak SD dia sudah malang-melintang di Kota Bireuen. Sebagai bocah ia disayang oleh para preman yang jumlahnya cukup banyak pada era 80-an. Semua preman kala itu sangat menyenangi Wan kecil. Bocah itu selain rajin, juga jujur. Bahkan dia tidak mau menipu preman yang menyuruhnya membeli minuman keras.
Baca: Menelusuri Sejarah Terminal Bireuen
Bagi Iwan, kepercayaan tidak boleh dikhianati. Hal paling mahal adalah trust. Bila itu tidak dimiliki olehnya, maka ia pasti akan terdepak dari pergaulan.
Era 80-an di Bireuen terdapat sebuah toko miras yang tidak memiliki plang merek toko. Ruko miras tersebut dikelola oleh Kintong, seorang pria Tionghoa yang bertubuh besar dan gemuk. Ruko tersebut di Jalan Andalas.
Ruko miras Kintong tidak pernah dibuka secara formal. Bisnis itu digeluti secara informal. Setiap hari, yang dibuka hanya pintu. Bila bulan Ramadan, Kintong ikut menjual nasi. Konsumennya tentu orang tempatan yang tidak berpuasa.
Kintong tidak pernah membiarkan rambutnya tumbuh. Kepalanya selalu plontos. Tubuhnya dipenuhi lemak. Payudaranya besar, mirip payudara perempuan. Nenen Kintong meski besar, tapi lembek. Istilah Aceh, nenennya meuyokyok. Perutnya buncit.
Menurut Kaspul Topan dan Her yang ditemui Komparatif.ID, Selasa malam (20/8/2024) Kintong mirip Cu Pat Kai, siluman babi pada serial Kera Sakti.
Sehari-hari pria Tionghoa itu hanya memakai celana pendek dan tidak pernah memakai maju. Dia membiarkan tubuhnya di atas pusar, terpapar angin dan matahari. Mungkin ia tidak memakai baju karena gerah. Maklum dengan tubuh sangat gemuk, ia akan mudah kepanasan.
Kintong memelihara anjing herder. Warna bulunya coklat krem.
Bisnis miras Kintong dibekingi preman. Sehingga tak ada yang berani mengganggu.
Kaspul dan Her, merupakan dua saksi sejarah Bireuen 80-an. Berbeda dengan Junaidi Irwan yang masih bocah saat itu, Kaspul dan Her, sudah beranjak sebagai pemuda.
Baca: Gang Itam dan Kisah Kenakalan di Samping Terminal Bireuen
Kembali ke Wan Cabe. Bila para preman membutuhkan miras, Wan ditugaskan sebagai pembeli. Bila sudah diberikan perintah, Wan Cabe gerak cepat. Karena masih kecil, dia selalu membeli miras melalui pintu belakang ruko Kintong.
Kintong sangat senang kepada bocah tersebut. Mengapa? Karena Wan Cabe selalu membeli; tidak berutang. Miras kala itu seperti Stevenson,Kamput, dan Mansion House. Mansion House merupakan miras berkelas. Botolnya pipih dan bisa dikantongi.
Selain miras, Kintong juga agen judi buntut. Untuk bisnis tersebut, ia punya kompetitor yaitu A Thiam, pria Tionghoa yang membuka lapak di Losmen Garuda dan Losmen Atra. Konsumen A Thiam lebih beragam yaitu orang-orang Aceh Tengah yang datang ke Bireuen membeli buntut tiap malam Minggu.
Saat itu salah satu warung nasi paling terkenal yaitu Kartiwi. Warung tersebut terkenal karena rasa dan bungkus nasinya sangat besar. Bila beli nasi bungkus di Kartiwi, bisa dimakan bertiga, dengan jaminan ketiga-tiganya kenyang. Harganya pun terjangkau, hanya Rp500 per bungkus.
“Saya sering disuruh beli nasi bungkus Kartiwi oleh senior,” sebut Junaidi Irwan.
Sejak kecil Wan dididik oleh ayahnya supaya menjadi penerus bisnisnya di sektor jasa membajak sawah. Oleh karena itu dia dikirim ke Sekolah Teknik di Kota Bireuen. Sekolah Teknik tersebut setara SMP saat ini.
“Harapan ayah, supaya saya bisa menjadi montir traktor. Tapi ya begitulah, cita-cita beliau dan impian saya berbeda. Saya lebih senang makan nadi bungkus bersama preman ketimbang belajar di dalam kelas,” kata wan Cabe.
Sekolahnya jarang ia kunjungi. Wan Cabe lebih banyak di luar kelas. Membersamai para preman, menjadi anak bawang serba bisa.
Kaspul Topan dan Her sudah kenal Wan Cabe semenjak pria kecil itu bergaul dengan preman dan pria-pria bandel kota kala itu.
Bireuen era 80-an merupakan kota preman. Para preman Bireuen terkenal hingga ke Jakarta. Meski masih di bawah Aceh Utara, Bireuen lebih berkelas ketimbang Lhokseumawe, ibukota Aceh Utara.
Pentolan organisasi kepemudaan lebih terkenal orang Bireuen ketimbang yang bermukim di Lhokseumawe. Bahkan pada tahun 1990, HUT Pemuda Pancasila tingkat nasional dipusatkan di Bireuen. Ketum DPP Pemuda Pancasila Japto Soerjosoemarno datang langsung ke Bireuen.
Ketua PP Bireuen H. Asyeik memasang bendera PP dari Krueng Mane hingga Bireuen.
H. Asyeik merupakan pentolan pemuda yang disegani. Hubungannya dengan elit-elit PP di Pusat sangat baik. Dengan pengaruh PP dan OKP lainnya kala itu, para pemuda dan preman lebih dominan ketimbang polisi dan tentara.
“Dari situasi itulah muncul tagline; Bireuen kotanya kecil tapi harimaunya banyak. Harimau yang dimaksud adalah para pemuda dan organisasinya,” kata Kaspul Topan.
Pendopo Bireuen merupakan tempat menggembleng pemuda-pemudi Sanggar Musik Merdeka di bawah binaan Avid Daud. Di bawah tangan dingin Avid Daud, drumband sanggar tersebut berhasil meraih sejumlah prestasi. Tiga mayoret jelita paling terkenal yaitu Yanti Bintang, Yuyun Cit Gapu, dan Liza Asyeik.
Kehidupan malam sangat bergeliat. Tiga bioskop selalu penuh. Bioskop Dewi dan Gajah merupakan tempat menonton sinema layar lebar kelas menengah ke atas. Untuk rakyat ekonomi kelas bawah, Panggung Hiburan Rakyat (PHR) Taman Ria di dekat Lapangan Voa.
Taman Ria merupakan bioskop kelas kawula, dengan fasilitas seadanya. Di barisan paling depan ditaruh kursi besar berderet. Kursi panjang itu diberi lakap kelas kambing.
Di belakangnya deretan kursi bernomor yang disebut lose. Di belakangnya disebut balkon. Tempat paling tinggi, paling gelap. Balkon tempat mesum. Di balkon, apa pun bisa terjadi yang berhubungan dengan arus bawah.
Taman Ria juga terkenal dengan istilah satu tiket dua film. Tengah malam diputar film bonus. Biasanya film semi produksi Hongkong. Penonton diberi bonus lainnya, di antara tayangan film semi, pita seluloid dipotong dan disambung dengan film porno produksi Amerika Serikat. Durasinya sekitar satu menit. Meski pendek, cukup untuk membuat tengkuk penonton tegang, dan nafas naik turun.
PHR Taman Ria milik pengusaha hiburan bernama Kunyet, seorang Tionghoa yang pintar membaca pasar. Sedangkan Bioskop Dewi milik A Sie, pengusaha Chinese baik hati dan dermawan.
Hotel paling terkenal Murni. Hotel tersebut pernah menginap Presiden Sukarno kala berkunjung ke Bireuen dalam rangka membangun dukungan rakyat Aceh untuk membendung Sekutu dan NICA yang mencoba mengembalikan status quo.
Hotel Murni menyediakan biliar. Olahraga kota yang digemari pada pemuda. Setiap malam para pemuda berkumpul di sana. Baik yang mengonsumsi miras, maupun yang tidak, menyatu di bawah lampu yang menyinari meja biliar.
Seorang tukang kusuk paling masyur di dunia malam saat itu Bik 13. Seorang perempuan transmigran yang bermukim di kilometer 13, jalan Bireuen-Takengon.
Setiap malam dia datang ke Bireuen. Menyediakan jasa kusuk bagi siapa saja yang membutuhkan “terapi”. Bik 13 juga menyediakan layanan plus-plus. Biasanya short time. Gang-gang gelap, gudang kosong, hingga kamar hotel merupakan lapak kusuk Bik 13.
Pernah Bik 13 dibayar menggunakan uang palsu. Ia tidak tahu ditipu. Karena sistem pembayaran fast sambil peureugam.
Kala tahu telah ditipu, Bik 13 hanya bisa merengut. Selebihnya ia tidak berdaya.
***
Wan Cabe tersenyum. Ia menyeruput kopi pancung. Kemudian menyebut beberapa nama pentolan pemuda Bireuen yang ia bersamai sejak kecil. Para pentolan itu sangat kosmopolit dalam berpikir, setia dalam bertindak, dan bersatu dalam menjaga Bireuen.
Perihal Wan Cabe, sejumlah orang mengakui eksistensinya di era 80-an. Wan bukan pelaku utama. Bila ditamsilkan, ia figuran dalam sebuah sinema. Tapi ia figuran penting. Ada di tiap episode. Hadir di tengah geliat kota. Ada dan bersama para preman dan pentolan pemuda.
Kini ia beranjak tua, telah berkeluarga dan memiliki anak. Ia tetap seperti Wan Cabe dulu; rajin, mudah iba, setia kawan, loyal, dan meuc’ap.
Sekarang ia lebih dari montir traktor. Junaidi Irwan (Wan Cabe) telah menjadi kawula yang disenangi, dan diam-diam membantu banyak kecil orang tanpa meminta upah.