Bireuen tidak pernah jadi ibukota Republik Indonesia. Meskipun seringkali disebut-sebut pernah menjadi ibukota Republik Indonesia, tapi tak ada catatan resmi yang menguatkan. Cerita-cerita itu justru berasal dari Bireuen yang kemudian diulang oleh Jusuf Kalla.
Dari berbagai pernyataan yang disampaikan oleh beberapa orang di Bireuen bahwa kota tersebut pernah menjadi ibukota Indonesia, berdasarkan kunjungan kerja Sukarno pada 18 Juni 1948. Mereka membangun asumsi bahwa saat itu ibukota di Jogjakarta telah jatuh ke tangan Belanda. Mereka lupa bahwa kunjungan kerja Sukarno ke Bireuen dilakukan pada Juni, sedangkan kejatuhan Jogja pada Desember 1948.
Presiden Sukarno pernah melakukan kunjungan kerja ke Bireuen pada 1948. Ia dan rombongan tiba di Bireuen 18 Juni 1948. Saat itu dia melakukan sejumlah pertemuan dengan para pembesar Aceh. Di antara tiga tokoh pergerakan yang menyambut Sukarno yaitu Teungku Daod Bereueh, Kolonel Husein Jusuf, dan Abubakar bin Ibrahim.
Baca: Aceh Ibu Susu Indonesia
Sang Presiden diinapkan di Meuligoe Bireuen yang saat itu telah menjadi rumah dinas Panglima TKR Divisi X Gadjah Putih Komandemen Sumatera Kolonel Husein Joesoef—sering ditulis juga Husin Yusuf, atau Husein Jusuf.
Hal pertama yang dilakukan Soekarno di Bireuen yaitu melakukan dialog terbuka dengan Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Teungku Muhammad Daod Bereueh. Dialog itu berlangsung di Markas Komando Divisi X TRI yang dipimpin oleh Kolonel Husein Joesoef.
Dialog tersebut melahirkan Bireuen Agreement yang berisi kesepakatan mobilisasi kekuatan ke front Medan Area, demi melawan pasukan Inggris dan Belanda yang telah menduduki Sumatra Utara.
Tapi sepertinya beberapa pihak memanfaatkan fakta sejarah tersebut, demi menciptakan informasi keliru bahwa Bireuen pernah menjadi ibukota Republik Indonesia.
Perihal Bireuen pernah menjadi ibukota ketiga Indonesia, pernah juga diungkapkan oleh Jusuf Kalla saat memberikan pidato bertema “Perdamaian dan Pembangunan Nasional” pada 14 November 2015. JK mengatakan selama seminggu Presiden Sukarno mengendalikan pemerintahan yang sedang dalam kondisi darurat dari Bireuen.
Basis argumen Jusuf Kalla berdasarkan keterangan oral bahwa Bireuen menjadi ibukota ketiga Indonesia karena kala itu Belanda melakukan agresi militernya terhadap Jogjakarta, yang menyebabkan ibukota jatuh ke tangan Belanda.
Klaim tersebut tentu saja keliru. Berdasarkan catatan sejarah, Agresi Militer Belanda II –dalam versi Belanda disebut Operatie Kraai (Operasi Gagak) yang berhasil menguasai Jogja terjadi pada 19 Desember 1948.
Saat Agresi Militer II tersebut terjadi seluruh pemimpin Republik Indonesia berada di Jogja. Mereka semua ditangkap dan kemudian diasingkan.
Sebelum Presiden Sukarno ditangkap oleh Belanda, ia telah mengirimkan kawat kepada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara supaya mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi.
Syafruddin yang tidak menerima perintah tersebut secara langsung, ragu-garu dalam bersikap. Oleh karena itu, di dalam struktur PDRI dia menempatkan dirinya sebagai Ketua PDRI, bukan Presiden PDRI.
Meskipun Ketua, tapi dia melaksanakan tugas-tugas diplomasi sebagai kepala negara. Ia memimpin PDRI dari 22 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949.
Alasan Bireuen Tidak Pernah Jadi Ibukota Republik Indonesia
Memindahkan ibukota sebuah negara tidak semudah membeli pisang goreng. Atau tidak segampang menulis memo. Harus melalui rapat khusus, dengan alasan khusus, dan kebutuhan khusus.
Lalu apa alasannya Sukarno memindahkan ibukota negara dari Jogja ke Bireuen? Tidak ada alasan sama sekali. Bahkan saat itu berkunjung ke Bireuen, bukan dalam rangka melarikan diri dari kejaran musuh. Tapi dalam rangka kunjungan kerja ke Sumatra.
Kunjungan kerja ke Sumatra dilakukan untuk menggalang dukungan elit lokal dan masyarakat, karena Republik Indonesia yang masih berusia seumur jagung, membutuhkan banyak dana. Selama ini untuk operasional Pemerintah Pusat di Jogja hanya ditanggung oleh Sultan Jogja dan Pakualaman.
Saat itu Indonesia membutuhkan pesawat terbang. Maka pada pertemuan di Hotel Atjeh pada 16 Juni 1948, Sukarno menyatakan tidak mau makan malam bila dana yang ia butuhkan tidak terkumpul.
Maka pihak pertama yang menyatakan kesanggupan menyumbang yaitu Ketua Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida) M. Djoned Djoesoef.
Diawali oleh ketua Gasida, kemudian tokoh Aceh bergerak ke sana kemari mencari dana tambahan yang jumlahnya sangat besar.
Setelah mengumpulkan berbagai sumbangan, tercapailah angka 120.000 dollar Malaysia, dan 20 kilogram emas (sejumlah sejarawan menyebutnya 50 kilogram emas). Uang dan emas itu dipergunakan untuk membeli pesawat terbang Dakota yang diberi nama Seulawah 001 dan 002. Itulah pesawat terbang pertama milik Indonesia.
Dari Kutaraja, Sukarno bergerak ke Bireuen. Pada siang 17 Juni 1948 dia singgah di Sigli. Di sana ia berpidato.
Di Bireuen ia agak lama. Karena di sana berdiri pusat komando militer Aceh yang dipimpin oleh Kolonel Husen Jusuf. Daud Beureueh juga ikut ke Bireuen. Mereka membahas banyak hal di Sana.
Setelah kunjungan kerja ke Bireuen, selanjutnya pada 21 Juni Sukarno terbang ke Riau, Pekanbaru.
Sebelum berkunjung ke Aceh, pada 10 Juni ia berkunjung ke Maninjau, 15 Juni 1948 Sukarno berkunjung ke Balige, Sumatra Utara. Kemudian berkunjung ke Aceh –Kutaraja, Pidie, dan Bireuen—selanjutnya ke Riau pada 21 Juni.
Dengan fakta ini, dis-informasi tentang Bireuen pernah menjadi ibukota Indonesia sudah harus diakhiri. Bireuen tidak pernah jadi ibukota Republik Indonesia.