Komparatif.ID, Banda Aceh— Panitia Pengawasan Pemilihan (Panwaslih) Aceh telah menyelesaikan pemetaan tempat pemungutan suara (TPS) yang dianggap rawan dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
Langkah ini dilakukan untuk mengantisipasi berbagai potensi gangguan pada hari pemungutan suara. Proses pemetaan dilakukan selama enam hari, dari 10 hingga 15 November 2024, dengan melibatkan 6.499 kelurahan atau desa di 290 kecamatan yang tersebar di 23 kabupaten dan kota di Aceh.
Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat Panwaslih Aceh, Muhammad AH, mengungkapkan pemetaan dilakukan berdasarkan delapan variabel dengan 25 indikator yang telah ditetapkan.
Hasilnya, terdapat enam indikator utama yang paling banyak terjadi di TPS, 16 indikator yang cukup sering ditemukan, dan tiga indikator yang jarang terjadi namun tetap perlu diwaspadai.
Beberapa indikator utama yang menjadi sorotan adalah keberadaan pemilih disabilitas dalam daftar pemilih tetap (DPT), pemilih yang tidak memenuhi syarat, serta kendala jaringan internet di lokasi TPS.
Dari data yang dikumpulkan, tercatat 3.329 TPS memiliki pemilih disabilitas yang terdaftar dalam DPT. Selain itu, 2.777 TPS ditemukan memiliki pemilih yang sudah tidak memenuhi syarat, seperti meninggal dunia atau beralih status menjadi anggota TNI atau Polri.
Sebanyak 1.629 TPS juga tercatat memiliki pemilih pindahan (DPTb), sementara 629 TPS memiliki potensi pemilih yang memenuhi syarat tetapi tidak terdaftar dalam DPT. Kendala jaringan internet dilaporkan terjadi di 500 TPS, dan 208 TPS memiliki penyelenggara pemilu yang bertugas di luar domisili.
Indikator lainnya yang banyak ditemukan adalah kendala aliran listrik di 234 TPS, lokasi TPS yang rawan bencana di 224 TPS, dan keterbatasan logistik di 45 TPS. Selain itu, 181 TPS dilaporkan sulit dijangkau karena faktor geografis dan cuaca, sementara 203 TPS memiliki riwayat pemungutan suara ulang (PSU) atau penghitungan suara ulang (PSSU).
Beberapa TPS juga ditemukan berada dekat dengan lokasi khusus, seperti lembaga pendidikan, wilayah kerja pertambangan, atau posko kampanye pasangan calon, yang dapat mempengaruhi netralitas pemungutan suara.
Terkait praktik-praktik yang melanggar aturan, sebanyak 149 TPS dilaporkan memiliki riwayat pemberian uang atau materi lainnya di sekitar lokasi saat masa kampanye.
Intimidasi terhadap penyelenggara pemilu dilaporkan terjadi di 96 TPS, sementara 52 TPS memiliki riwayat kekerasan selama proses pemilu. Faktor lain yang juga menjadi perhatian adalah keterlambatan pendistribusian logistik, kerusakan logistik, dan keberadaan ASN, TNI/Polri, atau perangkat desa yang tidak netral di 49 TPS.
Untuk mengatasi potensi masalah ini, Panwaslih Aceh telah menyiapkan berbagai strategi pencegahan. Salah satu langkah utama adalah melakukan patroli pengawasan di wilayah TPS yang telah dipetakan sebagai rawan.
Selain itu, koordinasi intensif dilakukan dengan para pemangku kepentingan untuk memastikan kelancaran proses pemilu. Panwaslih juga aktif memberikan sosialisasi dan pendidikan politik kepada masyarakat guna meningkatkan partisipasi dan kesadaran publik terhadap pentingnya menjaga integritas pemilu.
Panwaslih Aceh juga menggandeng organisasi masyarakat, pegiat kepemiluan, dan pengawas partisipatif untuk berkolaborasi dalam pengawasan. Posko pengaduan masyarakat didirikan di berbagai tingkatan untuk memfasilitasi laporan atau keluhan, baik secara langsung maupun melalui platform daring.
Di sisi logistik, pengawasan dilakukan secara langsung untuk memastikan kelancaran distribusi serta kesesuaian prosedur pemungutan dan penghitungan suara.
Langkah ini diharapkan dapat meminimalkan berbagai hambatan yang mungkin terjadi, sekaligus memastikan akurasi data pemilih dan penggunaan hak pilih di seluruh TPS di Aceh.