Namanya Amat, pria berumur lebih 60 tahun. Seorang duda yang ditinggal mati oleh istrinya. Ia memiliki empat anak dari pernikahan satu-satunya yang dijalani sepanjang hidupnya.
Dia lahir dari pasangan yang sangat biasa. Ayah dan ibunya tidak pernah ramai diketahui orang. Demikianlah cara paling mudah menjelaskan bahwa kedua orangtuanya juga bukan siapa-siapa. Hanya rakyat biasa, yang tidak punya pengaruh apa pun. Bahkan untuk panitia maulid saja tidak pernah dilibatkan.
Saat ayah dan ibunya meninggal bersamaan karena diterkam harimau, Amat tidak mewarisi apa-apa selain kemiskinan.Utang lima liter beras yang ditinggalkan ayah dan ibunya, telah dimaafkan oleh pemilik warung.
Cerpen: Lebaran
Suatu sore dia duduk di sebuah warung kopi. Hujan turun malas-malasan. Rinainya menghadirkan kesenduan bagi pria Amat yang telah beberapa tahun ditinggal mati istrinya. Ia menyeruput kopi sembari menatap jalan aspal lintas Bireuen-Takengon.
Pikirannya menerawang jauh. Mengenang masa-masa kala sang istri masih ada. Istrinya hanya pernah meminta satu kali kepada dirinya. Sang istri meminta dibuatkan rumah layak huni. Karena sudah tak sanggup lagi berpindah-pindah dari satu gubuk ke gubuk lainnya; mengandalkan belas kasihan orang.
Permintaan mendiang istrinya wajar. Mustahil tak bisa dipenuhi oleh Amat yang lahir, dan besar di Serambi, negeri yang kaya raya.Tapi, hingga sang bidadarinya menutup mata, jangankan rumah, tanahpun belum terbeli.
***
Hujan reda jelang kumandang azan Magrib. Amat beranjak dari kursi plastik hasil produksi tahun 2003. Amat dan kursi itu terlihat sepadan. Sama-sama ringkih dimakan usia.
Tinggi badannya 167 sentimeter. Rambutnya ikal,kulitnya gelap. Hidung mancung. Kornea mata yang dulunya hitam, kini tampak memudar.
Dia menuju sepeda motor bututnya hasil produksi 1998. Motor lawas, tapi sangat tidak terawat. Amat mengengkol motor butut itu. Tiga kali tunjangan kaki, motor itu menyala. Kemudian dia berlalu menerobos sisa rinai yang masih jatuh.
Dua puluh tahun lalu, Amat masih bugar. Meski tak kekar, tapi tubuhnya dapat dipaksa bekerja keras di hutan dan huma. Ia mencari nafkah di rimba sebagai buruh kasar, setelah bertubi-tubi gagal membangun bisnis berjualan bubur kacang merah menggunakan gerobak.
Bubur kacang merahnya enak. Tapi karena dia berjualan di kampung yang mayoritas warganya miskin, harga buburnya harus dijual semurah mungkin. Itupun seringkali dia membawa sisa bubur ke rumah. Kadang dibagi-bagi untuk siapa saja. Kadang ia nikmati bersama keluarga.
Anak-anaknya tidak ada yang melanjutkan pendidikan ke SMA. Si bungsu hanya lulus SMP. Tiga tahun kemudian menikah dengan seorang pemuda dari kampung jauh.
Anak sulungnya laki-laki. Orang-orang memanggilnya Di. Pria bertubuh kekar itu hanya lulus SD. Wajahnya rupawan, tapi karena sering tak punya uang, maka ia tidak populer. Bila Di diperbincangkan oleh group bunga desa, paling berisi cibiran.
Adiknya Di bernama Mawar. Tubuhnya langsing, parasnya sesuai namanya; cantik. Perempuan itu hanya lulus SD. Ia pernah mengaku hampir menjadi bintang film. Cerita itu tidak pernah meluas, karena siapa saja yang mendengar, pasti memilih tidak percaya.
Mawar tidak pernah ke mana-mana sebelum menikah. Perjalanan terjauhnya hanya kebun-kebun warga tempat ia menjadi buruh.
Suatu ketika dia menikah dengan seorang pria yang telah beristri. Pria yang datang dari jauh itu terlihat parlente. Mengendarai mobil Toyota Hardtop. Ia mengira telah menjadi istri pria beruang. Ternyata pria itu hanya kepercayaan seorang toke kayu. Sejatinya ia juga buruh kasar.
Setelah menikahi Mawar, istri tuanya datang.Tanpa sempat membela diri, pria itu diceraikan. Toke memecatnya dari pekerjaan sebagai sopir karena telah menggelapkan uang. Uang itu digelapkan untuk kebutuhan menikahi Mawar.
Mawar mengutuk keputusannya bersedia dinikahi. Ia juga menyesal menolak cinta Jali. Jali yang nyaris gila setelah ditolak oleh Mawar, memilih merantau ke Malaysia. Lima tahun kemudian dia pulang. Ekonominya telah membaik. Dia membeli kebun di kampung dan mendirikan sebuah rumah semi permanen. Kemudian menikahi dara kampung sebelah yang rupawan.
Melihat Mawar yang telah memiliki tiga anak dan hidup melarat, Jali sempat jatuh iba. Tapi akal sehatnya mengatakan “Jali, dulu kau ditolak karena kau bukan siapa-siapa. Sekarang, dia bukan lagi seleramu, karena dia juga bukan siapa-siapa. Jaga istrimu yang telah kau nikahi.”
Adiknya Mawar; juga perempuan, telah bertahun-tahun tak ada kabar. Dia lari dari rumah setelah Amat menolak merestui hubungannya dengan seorang pria pemanjat kelapa yang kasar dan tak pernah tahu alamat masjid dan meunasah.
***
Pada malam 17 Agustus 2024, pria gaek itu menutup mata untuk selamanya. Ia ditemukan meninggal di kamar gubuknya yang dibangun di atas tanah wakaf meunasah. Sepertinya ia over dosis. Di dekat tempat tidurnya ditemukan bekas bungkusan obat-obatan, seperti obat asam urat, obat asam lambung, obat batuk, dan sakit kepala.
Menurut Din Rambo—seorang pengamat segala isu di kampung itu, sebelum meninggal sang duda mengonsumsi semua jenis obat-obatan itu.
“Dugaan saya asam lambung, asam urat, kolesterol jahat, sakit kepala, batuk, datang barengan menyerang Apa Amat. Sehingga dia menengak semua obat itu.”
Kabar kematian Amat diberitahu Keuchik Lah kepada camat Raman, kala sang Camat menanyakan mengapa ia tidak menghadiri upacara HUT RI di lapangan kecamatan.
“Siapa Amat itu?” tanya Camat Raman sembari mengernyitkan dahi. Dia tidak pernah mendengar nama tersebut di Gampong Mambang Kulam Meurawoh.
“Bukan siapa-siapa,” jawab Keuchik Lah.