Suatu malam saya terlibat percakapan di kedai kopi Meulaboh, Aceh Barat dengan kawan bernama Marzuki, sebagai petani milenial, ia mengeluhkan keadaan yang sedang menimpanya.
“Pemerintah mendorong anak muda untuk bertani, tapi kalau gagal panen karena tidak air seperti ini kan sangat konyol, kita punya banyak sungai tapi sawah saya tidak ada air, pas musim hujan, air sungainya meluap dan merendam padi saya, apa saya harus berubah jadi avatar dulu untuk mengendalikan ini semua?” keluhnya sambil menyeruput kopi pahit.
Sejak bertani, tidak pernah ada lagi gula dalam kopinya, selaras dengan keadaannya saat ini, pahit.
Mendengar keluhan kawan saya, seorang laki laki paruh baya bernama Agus ikut nimbrung ke meja kami, “Bagi saya, tidak ada harapan selain mengharapkan malaikat Mikail lewat di langit Aceh Barat sambil membawa hujan, tapi jangan banyak-banyak, secukupnya saja untuk sawah, jika terlalu banyak nanti banjir,”
Saya termenung mendengar keluhan dua petani ini, walaupun mereka memiliki referensi yang berbeda dalam mengeluh, yang satu menggunakan imajinasi kartun dan yang lainnya mengharap lewat jalur keilahian, namun dua-duanya memberikan frekuensi yang meresahkan.
Aceh Barat masih menjadi wilayah yang kekeringan saat kemarau dan kebanjiran ketika musim hujan, hal ini tidak terlepas dari topografi Aceh Barat yang terdiri dari rawa-rawa atau bahasa lokalnya adalah paya untuk sebutan wilayah genangan air di dataran tinggi, dan suak untuk wilayah pesisir.
Persoalan selanjutnya adalah banyak paya yang diubah menjadi perkebunan sawit dan suak yang ditimbun serta ditanami beton, fenomena ini mirip seperti yang dialami Jakarta dan wilayah penyangganya.
Selain itu, medio akhir 2023, masih melekat dalam ingatan warga Pante Ceureumen ketika kampung mereka diterjang banjir bandang akibat tergerusnya hutan oleh eksplorasi tambang emas tanpa izin di wilayah pegunungan, banjir akibat luapan air sungai juga dirasakan oleh warga di kecamatan lainnya.
Sebaliknya, pada musim kemarau, Aceh Barat diterpa kekeringan yang membuat petani tidak bisa mengolah sawah, bahkan terdapat puluhan hektar sawah yang sudah ditanami padi tapi petani kesulitan mendapatkan sumber air untuk dialiri ke sawah.
Baca juga: Advokasi Kebijakan Ruang Terbuka Hijau Menuju Meulaboh Sebagai Kota Ramah Anak
Saluran primer Waduk Lhok Guci baru bisa dirasakan manfaatnya oleh petani di Kecamatan Pante Ceureumen dan Panton Reu. Sedangkan kecamatan lainnya belum mendapat manfaat dari waduk ini. Lebih ironisnya lagi, persawahan di jalur Sibak Krueng Woyla bahkan belum memiliki waduk.
Lalu bagaimana dengan keberadaan suak yang merupakan wilayah surplus air? Karena debit air suak ini tidak dikendalikan dengan sistem pintu air dan tanggul, maka ketika endapan pasir pertemuan antara suak dan laut terbuka, maka debit air suak berkurang drastis sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk lahan pertanian, seperti yang terjadi pada pertengahan tahun 2024 ini.
Memasuki bulan kemerdekaan di bulan Agustus 2024, pelanggan PDAM Tirta Meulaboh kembali mengeluhkan terhentinya supply air bersih selama satu minggu. Keluhan ini semakin menggambarkan sengkarut pengendalian air di Aceh Barat.
Pembangunan waduk mungkin membutuhkan biaya yang sangat mahal, sebenarnya ada solusi lain yaitu embung yang dapat dibangun di banyak titik dengan biaya yang relatif murah.
Embung adalah suatu bangunan konservasi air yang berbentuk kolam yang digunakan untuk menampung air hujan dan air limpasan sekitar untuk keperluan cadangan air yang dapat dialiri ke sawah pada saat musim kemarau.
Keberadaan Embung merupakan hak masyarakat khususnya petani, hal ini diamanatkan dalam Instruksi Presiden nomor 1 tahun 2018 tentang percepatan penyediaan Embung Kecil dan Bangunan Penampung Air lainnya di Desa, instruksi ini ditujukan kepada 9 Kementerian Negara, Gubernur hingga Bupati/Walikota dengan tujuan agar terpenuhinya kebutuhan air baku pertanian.
Embung dapat juga dikembangkan sebagai sarana kolam retensi untuk pengendalian banjir dalam skala kecil, penulis mengusulkan agar Pemerintah menambah persyaratan pembangunan embung kepada Perusahaan yang menerima HGU Perkebunan sawit.
Misalnya, dalam setiap 10 hektare kebun, harus ada 1 hektare yang digunakan untuk pembangunan embung dengan harapan air hujan yang jatuh di kawasan perkebunan sawit dapat ditampung, sehingga kawasan ini dapat disebut sebagai kawasan zero run-off, hal yang sama dapat diterapkan pada perusahaan tambang.
Selain pengendalian air, kawasan embung juga dapat ditanami pohon yang dapat menjaga air dan tanah agar tidak longsor, misalnya dengan menanam pohon petai, selain dapat menjaga air, pohon ini juga memiliki nilai ekonomis. Embung dapat dijadikan sebagai kawasan konservasi ikan air tawar yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat apalagi bagi yang hobi mancing.
Menghadapi Pilkada Aceh Barat tahun 2024, penulis mengharapkan pengendalian air dapat menjadi diskursus utama pada masa kampanye oleh pasangan calon Bupati/Wakil Bupati.
Satu hal yang pasti, persoalan ini penting diselesaikan agar petani milenial bernama Marzuki tidak berputus asa dan pergi ke ujung dunia agar bisa jadi Avatar pengendali air, apalagi petani yang bernama Agus sudah mulai mau atur-atur Malaikat pembawa hujan, bisa gawat!