Komparatif.ID, Bireuen—Abdul Malik (14) pantas dijuluki Si Bolang Juli. Remaja yang sedang menempuh studi di SMP Negeri 1 Juli, Bireuen, merupakan salah satu anak yang masih sering memancing ikan di sawah dan saluran irigasi.
Abdul Malik, dengan warna kulit kuning langsat, sering berpetualang dengan modal alat pancing seadanya. Si Bolang Juli kerap berhasil membawa pulang ikan rawa ke rumahnya.
Pada Kamis (1/8/2024) Si Bolang Juli, bersama dua temannya memancing di sebuah irigasi di persawahan Gampong Juli Meunasah Jok, Kecamatan Juli, Bireuen.
Kali ini, seeekor clarias gariepinus dengan berat lima kilogram, berhasil dipancing dengan makanan tradisional yang dipasang di mata kail. Lele berukuran besar tersebut, tertipu, mengira makanan yang dipasang di mata kail milik Si Bolang Juli, merupakan kudapan yang disediakan alam.
Baca: 4 Burong Legendaris Dalam Mitologi Aceh
Clarias gariepinus segera menelan umpan yang dipasang Si Bolang Juli. Setelah makanan itu masuk ke kerongkongan, lele tersebut baru sadar bila ia telah tertipu. Ikan hasil persilangan lele Afrika dan Lele Taiwan itu terkejut. Tapi semuanya sudah terlambat.
Ikan yang nenek moyangnya pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1985 tersebut, tak pernah menyangka bila Si Bolang Juli telah menipunya mentah-mentah.
Abdul Malik dan teman-temannya girang luar biasa. Perlawanan clarias gariepinus membuat adrenalin mereka naik. Joran pancing bergerak ke sana kemari, mengikuti irama gerakan perlawanan ikan tersebut.
Tidak lama kemudian, clarias gariepinus tersebut berhasil ditarik ke darat. Dengan riang gembira Abdul Malik membawa pulang lele tersebut ke rumahnya di Gampong Meunasah Teungoh, Juli. Kata ayahnya, ikan tersebut akan dimasak gulai kuah pliek.
Dunia pemancingan ikan alur merupakan salah satu yang digemari oleh pelajar kelas XII SMP Negeri 1 Juli tersebut. Dia bersama teman-temannya sering berpetualang, memancing ikan. Ia sering mendapatkan ikan gabus, ikan lele, dan lain-lain. Ikan-ikan itu dibawa pulang dan dimasak oleh ibunya dengan hati riang gembira.
Lele dumbo pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1985. Dimasukkan oleh importir karena ukurannya yang besar,dan rasanya yang tidak kalah saing dengan lele lokal. Pertama kali, lele dumbo import tersebut berasal dari Taiwan.
Meski telah dikatakan sebagai lele hasil persilangan, namun secara morfologi karakteristik lele dumbo sama seperti karakteristik ikan lele Afrika clarias gariepinus yang berikutnya dimasukkan ke Indonesia, sehingga banyak para praktisi perikanan yang menduga bahwa ikan lele dumbo sebenarnya adalah ikan lele jenis clarias gariepinus. Karena belum adanya penelitian lebih lanjut mengenai karakteristik lele dumbo secara ilmiah, hingga saat ini identitas lele dumbo tidaklah jelas.
Ciri-ciri lele dumbo antara lain memiliki tubuh panjang dan bulat, daging tebal, patil tidak tajam dan tidak beracun, tidak memiliki sisik—seluruh lele tidak bersisik–, terdapat bercak pada tubuh sebagai ciri khas, dengan warna mulai agak putih hingga abu-abu. Lele dumbo juga memiliki sungut.
Lele besar tersebut dikenal sangat mudah beradaptasi dengan lingkungan, karena itu lele dumbo dapat hidup pada sungai dengan aliran air yang tidak deras, rawa, waduk, telaga, sawah yang digenangi air, danau, hingga bendungan. Pada intinya, lele dumbo dapat hidup di semua perairan air tawar.
Selain itu, juga memiliki tingkat toleransi yang cukup tinggi terhadap suhu air yaitu antara 20°C hingga 35°C. Lele dumbo juga mampu bertahan hidup pada lingkungan perairan yang buruk.
Di sisi lain, lele itu juga memiliki arborescent sehingga dapat bertahan hidup pada air dengan kadar oksigen rendah. Arborescent merupakan alat bantu pernapasan tambahan lele dumbo yang memiliki bentuk berlipat-lipat penuh dengan pembuluh darah.
Lele tersebut menggunakan arborescent untuk mengambil oksigen langsung dari udara sehingga ia mampu bertahan hidup cukup lama pada lumpur yang lembab bahkan meski tanpa air sekalipun.
Mengapa diberinama lele dumbo? Berasal dari kata jumbo, karena ukurannya yang besar. Tekstur dagingnya lembek dan mudah hancur. Akan tetapi setelah terjadinya persilangan silang di tingkat lokal, kualitas daging ikan tersebut semakin baik.
Ikan lele tersebut kini mudah ditemukan di mana saja. sebagai ikan invansif, lele tersebut cepat sekali beranak pinak dan aktif di malam hari. Ikan tersebut mudah ditemukan di rawa, saluran irigasi, sawah, dan sungai.
Di Aceh, ikan ini masih kalah pamor dengan ikan lele kampung –seungko gampong–, limbek Nagan, dan lele lokal lainnya.