Menelusuri Sejarah Terminal Bireuen

Terminal Bireuen gang itam
Suasana terminal Bireuen sekitar tahun 1978. Foto: Koleksi Khairil Miswar.

Terminal Bireuen yang berlokasi di Gampong Pulo Ara, Kecamatan Kota Juang, mengakhiri masa tugasnya pada Senin sore, 18 Desember 2023. Terminal baru yang telah dibangun di Gampong Geulumpang Payong, Kecamatan Jeumpa, akhirnya resmi beroperasi setelah sekian lama “luntang-lantung” dalam ketidakpastian.

Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Bireuen Murdani dapat bernafas lega. Tugas besar yang disandingkan ke bahunya telah selesai. Bukan mudah mengalihkan terminal Bireuen ke lokasi baru. Salah satu alasannya karena jejak sejarah yang begitu banyak ditoreh di tempat pemberhentian bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) yang dibangun tahun 1978.

Dengan kebesaran kisahnya di masa lampau, Murdani tidak mau cerita tentang terminal Bireuen yang dibangun di Meunasah Capa dan Pulo Ara menguap begitu saja. dia pun mulai memburu informasi. Menemui sejumlah tokoh Bireuen yang dulu bergelut di terminal.Berbekal term of reference (TOR) dari Komparatif.ID, Murdani mewawancarai para mantan dedengkot terminal.

Baca: Sejarah PO Bus Bireuen Express

Saat ditemui Murdani, Jumat (22/12/2023) Nurdin alias Din Play tidak begitu ingat tahun pasti terminal Bireuen dibangun. Dari sisa-sisa ingatannya tentang tempat itu, dia mengisahkan bila terminal pertama dibangun di Bireuen berlokasi di tepi jalan Banda Aceh-Medan, tepatnya di areal berdirinya Bank Aceh Syariah (BAS) saat ini.

Lokasi tersebut mulai ditimbun pada tahun 1970. Baru difungsikan sekitar tahun 1973-1974.

Sebelum dipusatkan pada satu tempat, bus masuk ke kota untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Lokasi menaikkan dan menurunkan penumpang tersebar di beberapa titik. Utamanya di Jalan Ramai dan Jalan Andalas. Saat itu salah satu pentolan agen bus antar kota antar provinsi yaitu Asyek. Pria berkulit hitam itu memegang Bus Liberty, sebuah PO bus legendaris yang dimiliki oleh pengusaha otobus Kancam Tarigan dari Tanah Karo, Sumatra Utara.

Terminal Bireuen
PO Djeumpa merupakan perusahaan otobus asal Bireuen. Foto: Koleksi Adi Pelangi.

Meskipun terminal telah dibangun, bukan berarti para agen meja bersedia pindah. Mereka kadung nyaman dengan tempat mangkal di tengah kota. Segala bujuk rayu tak berbuah hasil. Akhirnya Bupati ke XII Aceh Utara Abdullah Yakob turun tangan. Mantan prajurit TNI itu pulang ke Bireuen. Secara khusus dia menemui Asyek yang punya power besar karena memegang PO bus terbesar kala itu yang melintasi Bireuen.

Baca: Bireuen Express Dalam Kenangan Penumpang

Bus Liberty yang keagenan tiketnya dipegang oleh Asyek Yusuf merupakan bus dengan armada terbanyak. Jadwal keberangkatannya pasti, dan seluruh barang-barang niaga yang membutuhkan angkutan cepat, selalu diangkut dengan Liberty.

Din Play menyebutkan, demi menaklukkan Asyek, Abdullah Yakob menjanjikan, bila ia bersedia pindah, maka kepala terminal akan diberikan kepadanya. Mendapatkan tawaran menarik, Asyek tersenyum. Ia bersedia pindah.

Di terminal dipasang pelantang suara. Sebagai kepala terminal, Asyek mencoba menghadirkan suasana bandara. Setiap hari dia akan berseru ladies and gentlemen. Dia juga menerangkan melalui pelantang suara tentang apa saja yang ada di dalam terminal. “Ada warung nasi, telur ayam, buah-buahan, dan lain-lain!” seru Asyek.

Dalam perkembangannya, menurut Muhammad Amin alias Keuchik Min yang pernah menjadi harland Bireuen Express, terminal yang berlokasi di Gampong Meunasah Capa, tidak lagi dapat menampung bus-bus yang datang dan pergi setiap saat.

Abdullah Yakob kembali menggunakan kewenangannya sebagai Bupati Aceh Utara. Dia membangun terminal baru (terminal dalam) untuk bus-bus besar AKAP. Lokasi terminal dalam di Gampong Pulo Ara. Sawah dan tempat pembuangan tengkorak lembu disulap menjadi terminal representatif. Lokasi terminal tersebut saat ini berada di belakang bangunan Kantor PT Telkom. Menurut cerita Din Play, lokasi pembangunan terminal dalam merupakan tanah milik Ampon Chiek Peusangan, seorang pemimpin Nanggroe Peusangan yang legendaris di masanya.

Tahun 1981 terminal dalam –juga dikenal dengan sebutan terminal baru—mulai dioperasikan. Bus-bus besar dialihkan ke sana. sedangkan Bus medium seperti Bireuen Express (BE), Fajar Harapan maju (Faham), Salam Transport, Djeumpa, dan bus-bus medium lainnya, tetap mangkal di terminal lama.

Armada bus besar seperti Liberty, Tramindo, ATRA, HSS, Antar Lintas Sumatra (ALS), Aceh Tengah, ARS, BAT, Kurnia, PMTOH, dan Melati, dipindahkan ke terminal baru.

Sofyan alias Yan PT, mantan karyawan Bechtel Cooperation, memiliki kisah khusus tentang terminal kecil dan terminal dalam. Pada bulan Juni 1979 dia diangkat sebagai Kepala Terminal Bireuen.

Tatkala Murdani menemuinya, Jumat sore (22/12/2023) Yan PT berkisah, terminal dalam diresmikan pada tahun 1981. Dia merupakan kepala terminal pertama di sana yang diangkat melalui SK Bupati Aceh Utara. Yan PT memimpin dunia terminal dari tahun 1981 hingga 1987.

“Saya ditunjuk oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Aceh Utara. Nama beliau Amirullah. Pengangkatan melalui SK Bupati Aceh Utara. Tahun 1982, melalui pemutihan, saya diangkat sebagai Pegawai Negeri [Sipil] Kabupaten Aceh Utara. Jadi, saya duluan menjadi kepala terminal, baru kemudian diangkat menjadi Pegawai Negeri,” kenang Yan PT. Selain dirinya, Zainuddin Daud, Mus Sulaiman, dan Syukri ikut diangkat sebagai PNS.

Sofyan menyebut nama sosok legendaris terminal Bireuen; Asyek Yusuf.Orang-orang memanggilnya dengan sebutan Bang Asyek. Sosok yang disegani kala itu. orang pertama yang diminta menjadi kepala terminal oleh Bupati Aceh Utara yaitu Bang Asyek. Permintaan itu melalui surat yang dikirimkan oleh Dispenda kepada Kantor Pembantu Bupati di Bireuen. Surat tersebut sampai ke tangan Asyek. Akan tetapi pria itu menolak.

Karena Bang Asyek menolak, para tetua di terminal harus berembuk. Mereka menggelar rapat. Hasil rapat; tidak satupun di antara mereka yang bersedia menjadi Kepala Terminal Bireuen.

Karena tak ada yang bersedia, mereka kemudian sepakat memberikan jabatan tersebut kepada Sofyan, yang baru beberapa bulan habis kontrak di Bechtel.

“Waktu itu, saya sudah dua bulan menganggur. Para tetua terminal menyepakati saya sebagai kepala terminal. Atas rekomendasi mereka saya menghadap Om Amirullah,” kenangnya.

Yan PT menerangkan Bang Asyek tidak pernah menjadi kepala terminal. Akan tetapi karena nama besarnya, ia menjadi tokoh terminal. Karena ketokohan itu, dia kemudian diangkat sebagai Lurah Kota Bireuen.

Terminal Bireuen kala itu benar-benar sangat ramai. Bus-bus yang mengangkut karyawan PT Arun ikut meramaikan khazanah perterminalan yang penuh emisi gas buang. Bus-bus besar dan medium menyemburkan karbon dioksida melalui knalpotnya yang bergetar saat mesin dihidupkan.

“Di sanalah Pak Asyek sering mengucapkan ladies and gentlemen. Ia berusaha menghadirkan suasana airport di terminal kita,” katanya.

Ada selentingan kabar bila terminal Bireuen merupakan terminal pertama di Aceh. Tapi menurut Yan PT informasi itu keliru. Karena semua daerah kala itu telah memiliki terminal. Tapi bila disebut terminal Bireuen sebagai yang termaju, dia sepakat.

Terminal Bireuen Primadona Pelintas Darat

Keuchik Min menyebutkan Bang Asyek merupakan kepala terminal. Karismanya sebagai seorang tokoh sangat dibutuhkan saat itu untuk mengajak semua agen untuk pindah ke terminal yang sudah selesai dibangun.

Memang dia ditunjuk secara lisan sebagai ketua terminal luar, dan diakui secara de facto. “beliau ditunjuk secara lisan. Tenaga dan pikirannya dibutuhkan untuk memimpin terminal [luar]. Memang tidak ada SK, tapi diakui secara de facto,” sebut Keuchik Min.

Zainudddin Daud (Keuchik Din) yang menjadi kepala terminal pada 1987, menggantikan Sofyan PT, menyebutkan ada satu sosok menarik di terminal kala itu. Namanya Hasan Basri, dan istrinya sering disapa Kak Mah. Suami istri tersebut berniaga salak, dan mereka tinggal di terminal. Hasan Basri juga agen pertama buah salak di Bireuen.

Keuchik Din mengisahkan terminal Bireuen di masa itu merupakan primadona para pelintas. Fasilitasnya lengkap, lokasinya juga representatif. Makanan yang dijual juga mengundang selera ingin singgah kembali.

Keterangan Keuchik Din diperkuat oleh Syibral Malasyi. Dalam perbincangan informal dengan Komparatif.ID, Jumat (29/12/2023) pria asal Jeunib tersebut mengatakan, di era 90-an terminal Bireuen merupakan tempat mangkal paling asyik. Anak muda kota dan desa-desa pinggiran kota, berkumpul di terminal pada malam hari. Dengan busana casual yang sedang in di sama itu, mereka hilir mudik menikmati keriuhan terminal.

Catatan redaksi: Reportase ini dilarang dikutip sebagian atau seluruhnya untuk untuk kepentingan komersil pada semua platform media sebelum 27 Februari 2024.

Artikel SebelumnyaPenanganan Pengungsi Rohingya Jangan Dibebankan Pada Masyarakat
Artikel SelanjutnyaSKK Migas Targetkan Produksi Gas Jumbo di Lepas Pantai Aceh Mulai 2028
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here