Tan Tjeng Bok, Muda Foya-foya, Tua Menderita

tan tjeng bok
Studioportret van zanger en acteur Tan Tjeng Bok met gitaar op Java, KITLV 182527.

Siapa tak kenal Tan Tjeng Bok di masa mudanya. Dia adalah aktor ternama yang hidup gramour. Bajunya saja tidak dia beli di Jakarta. Tapi dijahit khusus di Singapura. Pendapatannya dalam satu malam bisa mencapai 250 gulden pada era 1940-an. Bayangkan, saat itu dia bisa mendapatkan bayaran hingga hampir 2,2 juta rupiah dalam semalam.

Tan Tjeng Bok, merupakan aktor Indonesia yang lahir pada 30 April 1899 di Hindia Belanda dan meninggal dunia 15 Februari 1985. Masa aktifnya sebagai penghibur sepanjang 1940-1970an.

Di masa jayanya, Tan Tjeng Bok, merupakan pria parlente yang mampu hidup seperti juragan-juragan Belanda di Tanah Air. Dia bisa gonta-ganti pasangan kapan saja dia mau. Bukan hanya perempuan Tionghoa dan pribumi yang ia dekati, tapi juga noni-noni Belanda pun dapat ia taklukkan.

Baca: Fifi Young, Artis Nan Rupawan Indonesia yang Berasal dari Aceh

Kepada Majalah Film nomor 047/15, edisi 16 sampai 29 April 1988, Tan Tjeng Bok mengatakan selama hidupnya dia telah menikah lebih 100 kali.

Dia tidak menikah lama-lama. Begitu bosan, langsung ia ceraikan. Setiap perempuan yang ia nikahi, selalu dibelikan rumah.

Karena sosoknya yang terkenal, serta hidup glamor dan tidak pelit, pria yang disapa Pak Item  itu dikenal sebagai Buaya Keroncong pada zaman kompeni. Dia dikenal juga sebagai Buaya Perempuan.

Dia juga gemar gonta-ganti mobil, yang membuat perempuan meleleh sembari berdiri. Zaman itu bukan sembarang orang mampu membeli mobil. Semua mobil dijual cash, dan limited.

Pak Item merupakan putra dari Tan Soen Tjiang yang menikah dengan perempuan Betawi. Pernikahan itu tidak direstui oleh keluarga ayahnya. Sang ayah kemudian menikah lagi dengan perempuan Tionghoa. Itulah mengapa, dia menjadi satu-satunya anak Tan Soen Tjiang yang berkulit hitam. Delapan saudara-saudaranya mengikuti warna kulit Tionghoa yang umum di Hindia Belanda.

Tidak mudah bagi Than Tjeng Bok meniti kehidupan. Sejak umur 12 tahun dirinya sudah bekerja sebagai biduan di Bandung. Dia tertarik pada alunan musik keroncong.

Karena kecintaannya kepada musik Keroncong, ia bergabung dengan orkes Hoetfischer pimpinan Gobang, mereka berkeliling Jawa. Selama berkeliling itu, ia tetap membawa lagu keroncong Mauritsco, namanya mulai tenar.

Tiba di Bangil, ia kemudian bergabung dengan opera Dardanella pimpinan Piedro atau Pyotr Litmonov, seorang keturunan Rusia.

Ia dan orkes tempat bekerja, terus berkelana memberikan hiburan dari kota ke kota. Nama Tan Tjeng Bok semakin berkibar. Dibicarakan di mana-mana.

Tahun 1940 Dardanella tutup layar. Tjeng Bok tak hendak surut. Ia ikut dengan kelompok sandiwara lainnya yaitu Orpheus pimpinan Manoch. Kemudian juga Star pimpinan Afiat. Tapi tak satupun grup-grup itu berhasil mengulang suksesnya seperti Dardanella.

Di dunia sandiwara keliling, sepanjang 1920-1940an ia mencapai kejayaan. Penggemarnya di mana-mana. Sebagai penyanyi keroncong dan pemain sandiwara, dia menjadi pusat perhatian. Ia seperti magnet. Bila namanya tertera dalam pertunjukan, maka penonton akan menggunung. Apalagi perempuan, mereka rela berdesak-desakan demi mendapatkan tiket menonton sang pujaan hati.

Karena masyurnya ia kala itu, hingga digelari Douglas Fairbanks van Java. Douglas merupakan bintang Hollywood paling terkenal zaman itu.

Menjelang Kekaisaran Jepang masuk ke Hindia Belanda, di Batavia berdiri perusahaan Java Industri Film (JIF) milik The Theng Tjoen. Bersama JIF inilah Si Item masuk babak baru dunia perfilman.

Sejumlah film yang pernah ia perankan seperti Melarat Tapi Sehat dan Si Bongkok dari Borobudur.

Ia juga bermain dengan aktris Sofia WD, Si Gomar, Singa Laoet, Srigala Item, dan Tengkorak Hidoep. Dalam filmnya kebanyakan ia berpasangan dengan aktris Hadidjah. Namanya sejajar dengan aktris top pada zaman itu, seperti antara lain Fifi Young, Aminah Cendrakasih, Marlia Hadi, dan Moh Mochtar.

Tan Tjeng Bok, pertama kali menikah tahun 1917. Istrinya yang terakhir adalah Sarmini.

Hidup kaya raya di masa muda, foya-foya sesuka hati, bergaya dan bergaul seolah takkan ada akhirnya, ia pun akhirnya harus menerima fakta. Bahwa di usia tuanya Tan Tjeng Bok harus hidup melarat.

Pada tahun 1979, ia jatuh melarat. Pada tahun 1980 ia terserang menderita penyakit liver. Ketika dirawat di rumah sakit, surat kabar Sinar Harapan membuka program donasi Dompet Tan Tjeng Bok dan berhasil menghimpun dana lebih dari dua puluh juta rupiah.

Sumber: Majalah Film; Harian Sinar Harapan; Tan Tjeng Bok, seniman tiga jaman, 1898-1985; encyclopedia.jakarta-tourism.go.id; Majalah Intisari.

Artikel SebelumnyaDayung Dimulai Besok, Safrizal Tinjau Venue Waduk Keliling
Artikel SelanjutnyaPON 2024: Sulteng Tahan Imbang Papua Barat 1-1
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here