“Di mata Towel, STY tidak ada arti apa-apa. Sikap Towel ikut berkontribusi lahirnya sikap tak menghargai para pesepakbola era lampau seperti Bambang Pamungkas, Boaz Solossa.”
Apabila ada waktu lapang, silahkan menonton potongan pertandingan Timnas Indonesia sebelum era STY di aplikasi Tiktok, lalu perhatikan caption dan komentar yang diberikan netizen kepada timna era tersebut, “Long ball, sprint, tidak ada build up, dulu ketika menonton kok tampak keren ya,” begitu saja seterusnya. Padahal, yang dikomentari itu adalah timnas eranya Boaz Salosa, Bambang Pamungkas, Elie Eboy, Firman Utina dan yang sepantaran waktu dengan itu.
Baca: Kalah 3-2 Persiraja Gagal Promosi ke Liga 1
Tentu saja, kita bisa menyanggah bahwa netizen bisa berkomentar apa saja tanpa memiliki prasyarat teknis. Lha, lagi pula, aturan mana yang mewajibkan memberikan komentar tentang sepak bola harus memiliki kelengkapan syarat teknis demikian. Arus suara para netizen terhadap timnas masa lampau ditenggarai oleh satu hal: populisme STY.
STY telah mengapungkan mimpi yang hampir mustahil diwujudkan, yaitu timnas bermain dengan apik dan membanggakan. Di tangan STY, harapan itu wujud. Eforia pun menggelegak. STY tidak tersentuh. Dia mendapatkan dukungan melebihi pelatih tim nasional negara mana pun dalam sejarah sepak bola modern.
Kegilaan publik Indonesia terhadap tim nasionalnya kemudian diganggu oleh pernyataan yang tidak populer oleh Tommy Welly, atau yang kerap disapa Bung Towel.
Towel tiba-tiba berdiri bak batu karang di tengah gelombang besar pecinta STY. Baginya, STY hampir “nothing.” STY adalah ketiadaan, bukan keniscayaan, bagi sepak bola Indonesia, khususnya timnas.
Towel menolak segala tesis tentang keberhasilan STY, betapa pun hal tersebut berlangsung di depan matanya. Kejadian itu terjadi ketika dia, bersama dua publik figur: Mamat Al Katiri dan Coach Riphan mengadakan siaran langsung pertandingan Vietnam vs Indonesia di Hanoi. Pertandingan yang berkesudahan dengan kemenangan telak Indonesia itu.
Dalam potongan video nonton bareng itu, Towel dengan sikap penuh percaya diri tidak merayakan gol-gol yang diciptakan oleh Bang Jayadi, Ragnar, dan Sananta. Towel bergeming di kursinya. Kemudian, ada satu kejadian epik hadir dalam situasi itu, ketika Coach Riphan bertanya kepada Mamat tentang stamina prima yang dimiliki pemain timnas sampai di ujung pertandingan.
“Ya, karena pemainnyalah, “jawab Mamat. Lalu, tanpa menunggu lama, Towel menyergah, menurutnya hal tersebut terjadi karena jasa klub para pemain. Tanpa menunggu lama Mamat menyambar, “Ah, kayak kita tidak pernah menonton Liga 1 saja! Bung Towel, Bung Towel.”
Pertanyaan yang mungkin perlu diajukan, kalau memang dirasa perlu, mengapa Towel mengambil jalan berliku itu di tengah euforia dan prestasi timnas di era STY ini? Mengapa Towel tidak memberi ruang yang adil kepada STY bahwa apa yang telah dilakukannya itu memberi manfaat besar bagi sepak bola Indonesia?
Towel tentu saja memiliki segudang jawaban. Dia bisa memberikan evaluasi sampai puluhan, bahkan ratusan halaman, terhadap performa Shin Tae-yong selama melatih timnas. Kalau hal itu dilakukannya, sekali lagi, merupakan hak Towel selaku salah insan sepak bola tanah air. Akan tetapi, sikap Towel itu telah menimbulkan efek seperti yang telah terjadi pada awal tulisan ini: timnas era sebelumnya dicincang tanpa rasa hormat oleh netizen. Tidak ada lagi romantisme terhadap aksi bocah lincah yang bermana Boaz di Piala AFF 2004, tak terdengar lagi lompatan menakjubkan dari Bambang Pamungkas, atau hilangnya karisma Kurniawan dalam sejarah sepak bola Indonesia. Hal yang ditenggarai terjadi karena dipicu oleh sikap oposannya terhadap STY.
Apakah tanggung jawab ini harus dipikul sepenuhnya oleh Towel? Tentu saja tidak. Akan tetapi, bahwa sikap Towel terhadap Shin Tae-yong memberi pengaruh munculnya sikap skeptis dan meremehkan timnas dari masa lalu, harus diakui, yang bersangkutan memberi kontribusi.
Walau demikian, semua orang memiliki pilihan dalam menyaksikan bagaimana timnas era Shin Tae-yong berjalan. Apakah yang diimpikan oleh publik sepak bola Indonesia akan terwujud di masanya, atau, kita kembali mengutuk sedalam-dalamnya nasib sepak bola Indonesia, seperti yang sudah kita lakukan sejak abad lalu.