Oleh: Rozal Nawafil*
Pembelajaran atau kajian ilmiah terkait satu suku bangsa lokal (area studies) bukanlah hal baru di negeri ini. Beberapa lembaga pendidikan termasuk pendidikan tinggi di Indonesia telah melangsungkan studi atau pembelajaran tentang suku bangsa tertentu di dalam negeri misalnya Jawa, Melayu, Sunda, Bali, Batak dan Minangkabau.
Studi tersebut ada yang khusus tentang bahasa atau sastra seperti studi bahasa Jawa atau studi sastra Jawa. Namun ada juga yang mempelajari secara luas tentang satu suku bangsa daerah seperti studi Ilmu Jawa dan sebagainya.
Studi-studi tersebut bahkan tidak hanya diajarkan di dalam negeri bahkan juga di luar negeri. Begitupun studi tentang suku bangsa regional atau wilayah di luar negeri juga banyak yang dijadikan satu program studi dalam universitas di berbagai belahan dunia seperti Malay Studies, American Studies, Japanology, Egyptology dan lain-lain.
Pendidikan dan penelitian area lokal tersebut telah menghasilkan berbagai temuan dan gagasan yang cukup berpengaruh dan bermanfaat dalam proses kehidupan umat manusia, bahkan berhasil mengangkat hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui terkait area lokal yang dipelajarinya.
Kajian suku bangsa lokal ini sejatinya merupakan cerminan kekuasaan Allah melalui firmannya dalam Alquran Surah Al-Hujurat ayat 13 : “Hai Manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan; dan Kami telah menjadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, supaya kamu dapat saling mengenal (li ta’arafu),”. Dari ayat ini dapat kita pahami bahwa Allah menciptakan manusia terdiri dari berbagai suku bangsa agar mereka dapat mengenal satu sama lain. Tentunya ibarat pepatah Melayu “Tak kenal maka ta’aruf (Kenalan)” eh “Tak kenal maka tak sayang”, maka salah satu fungsi mengenal adalah untuk menyayangi satu sama lain sekaligus menciptakan perdamaian di muka bumi.
Hakikat pengenalan ialah sebelum mengenal orang lain terlebih dahulu harus mengenal diri sendiri. Imam Yahya bin Muadz Ar-Razi pernah berkata “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu” (Sesiapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya). Di sinilah letak pentingnya mengenal diri sebagai salah satu jalan untuk mengenal Allah (ath-thariq illa ma’rifatillah). Ma’rifatullah inilah yang menjadi punca kenikmatan. Orang yang mengenal Allah (‘arifbillah) akan menjadi sosok yang memiliki akhlak mulia.
Mengetahui dan mengenal suku bangsa termasuk cara mengenal diri sendiri. Belajar tentang diri melalui pembelajaran area studies salah satunya akan menjadikan pembelajarnya sebagai insan yang berakhlak mulia dan berkarakter.
Aceh yang masyhur dikenal sebagai Serambi Makkah konon bagi masyarakatnya merupakan bangsa teulebeh ateuh rung donya. Studi Ilmu Aceh (Aceh Studies) adalah bidang studi interdisipliner yang termasuk turunan ilmu sosial humaniora yang mempelajari dan meneliti tentang sejarah, masyarakat, seni, budaya, bahasa, sastra, politik, pemerintahan, ekonomi, hubungan internasional, geografis, strategis dan disiplin lainnya terkait Aceh.
Studi Aceh berarti mempelajari Aceh bukan hanya terkait Suku Aceh atau suatu wilayah tertentu di Aceh (dengan batas hukum provinsi seperti saat ini) tetapi terkait seluruh Aceh secara luas dan hal-hal lain berkaitan dengan Aceh. Seterusnya juga tidak hanya tentang konsep atau masa (tarikh) tertentu tetapi bisa berlangsung selamanya. Sebelum itu, tentunya harus terlebih dahulu disepakati terkait konsep Aceh itu sendiri. Hal inilah yang perlu digali lebih dalam, lebih luas dan lebih lengkap bukan pengacehan semata.
Studi tentang Aceh pun sebenarnya bukan tidak pernah dibuat dan dikaji sebelumnya. Di masa penjajahan Belanda, Pemerintah Belanda pernah mendirikan Atjeh Institute pada 31 Juli 1914 yang sayangnya bukan berada di Aceh tetapi berada di Belanda. Lembaga yang diprakarsai oleh Prof. Christiaan Snouck Hurgronje ini mengkaji, meneliti dan mendalami secara khusus budaya, bahasa, identitas, sifat, karakter, format dan struktur wangsa Aceh.
Ratusan buku dan karya ilmiah tentang Aceh lahir dari lembaga ini. Banyak catatan sejarah tentang Aceh yang tersebar saat ini juga bersumber dari penelitian lembaga ini. Hal inilah yang menyebabkan manuskrip, literatur dan peninggalan sejarah terkait Aceh lebih banyak berada di Belanda daripada di Aceh.
Begitupun beberapa tokoh, cendekiawan, ilmuwan dan akademisi lainnya baik ureung Aceh (Acehnese) maupun bukan Aceh sudah banyak yang mencoba meneliti, merangkum dan merumuskan tentang Studi Aceh namun hal ini masih sangat perlu dikembangkan, dilengkapi dan ditingkatkan secara lebih jauh, lebih dalam dan lebih mendetail. Apalagi diskursus tentang hal ini cenderung tenggelam atau kurang intens dilakukan.
Pembelajaran tentang Aceh secara komprehensif melalui satu pendekatan tertentu sampai saat ini rasanya belum pernah dijadikan satu objek ilmu pengetahuan atau kesatuan kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang memiliki kurikulum dan metode pembelajaran tersendiri dalam lembaga pendidikan atau perguruan tinggi di Aceh. Padahal Aceh memiliki peradaban yang megah, unik dan kompleks sehingga patut dikaji secara ilmiah dan komprehensif sebagai suatu studi tersendiri.
Paradoks lainnya generasi Aceh saat ini sangat minim pengetahuan dan wawasan tentang Aceh. Bahkan, sendi-sendi kehidupan masyarakat dan pemerintahan Aceh dewasa ini sedikit melenceng dari konsep dan nilai-nilai keacehan. Begitupun kebanggaan akan sejarah tamadun, budaya, bahasa dan tatanan masyarakat Aceh sudah mulai luntur dan tergerus oleh perkembangan zaman. Padahal sebelumnya Aceh dikenal dengan superiority complex rakyatnya yang kental akan Islam dan acehnisme sehingga semangat (ghirah) keistimewaan dan perjuangan rakyat Aceh yang hebat dan heroik, untuk hidup mulia dan mandiri tercatat dengan tinta emas dalam sejarah donya. Karenanya jika menyebut Aceh maka yang pertama tergambar dibenak kita adalah Islam dan kepahlawanan (heroism).
Usaha dan upaya untuk membuka program studi Aceh (Aceh Studies), peradaban Aceh (Aceh Civilization) atau Acehnologi (ilmu seluk beluk Aceh) yang berkembang hingga saat ini nampaknya belum berhasil menjadikan pembelajaran tentang Aceh sebagai satu program studi di perguruan tinggi yang ada di Indonesia khususnya Aceh.
Meskipun di beberapa lembaga ada yang menjadikan Aceh melalui pendekatan tertentu sebagai subjek, objek atau fokus suatu mata kuliah, namun hal tersebut tentunya belum cukup untuk menciptakan SDM yang memiliki kompetensi interdisipliner seperti ilmu bahasa, sastra, adat, budaya, agama, sejarah, politik, pemerintahan, hukum, administrasi publik, nilai-nilai, tatanan, manusia, kepurbakalaan, perempuan dan hal-hal lain terkait Aceh.
Untuk melahirkan Aceh Studies di perguruan tinggi, diperlukan beberapa hal seperti kurikulum program studi yang disusun berdasarkan kompetensi lulusan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi dan ketentuan peraturan perundang-undangan dll.
Tentunya untuk menghadirkan dan mewujudkan hal tersebut dibutuhkan dukungan, komitmen dan usaha dari berbagai pihak khususnya dari masyarakat dan pemerintah Aceh. Jangan sampai warisan indatu, sejarah dan identitas Aceh terus dikaburkan, dilemahkan, diselewengkan bahkan dihilangkan terutama pada masyarakat Aceh sendiri. Oleh karena itu, mari kita yang meutaloe waréh untuk gaseh meugaseh dan bila meubila menjaga hal ini.
*)Penulis adalah Praja Utama (Mahasiswa Tingkat IV) Prodi Manajemen SDM Sektor Publik Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) asal Blangpidie, Aceh Barat Daya.