Politik Nina Bobo ala Aceh

Politik Nina Bobo ala Aceh
Politik nina bobo ala Aceh. Ilustrasi: Dok Penulis.

Menjelang Pilkada Aceh 2024, setelah saya menyaksikan beberapa debat calon kepala daerah di Aceh, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, dan mendengar berbagai program kerja yang disampaikan, baik melalui debat maupun berbagai program kerja yang digembar-gemborkan melalui media sosial, sulit menghindari kesan bahwa yang kita saksikan ini hanyalah “Politik Nina Bobo.” 

Layaknya lagu pengantar tidur yang lembut, program-program politik ini seolah diciptakan untuk membuai rakyat, membawa mereka pada mimpi yang terlihat indah namun kosong. Janji-janji ambisius, mulai dari proyek spektakuler hingga rencana besar yang tampak “mencapai langit”, sering kali hanyalah janji yang membuai tanpa kenyataan. 

Kenapa demikian? Karena, setelah terpilih, para oknum calon pemimpin ini diduga kuat akan kerap kali terjebak dalam praktik KKN. Proyek-proyek jatuh ke tangan kroni, fee proyek dipungut, dan janji pelayanan publik yang bersih seakan terlupakan. 

Apa artinya program yang baik jika pada akhirnya diwarnai praktik korup? Bahkan tanpa program kerja tambahan sekalipun, jika politik bebas KKN, Aceh sudah bisa memetik hasil positif hanya dengan menjalankan program-program pusat secara bersih.

Inilah yang saya sebut sebagai “Politik Nina Bobo.” Dalam budaya kita, “Nina Bobo” adalah lagu pengantar tidur yang biasa dinyanyikan untuk menidurkan anak-anak. Lagu ini memberi sugesti agar anak tertidur lelap. 

Dalam konteks politik, “Nina Bobo” menggambarkan gaya politisi yang mencoba menghipnotis masyarakat dengan janji-janji besar, membuat mereka “tertidur” dalam harapan dan janji-janji palsu. 

Namun, setelah terpilih, mereka diduga kuat justru kembali pada praktik lama: bagi-bagi proyek dan pengambilan fee yang mencapai 10 hingga 25 persen per proyek.

Di tengah keraguan ini, muncul istilah “Mazhab Hanafee,” namun bukan dalam pengertian tradisional Mazhab Hanafi dalam Islam yang menekankan rasionalitas. Istilah ini diperkenalkan oleh mantan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, sebagai slogan “Hana Cok Fee” atau “tidak ada fee proyek”. 

Slogan ini diharapkan menjadi angin segar di tengah budaya politik yang sarat dengan suap dan transaksi gelap, memberikan rakyat harapan pada pemerintahan yang bersih. Seharusnya, “Mazhab Hanafee” mencerminkan birokrasi yang efektif, jujur, dan transparan tanpa fee proyek dan tanpa kepentingan tersembunyi. 

Namun, kenyataannya idealisme ini sering kali memudar, berubah menjadi sekadar jargon politik tanpa implementasi nyata.

Lebih dari sekadar merugikan negara, fee proyek atau imbalan yang diterima pejabat, tim sukses, atau kontraktor adalah dosa besar dalam pandangan syariat. Dalam birokrasi Aceh, slogan “Hana Cok Fee” seharusnya membawa perubahan. 

Baca juga: Warisan Boh Giri: Kisah Kehangatan dan Kebijaksanaan Negeri Peusangan

Namun, kenyataannya, slogan ini lebih menyerupai parodi yang memperlihatkan kemunafikan mereka yang menggunakannya. Bayangkan, “Mazhab Hanafee” yang awalnya berarti “tanpa fee” justru menjadi bahan candaan mereka yang bertransaksi setiap hari dalam praktik ini. 

Seperti seseorang yang berteriak “anti-rokok” namun mengisap cerutu Havana, mereka yang mendeklarasikan “Mazhab Hanafee” justru menertawakan diri mereka sendiri.

Praktik fee proyek ini bagaikan iblis yang bersembunyi di balik meja kerja pejabat, menjadikannya “mazhab” baru yang diikuti tanpa rasa malu meskipun semua tahu bahwa praktik ini adalah dosa besar. Rasulullah SAW bersabda dalam hadis riwayat Imam Ahmad:

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا

“Rasulullah melaknat yang memberi suap,  yang menerima suap, dan perantara diantara keduanya.” 

Hadits ini dengan tegas menyatakan bahwa siapa pun yang terlibat dalam praktik suap, baik pemberi maupun penerima, akan mendapatkan kutukan. Dalam konteks fee proyek, pejabat yang memberikan proyek dengan syarat fee, serta kontraktor yang menyetujuinya, sama-sama terjerat dalam dosa terkutuk. 

Bahkan siapa pun yang menjadi perantara dalam proses ini, seperti makelar proyek, juga terlibat dalam lingkaran dosa ini. Jika ada sidang di hari akhir, orang-orang ini mungkin akan saling tunjuk, berdebat tentang siapa yang lebih berdosa, namun sayangnya di sana tidak ada komisi pengurang dosa. Semua terjebak dalam lingkaran setan ini tanpa jalan keluar.

Praktik seperti ini sudah menjadi rahasia umum di Aceh. Jika Anda duduk di warung kopi, tidak jarang terdengar bisik-bisik tentang “fee proyek.” Ini sudah menjadi obrolan sehari-hari, bagai bau yang tercium meski tidak terlihat bentuknya. 

Semua orang tahu praktik ini ada, namun bukti konkret kerap sulit ditemukan karena jaringan yang terlibat begitu rapi menutupi jejak. Maka, tidak mengherankan jika rakyat Aceh meragukan kesungguhan janji politik, apalagi jika janji itu terdengar “seindah mimpi.” 

Oleh karena itu, dalam Pilkada kali ini, saya menantang para calon kepala daerah dan wakilnya. Beranikah mereka bersumpah di hadapan para ulama pendukung mereka dan menyatakan dengan tegas: “Jika terpilih, saya, keluarga, dan tim sukses saya tidak akan mengambil fee proyek, tidak akan terlibat dalam tender proyek, dan tidak akan main proyek”? 

Bayangkan dampaknya jika sumpah ini bukan hanya kata-kata. Aceh bisa memulai lembaran baru yang bebas dari “Politik Nina Bobo,” di mana janji politik bukan lagi sekadar pengantar tidur, melainkan komitmen nyata yang menyentuh kehidupan rakyat. 

Bahkan tanpa program-program ambisius sekalipun, Aceh bisa berkembang hanya dengan memanfaatkan program-program pusat. Dan dengan tambahan program daerah yang dijalankan tanpa KKN, kesejahteraan rakyat Aceh hanya tinggal menunggu waktu. 

Tambahkan pula jika ulama pendukung di setiap kubu berani bersumpah atau menjamin integritas mereka. Jika para ulama yang mendukung ikut berdiri dan memberikan jaminan bahwa kandidat yang mereka pilih benar-benar akan menghentikan praktik korupsi proyek, ini akan menjadi langkah yang sangat berarti.

Peran ulama dalam hal ini sangatlah penting, sebab dukungan ulama bagi calon pemimpin bukan hanya sekadar restu, tetapi juga merupakan bentuk garansi bagi masyarakat. Sudah semestinya ulama tidak hanya menggaransi bahwa calon yang mereka dukung adalah orang yang “baik,” tetapi juga memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa pemimpin tersebut akan menjalankan pemerintahan tanpa ada praktik fee proyek. 

Dukungan dari ulama harus disertai dengan keberanian untuk menggaransi bahwa korupsi proyek tidak akan terjadi, menjadikan suara mereka bukan sekadar simbol, tetapi pegangan nyata bagi rakyat.

Bayangkan dampaknya jika sumpah ini benar-benar mereka laksanakan. Aceh bisa memulai babak baru yang bebas dari “Politik Nina Bobo,” di mana janji politik bukan lagi sekadar pengantar tidur, melainkan janji nyata yang memberi kontribusi langsung bagi kemakmuran rakyat. 

Jika ini terwujud, tanpa perlu program kerja “setinggi langit” pun, masyarakat Aceh akan makmur dengan memanfaatkan program-program yang telah ada dari pusat. Dan jika ditambah dengan program pembangunan daerah yang benar-benar dijalankan tanpa KKN, maka kemakmuran Aceh hanya tinggal menunggu waktu. 

Kuncinya sederhana namun sulit: hentikan praktik fee proyek, hentikan korupsi, dan jadikan pemerintahan yang benar-benar mengabdi pada rakyat, bukan oligarki.

Namun, berbicara tentang politik tanpa KKN di Aceh, apalagi terkait pembuktian, terkadang terasa seperti berbicara “kentut di ruang tertutup”, semua tahu baunya, tetapi sulit untuk menunjuk siapa pelakunya. 

Jika kita ingin politik tanpa KKN menjadi kenyataan, sudah saatnya kita semua berhenti menutup hidung, membuka jendela, dan mencari tahu sumber bau tersebut. Seperti pepatah yang mengatakan, “Jangan hanya terpaku pada janji, tetapi lihatlah tindakannya.” 

Rakyat Aceh sudah cukup lama ditidurkan dengan janji-janji. Kini saatnya mereka terjaga, sadar, dan meminta pertanggungjawaban nyata.

Artikel SebelumnyaDukung Bustami, Abiya Anwar: Keliru Pisahkan Politik Dengan Agama
Artikel SelanjutnyaAceh Tak Pernah Lupa Jasa AS Setelah Tsunami
Edy Saputra
Dosen Studi Islam STAIN Tengku Dirundeng Meulaboh. Mahasiswa Doktoral Studi Islam UIN Mahmud Yunus Batusangkar

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here