Komparatif.ID, Banda Aceh—Pekan Kebudayaan Aceh pertama (PKA 1) lahir dari evaluasi di tengah gejolak perlawanan DI/TII Aceh yang dipimpin oleh Daud Bereueh. Aceh Culture Week memiliki semangat mewujudkan keamanan dan melakukan penggalian [kembali] nilai-nilai budaya Aceh.
Septian Fatianda dan teman-temannya dalam Indonesia Journal of Islamic History and Culture, menulis sebuah artikel berjudul Pekan Kebudayaan Aceh Dalam Perspektif Historis. Di dalam artikel tersebut, Septianda dan kawan-kawan, mengangkat akar masalah mengapa kebudayaan Aceh sulit berkembang.
Septianda mengajukan pendapat bahwa punca masalahnya karena Aceh selalu dirudung konflik bersenjata. Sebelum Indonesia lahir ke dunia, bahkan belumpun dikonsep oleh perwakilan pemuda pada 28 Oktober 1928, Aceh telah bergelut dengan peperangan antar negara.
Baca: Susu untuk Republik, Tuba Dalam Cawan Daoed Beureueh
Sepanjang 1577-1629 Masehi, Aceh bertempur dengan Portugis. Selanjutnya 1873-1912 Masehi, Aceh bertempur mengusir Belanda. Kemudian mengusir Jepang sepanjang 1942-1945.
Dalam Jurnal Historia volume 3, nomor 2, tahun 2015, Heryati,S.Pd.,M.Hum, menulis menulis tentang Revolusi Sosial di Aceh yang terjadi 1945-1946. Dalam artikelnya berjudul: Ulama dan Ulee Balang: Potret Revolusi Sosial di Aceh 1945-1946.perang itu lahir karena perseteruan antara kaum ule balang dan ulama Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Di Aceh peristiwa tersebut dimulai dengan Perang Cumbok. Terjadi pembantaian besar-besaran terhadap bangsawan Aceh oleh PUSA yang dimotori oleh ulama-ulama modernis yang dipimpin Daud Beureueh.
Daud Beureuh yang kemudian kecewa terhadap Sukarno menggelorakan perlawanan terhadap Republik Indonesia. Daud yang merasa dikhianati melihat bahwa Indonesia tidak memiliki komitmen atas janji-janjinya. Aceh sebagai modal dan satu-satunya wilayah yang berdaulat saat Agresi Militer II, dicabut kembali statusnya sebagai provinsi.
Baca: Menguak Tabir Pembubaran Provinsi Aceh (1)
Daud Bereuh kemudian bergabung dengan DI/TII dan berperang melawan Indonesia yang dimulai 20 September 1953.
Kembali ke jurnal Septianda, disebutkan bahwa para pemimpin Aceh yang saat itu sedang menghadapi dilema panjang karena perang tak kunjung usai, bersepakat untuk menggelar sebuah acara besar yang mengangkat tema pemeliharaan kebudayaan keacehan.
Gubernur Aceh Ali Hasjmy, Pangdam Kodam Iskandar Muda Letkol Syamaun Gaharu, Kepala Staf KDMA Mayor T. Hamzah Bendahara, merenungi tentang Aceh. mereka mengevaluasi mengapa di daerah lain kegiatan kebudayaan dapat dilakukan. Bahkan daerah di luar Aceh memiliki pekan budaya.
Muhammad Alkaf dalam tulisan berjudul Keislaman, Kebangsaan dan Kebudayaan: Biografi Ali Hasjmy, menulis tentang latar belakang PKA lahir di Aceh. Ia mencatat bahwa alasan digelarnya PKA karena sebagai kelanjutan dari upaya merawat pencapaian mweujudkan keamanan dan perdamaian yang telah melahirkan Ikrar Lamteh.
Tiga Tujuan Utama PKA 1
Dalam buku laporan PKA 3 disebutkan beberapa alasan mengapa Pekan Kebudayaan Aceh digelar. Pertama;sebagai lanjutan dari usaha dalam upaya mewujudkan keamanan dan pembangunan Aceh. Kedua, adanya upaya membangun kebudayaan nasional melalui penggalian kebudayaan daerah. Ketiga, adanya kesadaran tentang kejayaan masa lampau yang menjelaskan Aceh kaya akan budaya.
Ide menggelar PKA 1 mendapatkan sambutan luas masyarakat. Rakyat yang telah sangat tertekan akibat perang berkepanjangan, merindukan sebuah wahana untuk melakukan healing supaya hati dapat terobati.
PKA 1 bukan sekadar pagelaran budaya. Tapi memiliki tujuan politik lainnya. Termasuk melahirkan Kopelma Darussalam yang kelak menjadi pusat pendidikan tinggi di Aceh yang biaya kuliahnya di fakultas favorit semakin tak terjangkau oleh kelas menengah ke bawah dari unsur rakyat Aceh.
Menteri Agama K. H. Ilyas di tanggal 17 Agustus 1958 meresmikan batu pertama pembangunan Kopelma Darussalam. Selanjutnya pada penutupan PKA-1, giliran Menteri PP&K Dr. Priyono yang hadir ke Darussalam untuk meletakkan batu pertama pembangunan Kota Pelajar dan Mahassiwa (Kopelma), seraya menyetujui penamaan Darussalam (wilayah damai) sebagai lawan dari Darl Harb, yang dimaknai sebagai wilayah perang.
Satu hasil penting lainnya dari hajatan PKA 1,lahirnya “Piagam Blangpadang”. Isinya antara lain menghidupkan kembali adat istiadat dan kebudayaan Aceh dalam setiap gerak pembangunan Aceh dan masyarakatnya. Implementasi “Piagam Blangpadang” terus ditindaklanjuti hingga 14 tahun kemudian yang ditandai dengan penyelenggaraan PKA II.
PKA 1 juga menjadi pembuktian ucapan Ali Hasjmy saat dicalonkan sebagai Gubernur Aceh kala itu. “Saya bersedia menjadi Gubernur, akan tetapi saya tidak mebawa api, melainka membawa air.” Ucapan itu dibuktikannya. Setelah dilantik menjadi Gubernur Aceh, dia sgera membangun komunikasi dengan sejumlah elit DI/TII. Pertemuan demi pertemuan, yang berlandaskan saling percaya dan komitmen membangun Aceh, melahirkan Ikrar Lamteh yang ikut dihadiri oleh Kepala Kepolisian Aceh KBP Muhammad Insja.