Komparatif.ID, Banda Aceh—Sampai detik ini Panwaslih Aceh masih bermasalah. Maka pelaksanaan Pilkada Aceh akan dipenuhi masalah. Profesionalitas, kapasitas, dan netralitas Panwaslih Aceh sangat diragukan.
Demikian disampaikan Koordinator Tim Pembela Hukum dan Demokrasi (TPHD) Aceh, Teuku Alfiansyah,S.H, Rabu (30/10/2024).
Kepada Komparatif.ID, Teuku Alfiansyah menerangkan, publik patut bertanya sejauh mana netralitas, integritas, dan kapasitas Panwaslih Aceh dalam menyelenggarakan tugas pengawasan Pilkada Aceh 2024.
Baca: Fadhil Rahmi Dilaporkan ke Panwaslih, Thamren: Tak Ada yang Dilanggar
Sampai saat ini, kata Teuku Alfiansyah, Panwaslih Aceh belum memperlihatkan kepada publik tentang sikap profesional. Mereka belum memperlihatkan kemampuan yang bagus dalam mengawasi secara adil, dan serius setiap tahapan yang sudah berjalan.
Alfian menunjukkan beberapa tindakan Panwaslih Aceh yang dengan gamblang menunjukkan bahwa mereka tidak profesional.
“Bisa dikatakan mereka tidak fokus, terkesan main-main dan anggap enteng, serta sangat bias dalam mengawasi jalannya tahapan pilkada secara menyeluruh,” sebut Teuku Alfiansyah.
Terdapat sejumlah dugaan pelanggaran yang terjadi dan dilakukan oleh penyelenggara pemilihan sejak awal tahapan dimulai, fungsi pengawasan yang melekat kepada mereka, tidak dijalankan dengan baik. Bahkan mereka tak terlihat bernilai di mata KIP Aceh. Beberapa keputusan KIP Aceh tidak melibatkan Panwaslih Aceh.
“Semua kebijakan dan keputusan KIP Aceh dalam bentuk apa pun wajib melibatkan dan diberitahukan ke Panwaslih. Sehingga tidak ada ruang pelanggaran yang akan terjadi. Apalagi ruang kecenderungan untuk memihak, Itulah tugas pokok dan fungsi pengawas, apalagi dikenal juga fungsi dan tugas supervisi dari Panwas,” ujar Teuku Alfian.
Akan tetapi faktanya, Panwaslih Aceh “ditinggalkan dan diabaikan”. Mungkin, kata Alfiansyah, karena minimnya kapasitas Komisioner Panwaslih Aceh.
“Mungkin karena kapasitas komisioner Panwaslih Aceh lemah, sehingga “diabaikan” oleh KIP Aceh,” sebutnya.
Saat ini TPHD Aceh sedang memantau dan mencermati perkembangan laporan yang sudah disampaikan kepada Panwaslih Aceh terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Komisioner KIP Aceh.
“Beberapa waktu lalu tim dari salah satu pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh melaporkan Komisioner KIP Aceh ke Panwaslih. Atas laporan tersebut Panwaslih melakukan klarifikasi secara terpisah terhadap komisioner KIP Aceh. Padahal komisioner KIP itu kolektif kolegial. Harusnya diperiksa bersamaan dalam satu waktu tertentu.
Ini kok malah terpisah pisah, apa dasar pertimbangannya? Jangan-jangan ada motif aneh tertentu di belakang ini semua. Bisa saja ada yang akan dikorbankan dan ada yang ingin diselamatkan, mencoba memilah-milah siapa yg harus bersalah,” tegas Teuku Alfian.
Parahnya lagi, sambung Alfian, setelah melakukan proses klarifikasi yang tergolong aneh, Panwaslih lantas mengeluarkan rekomendasi, bahwa KIP Aceh telah melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu. Namun, kata dia, Panwaslih tidak pernah menjelaskan kepada publik secara terang benderang hasil klarifikasi, dan apa detail kesalahan dan peraturan mana yang diduga dilanggar oleh KIP Aceh.
“Proses kan sudah selesai, kalau mereka yakin sudah jalankan prosedur yang benar tentu mereka berani buka dokumen risalah pemeriksaan dan absensi, karena itu bukan rahasia negara kok,” tegas Teuku Alfian.
Lebih jauh lagi, dan semakin aneh, terang Teuku Alfian, setelah mengeluarkan rekomendasi pelanggaran kode etik tersebut, Panwaslih melaporkan Komisioner KIP Aceh ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Terhadap laporan itu, sebut Alfian, mereka dapati dalam laman website resmi DKPP, bahwa laporan tersebut Belum Memenuhi Syarat (BMS), karena terdapat kekurangan formil dan materil dalam laporan tersebut antara lain kesalahan tentang legal standing atau kedudukan hukum terlapor atau teradu, dan tidak ada uraian kronologis peristiwa yang dilaporkan.
Selanjutnya, alat bukti kabur tanpa kodefikasi, tidak ada surat pernyataan saksi yang diajukan, serta tidak menyertakan masing masing dua alat bukti utama pada setiap dalil pokok yang dilaporkan.
“Surat BMS laporan Panwaslih ke DKPP ini jelas menunjukkan Panwaslih tidak faham syarat formil dan materil yang wajib dipenuhi dalam setiap aduan ke DKPP. Harusnya mereka sudah khatam tentang hal ini,”katanya.
Alfian menduga bila laporan tersebut sejak awal didesain untuk gagal. Dengan batas waktu yang hanya tujuh hari, pelapor [Panwaslih Aceh] seperti sengaja tidak melengkapi bukti. Mustahil mereka tidak tahu menahu tentang sebuah laporan yang lengkap dan kuat ke DKPP. Patut diduga mereka main-main,” tegasnya.
Atas dugaan yang disampaikan TPHD Aceh, Komparatif.ID, sejak Rabu malam (30/10/2024) sudah mencoba menghubungi Ketua Panwaslih Aceh Muhammad Ali. Akan tetapi hingga berita ini ditayangkan, yang bersangkutan tidak memberikan respons apa pun.