Komparatif.ID, Jakarta— Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan kebijakan single presence policy (SPP) atau kepemilikan tunggal dalam perbankan berlaku secara merata untuk semua kelompok, termasuk Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS).
Kebijakan ini diambil untuk mengkonsolidasikan jumlah industri perbankan di Indonesia, dengan mengatur bahwa setiap pihak hanya boleh menjadi pemegang saham pengendali di satu bank.
Pernyataan ini muncul sebagai tanggapan atas keberatan yang disampaikan oleh Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Anwar Abbas, yang menolak penggabungan seluruh BPRS milik Muhammadiyah.
Anwar mengaku keberatan dengan kebijakan OJK yang mengharuskan Muhammadiyah untuk menggabungkan sekitar 20 BPRS yang dimiliki oleh organisasi tersebut.
Anwar Abbas menekankan perbedaan budaya korporasi di setiap BPRS akan menimbulkan masalah besar jika kebijakan merger ini dipaksakan. Ia mengatakan meski secara teoritis merger terlihat mudah, namun dalam praktiknya, kebijakan ini dapat menimbulkan risiko besar, termasuk kemungkinan kegagalan.
Baca juga: Komit Berantas Judol, OJK Perintah Bank Blokir 6.000 Rekening
Menurut Anwar, tujuan OJK untuk menjadikan BPRS Muhammadiyah sebagai bank syariah besar dapat berujung pada keruntuhan jika tidak dikelola dengan baik, terutama karena perbedaan budaya korporasi dan geografis antar BPRS yang tersebar di berbagai wilayah seperti Semarang, Yogyakarta, dan Ciputat. Hal ini memperumit pelaksanaan merger yang diusulkan oleh OJK.
“Memang secara teorinya gampang disatukan saja. Tapi setelah coba implementasikan pasti ada masalah. Dan kalau Muhammadiyah mampu mengatasi, nggak masalah. Tapi kalau nggak mampu gimana? Apakah OJK tanggung jawab? Dan kalau OJK mengawasi, kan nggak bisa day-to-day OJK mengawasi. Jadi menurut saya akan lebih besar masalahnya untuk tidak dipaksakan oleh OJK agar demerger,” ujar Anwar melansir CNBC Indonesia, Senin (14/10/2024).
Ia menegaskan Muhammadiyah telah terbiasa dengan budaya pluralisme, seperti yang terlihat dari keberadaan banyak perguruan tinggi Muhammadiyah di berbagai kota besar, seperti UHAMKA dan UMJ di Jakarta, serta UAD dan UMY di Yogyakarta.
Menurutnya, keberagaman tersebut menunjukkan bahwa setiap entitas usaha Muhammadiyah memiliki kekuatan tersendiri dan dapat bersaing secara sehat, tanpa perlu disatukan dalam satu entitas.
“Muhammadiyah itu sudah terbiasa, kan kalau idealnya di Jakarta saja ya, perguruan tinggi Muhammadiyah ada berapa? UHAMKA, UMJ, kemudian ada ITB-AD. Ada lima kali ya. Kan idenya disatukan saja ya, (tapi) kalau disatukan, rontok. Di Jogja ada tiga, UAD, UMY, Universitas Aisyiyah. Satu kan tidak bisa,” lanjutnya.
Anwar juga menekankan pihaknya akan meminta diskresi khusus dari OJK terkait kebijakan ini. Ia mengatakan Muhammadiyah akan mengirimkan surat resmi yang berisi keberatan mereka atas penerapan kebijakan SPP dalam penggabungan BPRS.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Rae menyebut kebijakan SPP bertujuan mendorong kinerja BPRS yang tergabung dalam satu grup.
Ia juga mengatakan hasil dari penggabungan bank-bank ini akan memungkinkan kantor-kantor eksisting menjadi cabang dari bank yang lebih besar. Ia menilai, kekuatan finansial Muhammadiyah yang signifikan harus dioptimalkan untuk mendukung kinerja perbankan nasional secara keseluruhan.
Dian menambahkan OJK tidak bisa menerapkan kebijakan berbeda untuk satu kelompok dan kelompok lainnya. Namun, Dian juga menyatakan bahwa pihaknya terbuka untuk berdiskusi dengan Muhammadiyah terkait masalah ini.
“Tentu kita tidak bisa membeda-bedakan kebijakan untuk satu group dengan group lain,” ungkap Dian.