Merawat Perdamaian Aceh di Tengah Perbedaan

aceh
Muhammad Aniq Alkhalif, mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Foto: Dok. Pribadi.

Aceh itu unik. Di satu sisi, kita dikenal sebagai daerah dengan nilai-nilai agama yang kuat, adat yang masih terjaga dan sejarah panjang yang tentu membuat kita bangga.

Tapi di sisi lain, Aceh juga punya luka yang mendalam sejak lama. Konflik bersenjata yang terjadi antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Pusat yang sempat menjadikan wilayah ini sebagai sorotan selama puluhan tahun.

Konflik yang disebabkan oleh beberapa faktor utama, seperti perbedaan pendapat terhadap distribusi kekayaan SDA Aceh dan peningkatan jumlah orang Jawa di Aceh, yang memunculkan perasaaan marjinalisasi di kalangan masyarakat lokal.

Baca: Perihnya Menjadi Anak Tak Diinginkan

Sejak MoU Helsinki ditandatangani tahun 2005, suara tembakan sudah berhenti, namun bukan berarti semua persoalan ikut menghilang. Justru setelah konflik, kita mulai melihat masalah-masalah yang tidak selalu kelihatan di permukaan. Beberapa wilayah di Aceh, ketegangan antar kelompok kadang muncul karena perbedaan budaya, cara hidup, bahkan tafsir agama.

Mungkin tidak akan meledak sampai terjadi kekerasan fisik, namun perselisihan sosial yang terjadi tentu akan sangat terasa, mulai dari rasa curiga terhadap sesama, stereotip kepada kelompok lain, sampai pembatasan ruang gerak bagi kelompok tertentu. Apabila terus dibiarkan dan tidak segera diatasi, perselisihan ini bisa saja berkembang menjadi konflik terbuka, bahkan dapat memicu konflik bersenjata baru.

Perdamaian yang sebenarnya itu bukanlah tidak adanya konflik, tetapi adanya alternatif kreatif dalam menanggapi konflik dan kita masih belum cukup punya alternatif itu, kita masih belum cukup kreatif dalam merawat damai.

Masalahnya sering kali karena hal yang sederhana. Kurang ada ruang untuk saling memahami satu sama lain, untuk duduk sama-sama tanpa saling menghakimi. Padahal, solusi tidak harus selalu datang dari aparat atau hukum. Budaya lokal kita sendiri sebenarnya sudah cukup untuk menjadi solusi atau sebagai jembatan perdamaian. Tapi sayangnya, potensi ini sering luput dari perhatian pembuat kebijakan.

Aceh punya banyak kekayaan tradisi yang kalau digali, bisa jadi solusi konflik. Seperti yang dikemukakan oleh Abidin Nurdin dan Fajri M. Kasim dalam jurnal mereka, yang mengulas tentang adat Aceh sebagai bagian dari kearifan lokal dapat menjadi resolusi konflik dalam masyarakat, azaz-azaznya dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam yang berdampak pada pembangunan perdamaian. Artinya, budaya dan agama bukan hanya identitas simbolik, tapi juga punya nilai-nilai praktis yang bisa membangun harmoni sosial.

Di Dataran Tinggi Gayo, lembaga adat seperti forum musyawarah kampung masih hidup dan aktif. Ketika ada konflik, masyarakat tidak langsung lapor polisi. Mereka duduk bersama, berbicara tentang solusi dari permasalahan yang terjadi. Ini contoh nyata bahwa budaya bukan cuma soal upacara atau simbol-simbol tua, tapi bisa jadi alat menyelesaikan masalah.

Budaya bukanlah sistem yang kaku, melainkan cara manusia memberi makna terhadap hidupnya dan di Aceh, makna itu bisa diwujudkan lewat meja kopi dan forum musyawarah yang mendamaikan.

Sayangnya, pendidikan di Aceh masih terlalu fokus ke penguatan identitas lokal yang homogen. Kurikulum kita jarang sekali berbicara membahas tentang toleransi, keberagaman atau bagaimana hidup berdampingan dengan yang berbeda. Padahal, pendidikan multikultural itu sangat penting.

Seperti ditulis oleh Widya Noventari dkk (2020) dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, berjudul Urgensi Pendidikan HAM dalam Kurikulum Sekolah. Dalam jurnal tersebut Widya menulis pendidikan HAM dirasa penting untuk menumbuhkan rasa saling menghargai dan menghormati serta melindungi harkat dan martabat sesama manusia. Kalau anak muda Aceh terus-menerus dibesarkan dengan doktrin “kita” versus “mereka”, maka jangan mulai saling menyalahkan apabila bayangan konflik tumbuh kembali.

Aceh  pernah jadi tempat paling kosmopolit di Nusantara. Dulu jadi pusat perdagangan internasional—orang Arab, India, Cina, Melayu, Eropa semua pernah singgah dan berinteraksi di sini. Jadi, keterbukaan itu bukan hal baru buat Aceh. Kita cuma perlu menghidupkannya lagi dengan cara yang lebih relevan pada zaman sekarang.

Lalu apa yang bisa dilakukan? Banyak. Pemerintah bisa mulai dari hal-hal sederhana: membuat program lintas komunitas yang melibatkan pemuda dari latar belakang berbeda, dorong sekolah-sekolah untuk menyisipkan pelajaran tentang toleransi dan dialog antarbudaya, sediakan forum warga di tingkat gampong untuk diskusi sosial yang inklusif. Karena dialog bukan hanya untuk menyelesaikan konflik, tapi untuk mencegah konflik muncul dari awal.

Media massa punya peran penting. Mereka bisa membantu memperkuat narasi kebersamaan, menyebarkan cerita kolaboratif antar komunitas, dan yang terpenting: berhenti memberitakan perbedaan dengan cara yang memecah-belah. Media massa bisa jadi ruang yang menyatukan, bukan malah memperuncing perbedaan.

Hal yang paling penting: jangan tunggu dari atas. Komunitas, pemuda, tokoh adat, dan warga biasa semua punya peran. Damai itu bukan hadiah, tapi sesuatu yang harus diusahakan bersama-sama. Dari lingkungan terdekat, obrolan kecil dan keputusan sederhana untuk tidak ikut menyebar kebencian.

Hidup damai itu bukan soal semua orang jadi sama. Tapi soal bagaimana kita bisa hidup berdampingan dalam perbedaan yang saling dihargai. Kalau Aceh ingin benar-benar pulih dan maju, maka harmoni antarbudaya harus jadi pondasi utama. Bukan cuma wacana sesaat, tapi komitmen jangka panjang. Karena perdamaian, seperti yang sering dikatakan, bukan sesuatu yang diwariskan—tapi harus diciptakan, setiap hari, oleh kita semua.

Penulis: Muhammad Aniq Alkhalif, mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.

 

Artikel SebelumnyaTol Padang Tiji-Seulimum Dibuka Selama Libur Iduladha 1446 H
Artikel SelanjutnyaTDV & Asar Humanity Gandeng PWI Aceh Salurkan Kurban Iduladha 1446 H
Redaksi
Komparatif.ID adalah situs berita yang menyajikan konten berkualitas sebagai inspirasi bagi kaum milenial Indonesia

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here