Makmeugang Iduladha di Singkil

makmeugang di singkil
Pedagang daging makmeugang di Pasar Lae Butar, Rimo, Kabupaten Singkil. Foto: Munawar.

Orang-orang di ibukota Singkil, tidak menggelar makmeugang seperti orang Aceh secara umum, untuk menyambut Iduladha. Bagi mereka makmeugang dalam definisi sembelih lembu, hanya ada pada jelang Ramadhan dan jelang Idulfitri.

Langit masih kelam dalam balutan malam ketika starter motorku hidup, udara sejuk nan lembab khas  Subuh menembus jaket yang kupakai. Aku bergegas dari Singkil menuju Rimo  untuk sesuatu yang bagiku sakral yaitu mencari saboh tumpok sie makmeugang (satu tumpuk daging lembu yang disembelih khusus untuk makmeugang).

Tak ada penyembelihan daging meugang di Singkil untuk Uroe Raya Haji (Iduladha).

Jarak Singkil ke Rimo 45 km, hampir setara dengan jarak Lhokseumawe ke Bireuen. Untuk menghemat waktu, Ketika tiba di Ujung Bawang—sekitar enam kilometer dari Kota Singkil, aku berbelok, melalui jalan pintas Pea Bumbung-Rimo. Meski jalan ini lebih kecil dan tak ada rumah penduduk, namun ada 18 Km jarak yang terpangkas. Aku harus tiba lebih cepat di Pajak Pagi Rimo pagi ini, Rabu (4/6/2025).

Aku memutuskan tetap mempertahankan tradisi makmeugang dengan caera menikmati daging bersama keluarga, meskipun di Kota Singkil, khusus menyambut Uroe Raya Haji tidak digelar makmeugang.

Baca: Kronik Sultan Aceh, dari Pengkhianatan ke Pengkhianatan

Orang Rimo menyebut Pajak Pagi Rimo dengan sebutan Pajak Harian Lae Butar. Aku jarang ke tempat tersebut karena tempat tinggalku yang jauh di Kota Singkil.

Ketika aku tiba, manusia tumpah di Pasar Rimo. Aku kesulitan mengendarai motor di Simpang Empat Pajak.

“Kade bamu, Dik?” sapa seorang pedagang. Ini sapaan unisex dari seseorang yang lebih tua, tatkala aku baru saja selesai memarkirkan motor.

Aku tidak menjawab verbal. Hanya gelengan yang disertai senyum kepada tua tadi, menjadi jawaban bahwa aku tidak ingin diganggu. Mataku fokus mencari kaki sapi yang diikat pada bilah kayu. Ya, aku mencari lapak daging lembu yang khusus dijual pada makmeugang. Aku harus mencari yang terbaik, supaya senyum istri dan anakku semakin mengembang kala aku tiba di rumah.

Hampir saja aku menyerah. Aku menjelajah lebih dari setengah pasar, tapi tak terlihat penjual daging.

”Lot kalak mejagal daging megang henda? (ada orang berjualan daging meugang di sini?) tanyaku pada seorang tua yang sedang sibuk menata ikan jualannya.

“Lot, dik, hendi kak I,” ( ada dek,di sana mereka).

Aku  bergegas ke arah yang ditunjuk. Terlihat beberapa laki-laki sedang berkumpul di lapak daging.

Begitu tiba, aku segera memilih daging. Alhamdulillah, setelah berpeluh ria di pagi hari, akhirnya aku berhasil mendapatkan setumpuk daging makmeugang.

Makmeugang dan Ayah

Ingatanku tentang makmeugang bermula pada ayah. Ketika masih kecil ayah sering mengajakku ke tempat penyembelihan sapi makmeugang di Nisam, Aceh Utara.

Meugang yang paling kukenang adalah meugang Uroe Raya Puasa (Idulfitri). Aku sudah menanti-nanti malam terakhir Tarawih jauh hari sebelumnya, dan harus tidur lebih cepat di malam itu supaya sanggup bangun tengah malam ke tempat penyembelihan. Ayah tak akan mengajakku jika aku tak tidur lebih awal.

Begitu turun dari sepeda ayah, aku akan duduk di pojok  sembari memegang jaket ayah dengan seluruh kaki dan tanganku sudah dioleskan lotion anti nyamuk. Binar cahaya  terang dari panyoet surungkeng ( lampu storm king) cukup terang sehingga aku bisa melihat ayahku dan laki-laki lainnya bertukar perkakas seperti pisau, kapak dan lainnya  memulai penyembelihan dalam gelapnya malam.

Kemudian satu per satu warga kampung  datang berkumpul untuk membeli daging meugang. Dinginnya malam seolah tak terasa malam itu, orang terus berdatangan, melempar senyum, bertukar cerita, lembar-lembar rupiah aneka warna berpindah tangan. Transaksi sudah dimulai.

Salah satu kawan ayahku dengan cekatan menuliskan pesanan warga pada kertas cabikan slof rokok. Aku ingat tulisannya tegak bersambung seperti yang diajarkan bu guru di sekolah. Tulisan tangannya cantik,bahkan  angka nol-nol pada nominal harga juga bersambung ditulisnya.

Namun aku tak pernah di lapak daging meugang sampai pagi. Karena beberapa saat kemudian ayah akan mengantarkanku pulang untuk membawa daging ke rumah, supaya mak bisa memasakkannya tengah malam itu juga.

Setelah mengantarkanku, ayah kembali lagi dan baru balik menjelang Subuh untuk menyantap sahur dengan daging yang sudah selesai digulai oleh mak di dapur kayu.

Bila daging tak habis terjual di kampung, ayah berangkat ke Keude Kruekuh atau ke Batuphat, menjual daging tersisa. Tapi itu jarang terjadi, sebab biasanya seluruh daging terjual habis di kampung sebelum fajar tiba.

Sama seperti orang Aceh secara umum, di keluarga kami, Puasa Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha, disambut dengan sukacita, dengan cara makan bersama di rumah. Lauk pun harus istimewa; berupa kari dan kuliner lainnya bertema daging.

Ayah termasuk pria pemberani. Di tengah konflik Aceh, ia tetap berjualan daging lembu bila makmeugang tiba. Pernah suatu Ketika, di kampung kami terdengar salak senapan. Sepertinya kontak senjata. Kejadian itu pas pada malam makmeugang. Malam itu ayah tidak keluar menyembelih lembu.

Tapi, Ketika fajar menyingsing, ayah sudah berangkat menuju lapak pejualan daging lembu.

Kala aku merantau ke Borneo sebagai guru SM-3T (Sarjana Mendidik di daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar) Universitas Syiah Kuala, tradisi makmeugang tetap aku dan teman-teman lestarikan. Setiap makmeugang tiba, kami berangkat ke Ngabang, ibukota Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.

Di Ngabang, kami berkumpul pada sebuah rumah yang difungsikan sebagai mess. Setelah berkumpul, kami belanja daging ke pasar Ngabang. Dengan peralatan seadanya, kami pun masak bersama. Bayangkan, kami memotong daging menggunakan cutter tipis yang biasa kami sebut silet bergagang. Butuh effort lebih kan?

Kebiasaan yang turun-temurun membentuk ingatan kolektif tentang tradisi tersebut. Itulah yang membuatku antusias menempuh perjalanan puluhan kilometer dari Singkil ke Rimo. Setumpuk daging lembu, sebagai wujud melestarikan budaya yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Makmeugang dalam Ingatan Orang Singkil

Setelah pindah ke Singkil aku menemukan sebuah fakta baru. Meskipun warga tempatan tetap menggelar tradisi serupa, tapi makanannya tidak melulu daging. Mereka juga memasak lamang atau ketupek.

Seorang temanku bernama Mewah Tinambunan, Hamidah Aceh asal kampong Rantau Gedang, Nurmala Manik asal Pulo Sarok, Irma Yuni asal Kuala Baru begitu sumrigah menceritakan betapa banyak kue dan santapan yang mereka buat di hari meugang untuk dinikmati bersama keluarga. Dari cerita mereka ku simpulkan meugang dalam ingatan orang Singkil begitu kosmopolitan. Tidak hanya berkutat pada daging dan segala prosesnya seperti sudut pandang yang ku miliki.

Delismansyah  kawanku di Pulau Balai, kecamatan Pulau Banyak mengatakan  mamagang (meugang) di Pulau Banyak lebih unik lagi. Mereka justru masak aneka kuliner barbasis lobster.

Sutrisno Tanjung kawanku asal Haloban mengatakan di kampungnya dilengkapi dengan mandi balimo-limo, penduduk makan bersama keluarga di tempat wisata lalu mandi dengan air campuran rempah dan limau menjelang puasa atau pada hari meugang.

Tradisi balimo-limo tersebut juga kutemui dilakukan oleh orang Aceh di Bakongan dengan nama “meulime” namun meulime itu tak dikaitkan dengan meugang melainkan pada momentum sakral individual  seperti seseorang baru sembuh sakit.

Di daratan Singkil, tradisi meugang juga dilakukan baik oleh orang beretnik Melayu pesisir maupun orang beretnik Singkil. Di kota Singkil terdapat dua tempat pemotongan daging meugang yang ramai yaitu tempat mamak Saf di kampong Ujung dan Ogek Daman Meuraxa di kampong Siti Ambia.

Orang-orang Singkil seperti orang Aceh pada umumnya di pantai barat selatan lebih menyukai daging kerbau sebagai menu meugang meskipun kini daging sapi untuk meugang juga mulai menjadi alternatif.

Di Kota Subulussalam, lapak pedagang daging memenuhi jalan Nyak Adam Kamil sampai ke arah terminal. Kawanku Budiansyah Solin asal Subulussalam Utara mengatakan pada hari meugang kondisi pasar meriah, orang-orang Subulussalam yang tinggal di tepi sungai Lae Sukhaya seperti Runding atau Longkib juga datang membeli daging meugang.

Namun di kota Singkil dan sekitarnya untuk menyambut Iduladha tak ada pemotongan daging meugang. Dari beberapa orang yang ku kenal, mereka menyarankanku untuk membeli daging meugang ke Rimo atau Subulussalam.

Jarak Singkil-Subulussalam sekitar 87 km dengan jalan mendaki dan berbukit rasanya bukan satu pilihan yang realistis dibandingkan Singkil – Rimo yang “hanya” 45 km jauhnya. Tentu aku memilih Rimo sebagai pilihanku mencari daging meugang.

Penulis: Munawar, mantan Guru SM-3T. Asal Nisam, dan kini bermukim di Singkil.

Artikel SebelumnyaTDV & Asar Humanity Gandeng PWI Aceh Salurkan Kurban Iduladha 1446 H
Artikel SelanjutnyaKunci Perdamaian dalam Resolusi Konflik Aceh
Redaksi
Komparatif.ID adalah situs berita yang menyajikan konten berkualitas sebagai inspirasi bagi kaum milenial Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here