Komparatif.ID, Pyongyang—Nasib tak mujur dialami Swedia. Berharap dapat lebih dari Kore Utara yang baru usai perang, mereka justru tertimpa buntung. 1000 unit Volvo 144 dan berbagai peralatan industri lainnya yang diekspor ke Korut tahun 1970-an, hingga saat ini tak dibayar.
Gegap gempita Korea Utara yang diklaim sebagai negara dengan potensi pertumbuhan ekonomi baru yang potensial, menarik banyak orang berkunjung ke sana. Hal ini tak lepas dari kampanye Republik Demokratik Kore Utara yang menggaungkan bahwa mereka akan menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi sangat signifikan, seusai berakhirnya Perang Korea pada tahun 1953.
Pada tahun 1973 Urban Lehner, seorang warga Amerika Serikat yang bekerja sebagai wartawan The wall Street Journal, berkunjung ke Korea Utara, dan menumpang Volvo 144. Dia berkeliling Kota Pyongyang yang memiliki ruas jalan sangat luas dengan jumlah kendaraan minim. Volvo 144 merupakan salah satu yang unik dan mewah di atas badan jalan ibukota Korut.
Baca juga: Korea Utara Siapkan Terbaru untuk Konfrontasi Dengan AS
Pengalaman kunjungan ke Korea Utara tersebut ia tulis kembali pada sebuah artikel bertarikh 29 Agustus 1989.
Lehner juga menulis bahwa pemandu perjalanan yang dapat berbahasa Inggris, yang didampingi seorang sopir Volvo 144 yang selalu melajukan Volvo-nya dengan sangat nyaman, mendampingi wartawan tersebut. Kedua pria Korea Utara tersebut sangat ramah.
“Kami melintasi jalan lima jalur yang cukup lengang. Mereka ramah dan komunikatif,” kenang Lehner.
Lalu, bagaimana Volvo 144 bisa masuk ke Korea Utara? Padahal negara tersebut sangat tertutup.
Volvo 144 diekspor ke Korea Utara sebanyak 1000 unit oleh misi dagang Swedia pada tahun 1970-an. Pemerintah Swedia sangat yakin bila North Korea merupakan kawasan potensial kebangkitan ekonomi di Asia.
Perusahaan eksportir menandatangani kontrak perdagangan besar, dan mengirimkan berton-ton peralatan industri buatan Swedia ke Korea Utara — termasuk mesin pertambangan berat dan 1.000 mobil Volvo 144.
Para pebisnis Swedia kala itu membuat analisa ekonomi bahwa Korea Utara sangat menguntungkan. Saat itu negara tersebut sedang berkembang.
Peneliti Senior Brookings Intitution Jonathan D. Pollack menyebutkan Korea Utara saat itu tidak terlalu buruk. Setelah Perang Korea mereka membangun kembali perekonomiannya yang ambruk. Dengan mengandalkan bantuan luar negeri mereka menata pembangunan. Korut menargetkan diri sebagai negara industri.
Saat itu Swedia mengirimkan alat-alat produksi dan 1000 unit Volvo 144 dengan total investasi kala itu $70 juta. Dukungan pembangunan untuk negara komunis tersebut dibarengi kemudian dengan pengiriman diplomat.
Pada tahun 1975, Swedia menjadi negara Barat pertama yang mendirikan kedutaan besar di Pyongyang.Diplomat yang ditunjuk sebagai Duta Besar Swedia untuk kali pertama Erik Cornell, yang merupakan pelaku misi diplomatik kawakan yang telah bertugas sejak 1958 di Bonn, Warsawa dan Addis Ababa, Etiopia.
Dia tiba di Korea Utara–saat itu dipimpin oleh Kim Il Sung– pada musim dingin tahun 1975.
Tak ada kemeriahan di Pyongyang. Ibukota tersebut beku, dingin, sepi. Tak ada bar yang dapat dikunjungi. Cornell yang bertugas hingga 1977 mengatakan ketika tiba di sana, ia seperti memulai kehidupan.
“Kadang-kadang, yang bisa dia lakukan hanyalah keluar untuk perjalanan singkat dengan Volvo. Itu adalah kondisi kehidupan.”
Tugas utamanya di sana mempelajari situasi ekonomi. Tak perlu studi terlalu panjang untuk mendapatkan kesimpulan bila Korea Utara bukan pasar potensial. Negara itu tak punya minat maju. Tak ada harapan ekonomi besar di sana.
Tak lama setelah Coirnell membuka kedutaan di Pyongyang, perdagangan negara itu dengan Barat tiba-tiba terhenti. Korea Utara tidak membayar barang yang diimpornya. Batas waktu pembayaran berlalu, utang dan pembayaran bunga meningkat, dan menjadi jelas bahwa Korea Utara tidak mampu membayar semua investasinya.
Korea Utara telah melebih-lebihkan kemampuan industrinya, tulis Cornell dalam memoarnya tahun 2002 berjudul: North Korea Under Communism: Report of an Envoy to Paradise.
Negara itu yakin sedang mengejar negara-negara industri maju. Namun menurut pendapat Cornell, Korea Utara tidak tahu bagaimana melakukan bisnis di luar blok Komunis. Perekonomiannya tak kunjung bangkit.
Korea Utara tak tahu harus berbuat apa. Peralatan pabrik dibiarkan berkarat di gudang-gudang Korea Utara. Dan lebih dari empat dekade kemudian, pemerintah belum membayar 1.000 Volvo tersebut.
Menurut Badan Kredit Ekspor Swedia, yang mengasuransikan pembayaran, utang Korea Utara ke Swedia telah meningkat selama bertahun-tahun menjadi $322 juta hingga 2017. Swedia masih mengirimkan peringatan dua kali setahun ke Pyongyang, tetapi Korea Utara tidak pernah menegakkan perjanjiannya.
Volvo 144 “Biaya Diplomasi” Korea Utara dan Swedia
Banyak yang menyimpukan bahwa 1000 unit Volvo 144 yang belum dibayar, sebagai kompensasi dari diplomasi Swedia demi menjaga kepentingan Amerika Serikat. Kantor Duta Besar Swedia yang sampai saat ini masih ada di Korea Utara, adalah “pembayaran” secara politik untuk 1000 Volvo dan peralatan industri lainnya.
Swedia masih mempertahankan kedutaannya di Pyongyang, dan telah mengambil bagian dalam pekerjaan bantuan kemanusiaan dan memperluas perannya sebagai perantara antara Korea Utara dan dunia luar.
Pun demikian Swedia tidak berniat memberikan secara cuma-cuma. Sweden mengingatkan Korea Utara dua kali setiap tahun tentang utangnya yang berusia 43 tahun kepada Badan Kredit Ekspor Swedia (EKN) yang didanai public.
Korea Utara adalah debitur terbesar untuk agen Swedia, seperti yang ditunjukkan oleh laporan EKN akhir tahun 2016. EKN mengatakan telah memiliki perjanjian dengan 13 negara yang memiliki klaim yang belum diselesaikan, kecuali Suriah, Venezuela, dan Zimbabwe.
“Selama tahun ini, negara-negara yang memiliki kesepakatan telah membayar di bawah ini. Pengecualiannya adalah Korea Utara, di mana bunga telah dikapitalisasi selama bertahun-tahun tetapi praktis tidak ada pembayaran yang dilakukan,” bunyi laporan tersebut.
Seorang juru bicara EKN mengatakan agensi tidak memiliki komentar lebih lanjut, namun jelas utang tersebut masih mengganggu Swedia.
Volvo 144 yang diimpor tahun 1970-an, masih terlihat bagus dan masih digunakan di Korea Utara, umumnya sebagai taksi. Bentuknya yang kecil, klasik, menarik minat pengunjung yang datang ke Pyongyang.
Sumber tulisan: Disadur dari NPR.Org dan Newsweek.