Akhir-akhir ini cercaan terhadap para pemimpin dan wakil rakyat yang mengantongi ijazah paket C kembali menggema di Aceh. Cercaan itu disampaikan di atas panggung kampanye. Juga di ruang-ruang maya. Tujuan umumnya untuk menyerang Partai Aceh, yang umumnya para kader partai tersebut marak menggunakan ijazah paket C.
Tatkala Aceh Merdeka dideklarasikan oleh para intelektual yang dipimpin Tengku Hasan Tiro, hanya sedikit yang bersimpati. Kalangan agamawan secara umum menganggap AM sebagai gerakan bughah. Sedangkan kalangan terpelajar melihat AM sebagai aktivitas politik yang tidak produktif; buang-buang waktu dan tidak intelek.
Allahyarham Wali Neugara Tengku Hasan Tiro dan kabinetnya tidak patah arang. Di tengah minimnya dukungan kalangan intelektual akhirat dan intelektual duniawi, AM terus berkampanye dari dusun ke dusun.
Baca: Sejak Partai Aceh Lahir, Bantuan untuk Dayah Capai 4,5 Triliun
Satu persatu anak-anak bangsa yang berasal dari akar rumput bersimpati. Kondisi mereka yang miskin, tidak berpendidikan, begitu mudah melihat ideologi Aceh Merdeka sebagai jalan paling benar untuk mewujudkan keadilan dan keseteraan.
Orang-orang di akar rumput, dengan pendidikan rendah, ekonomi hancur-hancuran, menemukan rumah untuk membangun eksistensi. Rumah tersebut bernama Aceh Merdeka.
Dukungan terhadap AM yang kemudian menjadi Gerakan Aceh Merdeka semakin hari bertambah besar. PNS, mahasiswa, dan beberapa teungku bersimpati. Demikian juga intelektual kampus. Akhirnya semakin banyak yang memberikan dukungan kepada GAM.
Eksponen militer GAM umumnya berasal dari para pria yang tidak bersekolah tinggi. Ada yang hanya lulus SD, SMP, dan SMA. Satu dua dari kalangan sarjana dan ahli madya. Bila lulusan non SMA melihat GAM sebagai wahana tempat membangun bargaining di tengah komunitas sosial—yang kemudian diikuti oleh kesadaran berbangsa dan bernegara—kalangan mahasiswa, sarjana, dan ahli madya yang bergabung dalam tubuh militer GAM, membawa kesadaran baru tentang harkat dan martabat bangsa.
Perang yang digeluti oleh para kombatan GAM bertujuan melahirkan negara Aceh. Akan tetapi jalan sejarah kemudian berbelok. Gempabumi dan tsunami pada Minggu, 26 Desember 2024, membawa GAM dan Pemerintah Indonesia ke meja perundingan di Helsinki, Finlandia. Pada 15 Agustus 2005, lahirlah perjanjian damai antar kedua belah pihak, yang dikenal dengan MoU Helsinki.
Petempur GAM kembali ke tengah-tengah masyarakat. Tanpa menjalani proses re-insertion, para gerilyawan GAM dipulangkan ke rumah masing-masing, dengan segenap beban baru. Perang yang telah begitu lama membuat mereka hanya tahu cara berperang. Kurang menguasai politik, konon lagi ekonomi.
Satu hal yang paling menarik. Meskipun jiwa prajuritnya tidak luntur, mereka tetap memegang teguh komitmen perdamaian. Seburuk apa pun situasi, umumnya eks kombatan GAM tetap menjunjung tinggi MoU Helsinki. Mentalitas ini patut diberikan apresiasi.
Para eks kombatan melihat peluang masuk ke gelanggang politik melalui Partai Aceh. mereka beramai-ramai mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Ada juga yang menjadi bupati/walikota, dan gubernur/wakil gubernur.
Karena umumnya tidak sempat melanjutkan pendidikan akibat kemiskinan di masa lalu, ataupun tidak menyelesaikan studi karena bergabung dengan GAM, tatkala maju dalam pemilu, mereka melanjutkan pendidikan melalui program ijazah Paket C. Sebuah jalur cepat mendapatkan ijazah resmi, tanpa harus kembali belajar bersama anak-anak mereka di sekolah reguler.
Kemauan eks kombatan GAM mendapatkan ijazah Paket C patutlah kita apresiasi. Bayangkan bila kala itu mereka tidak bersedia mengikuti program ijazah paket C, memaksa dibuatnya peraturan bahwa caleg dan calon kepala daerah boleh berijazah SD. Saat itu bila eks kombatan minta, siapa berani melawan?
GAM memilih jalan terhormat. Memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Mereka yang baru pulang dari pengasingan, baru turun dari rimba Ilahi, kemudian dipilih oleh rakyat menjadi pemimpin dan wakil rakyat di parlemen. Dengan berbagai keterbatasan, mereka berdialektika dalam pembangunan Aceh. Ada yang berhasil, ada pula yang gagal. Ada yang jujur, dan ada pula yang tidak jujur.
Gara-gara Perjuangan Pemegang Ijazah Paket C
Satu hal yang paling penting, bahwa saat ini untuk menjadi PNS, orang Aceh tidak perlu lagi mengganti nama menjadi nama-nama non Aceh. Mengapa? Karena Aceh telah kembali dihargai. Bukan lagi anak tiri yang tidak berharga.
Mengapa Aceh kembali mendapatkan marwahnya yang telah sekian lama hilang? Karena adanya orang-orang miskin dan tak berpendidikan yang bersedia berperang di masa lalu. Marwah kita kembali karena adanya anak-anak bangsa yang tidak alim, tidak pintar berbahasa Indonesia, yang bersedia memanggul senjata dari satu rimba ke rimba lainnya. Mereka berperang demi sebuah harapan; negerinya berdaulat.
Partai Aceh tentu saja perlu dikritik. Sebagai motor politik utama yang sempat menjadi harapan utama, belum bekerja secara ideal sesuai harapan kita semua. Partai Aceh mengalami banyak turbulensi internal.
Tapi satu hal yang mesti kita pahami bersama, Partai Aceh merupakan rumah besar kita semua. Rumah orang Aceh, tempat kita pulang, berkumpul, dan bermusyawarah.
Kita yang sempat sarjana karena tidak berperang, kita yang sempat mengaji dengan benar karena tidak ikut berperang, atau Anda yang kaya karena berhasil merampok “ghanimah” hasil perjuangan GAM, atau Anda yang kaya raya karena berteman dekat dengan petinggi-petinggi Partai Aceh, tidaklah pantas menghujat eksponen GAM yang mengantongi ijazah paket C.
Bila benar-benar sayang, bila benar-benar cinta, Anda-Anda yang punya pengaruh, bimbinglah mereka. Jadilah teman yang tidak menggerogoti. Jadilah sahabat yang tidak menjerumuskan. Jangan jadi dahan pembaji batang.