Fenomena Walid Dalam Series Bidaah Banyak di Aceh

walid bidaah
Dalam diskusi yang digelar Pengurus Besar Rabithah Thalibah Aceh (RTA) dengan tema “Film Bid'ah & Predator seksual di Aceh", pada selasa (15/4/25), Siti Farah yang merupakan aktivis kemanusiaan dari LBH Banda Aceh menerangkan betapa dekat realitas dalam film Bidaah dengan kasus-kasus faktual yang ia dampingi. Foto: Rizki Aulia Ramadhan/Komparatif.ID.

Komparatif.ID, Banda Aceh—Series Bidaah yang menjadikan lakon Walid trending topic, ternyata sesuatu yang juga banyak terjadi di Aceh. Temuan LBH Banda Aceh, kasus pengkultusan (ghulul) terhadap sosok yang dihormati, serta pelecahan seksual di lembaga pendidikan agama, berkali-kali terjadi di Aceh.

Baca: Pemilik Dayah di Langsa Diduga Setubuhi 2 Santrinya

Dalam diskusi yang digelar Pengurus Besar Rabithah Thalibah Aceh (RTA) dengan tema  “Film Bid’ah & Predator seksual di Aceh”, pada selasa (15/4/25), Siti Farah yang merupakan aktivis kemanusiaan dari LBH Banda Aceh menerangkan betapa dekat realitas dalam film Bidaah dengan kasus-kasus faktual yang ia dampingi.

Series Bidaah yang mengetengahkan sosok Walid sebagai pimpinan organisasi Jihad Ummah, yang bertindak di luar nalar Islam, memaksa Siti Farah menggali kembali memori tentang kasus-kasus yang kerap terjadi di Aceh.

“Ternyata film ini menggali memori saya. Adegan seperti tangan dicelup dan airnya diminum, atau zikir disisipi nama oknum tersebut, benar-benar terjadi di lapangan,” katanya dengan nada emosional.

Siti mengungkap data mengkhawatirkan yang dikumpulkan LBH Banda Aceh. Sejak 2018 hingga 2024, setidaknya ada 34 kasus kekerasan seksual yang terjadi di Aceh, dengan 4 di antaranya terjadi dalam lingkungan pendidikan agama.

Ia menyoroti perbedaan mencolok antara data pemerintah dan temuan lapangan. “Sejak COVID-19, laporan ke kami meningkat. Namun anehnya, data pemerintah justru menurun,” ungkapnya.

Hal ini menegaskan adanya fenomena gunung es, di mana banyak kasus tidak terlaporkan akibat korban takut, malu, dan lemahnya perlindungan hukum. Terutama saat kasus terjadi di dayah, yang notabenenya tempat pembinaan moral dan religiusitas.

Menurutnya respon terhadap series Bidaah dari masyarakat beragam, ada yang mengeluarkan amarah dan juga ada yang terdiam dan mengintrospeksi diri,

Pembina Laskar Aswaja Aceh, Teungku Umar Rafsanjani yang kerap disapa Abi oleh para santri,turut mengkritik series Bidaah tersebut.

Dirinya menyoroti perihal yang dianggapnya berlebihan tentang penggambaran Walid yang memakai sorban, dan beberapa scene yang tidak layak ditayangkan pada Bidaah.

Soal teknik kritik, ia mengatakan ada perbedaan antara pengkritik dari Indonesia, khususnya Aceh, dan Malaysia,

“Kalau Malaysia, mereka mengkritik serial tersebut dengan sopan dan lemah lembut, tapi kalau orang Indonesia terkhususnya Aceh maka lebih lantang dan keras,” ujarnya.

Dirinya tidak ada masalah terhadap Bidaah, yang hanya menjadi masalah adalah pada proses penggambaran karakter Walid dengan sorban serta air bebas kaki dan tangan diminum. Itu penggunaan simbol Islam yang salah.

“Dan saya juga tidak membela Walid dalam series tersebut. Saya setuju dengan isi film itu, tapi cara penggambaran saja yang berlebihan,” sebutnya.

Umar Rafsanjani menyebutkan apa yang diceritakan di dalam series itu, sangat mungkin terjadi juga di Aceh.

Direktur Intitut Peradaban Aceh Haikal Afifa, memberikan insight menarik terkait pelecehan seksual yang dilakukan di dalam lingkungan pendidikan agama. Ia menyebutkan

Penting sekali membedakan antara membongkar perilaku predator, dan membuka aib.

“Kita harus berhenti melihat pelaporan kasus sebagai pembongkaran aib. Ini soal menyelamatkan korban dan mencegah korban baru,” tegasnya.

Ia juga menyoroti lemahnya regulasi dalam dunia pendidikan agama.

Tidak ada penguatan dalam qanun dayah. Sanksi bagi pelaku hanya sebatas cambuk. Bahkan izin operasional dayah tidak bisa dicabut jika pelanggaran terjadi.

Ia juga menyatakan bahwa predator seksual bisa menyusup di institusi manapun, tak hanya di dayah.“Masalahnya bukan dayah atau bukan, tapi ruang tertutup yang tidak diawasi. Bahkan di kampus bisa lebih parah. Tapi dayah disorot karena dianggap sumber moral,” jelasnya.

Ia mengatakan, perlindungan korban harus jadi prioritas, dan series Bidaah telah membuka ruang penting untuk kritik sosial. Keadilan tidak boleh tunduk pada tabu, apalagi jika itu menyangkut nasib anak-anak dan perempuan di lingkungan pendidikan agama.

Bidaah adalah sebuah seri drama web Malaysia tahun 2025. Seri tersebut menampilkan Faizal Hussein sebagai Walid, Hasnul Rahmat, Fattah Amin, Marissa Yasmin, Riena Diana, Fathia Latiff, Vanidah Imran, Malia Baby, dan Fazlina Ahmad Daud. Seri tersebut dirilis pada 6 Maret 2025.

Bidaah adalah drama yang berkisah tentang Baiduri (Riena Diana), seorang wanita muda yang hidup dalam keluarga yang sangat taat beragama. Pada suatu hari, ibunya, Kalsum (Fazlina Ahmad Daud), menyuruh Baiduri untuk bergabung dengan Jihad Ummah. Jihad Ummah merupakan sebuah sekte keagamaan yang dipimpin oleh seorang laki-laki karismatik yang bernama Walid Muhammad (Faizal Hussein).

Artikel SebelumnyaPenjahit Sepatu di Darussalam Ditemukan Tewas, Istri: Suami Saya Belum Mati
Artikel SelanjutnyaWalid Nak Dewi, Boleh?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here